08/12/2010 21:46
Liputan6.com, Yogyakarta: Keistimewaan Provinsi Yogyakarta tidak lahir begitu saja. Ada garis sejarah panjang yang membuat status Yogya menjadi berbeda dengan daerah lain di Indonesia. Garis sejarah tentang meleburnya sebuah negeri besar di tanah Jawa.
Lewat Amanat 5 September tahun 1945, Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Raja Mataram ketika itu, membuat maklumat menyatunya Ngayogyakarta Hadiningrat ke dalam jubah negara bernama Indonesia. Pernyataan itu memperkuat posisi Ngayogyakarta dan Pakualaman sebagai pusat pemerintahan. Sri Sultan Hamengku Buwono sebagai gubernur dan Sri Paku Alam sebagai wakil.
Yogyakarta adalah Sultan dan Sultan adalah Yogyakarta. Nyaris mustahil memisahkan keduanya. Posisi Sultan sebagai Raja Yogya memiliki makna mendalam bagi mayoritas rakyat kota Gudeg ini. Sejak era kesultanan pertama hingga yang terakhir, hubungan antara rakyat dan rajanya begitu erat.
Lahirnya abdi-abdi dalem yang begitu loyal meski dengan upah tak lebih dari dua bungkus rokok menjadi bukti status Sultan sebagai raja adalah sebuah kebanggaan tersendiri. Ada yang tak bisa dibayar dengan rupiah. Bahkan ada yang tak dibayar dengan apa pun. Bagi mereka, pengabdian kepada Kesultanan Yogya sendiri adalah sebuah kehormatan.
Banyak prosesi adat yang terkait erat dengan Kraton pun membuktikan betapa menyatunya rakyat dan sang raja. Ini adalah tradisi panjang yang telah ratusan tahun berjalan.
Malam 1 Syuro misalnya. Sebuah malam sakral bagi masyarakat Jawa. Momentum penting saat pergantian tahun yang tak sekadar pergerakan waktu. Bagi masyarakat Yogya, tahun berganti adalah proses perenungan. Tahun berganti adalah proses pembelajaran.
Begitu berharganya malam pergantian tahun dalam sistem kalender Jawa atau 1 Muharam dalam tarik Hijriah ini membuat ribuan rakyat Yogya tak terbebani tatkala harus menahan kantuk dan meninggalkan sejenak tempat tidur mereka. Warga Jogja memilih turut serta dalam ritual Topo Bisu Mubeng Beteng atau mengelilingi benteng kraton tanpa bersuara. Berbaur dengan abdi dalem Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Tradisi ini adalah tradisi kuno. Ada berbagai versi mengenai sejarah Mubeng Beteng. Versi pertama menyebut Mubeng Beteng berkembang pada abad keenam sebelum Mataram Hindu. Ketika itu disebut Muser, Munjer atau mengelilingi titik pusat. Versi lain mengatakan Mubeng Beteng adalah tradisi masyarakat Islam di Jawa yang dimulai ketika Kerajaan Mataram berdiri.
Kala itu kraton membangun benteng dan selesai pada 1 Syuro. Untuk menjaga ancaman dari Kerajaan Pajang, para prajurit kraton pun rutin mengelilingi benteng. Agar tak terkesan militeristik, tugas mengelilingi benteng itu dilakukan tanpa suara atau membisu. Hanya doa-doa dirapalkan dalam hati.
Mubeng Beteng adalah satu dari begitu banyak tradisi yang menggambarkan betapa eratnya hubungan antara masyarakat dan Kesultanan. Hubungan yang memiliki sejarah panjang jauh sebelum Indonesia terbentuk dan Yogya masih berdiri tegak sebagai pusat dinasti Mataram.
Tanah Yogya adalah tanah raja yang tumbuh pesat sejak perjanjian Giyanti tahun 1755. Sebuah kesepakatan antara Belanda dan dinasti Mataram yang menghasilkan dua kerajaan. Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.
Ketika itu Pangeran Mangkubumi atau Sri Sultan Hamengkubuwono I mendapat tanah di Yogyakarta. Kraton pun dibangun di wilayah hutan Beringin. Wilayah ini dianggap cukup baik karena diapit dua sungai sehingga terlindung dari kemungkinan banjir.
Dalam Kosmologi Jawa, kraton menjadi titik pusat dalam garis imajiner yang terdiri dari tiga pilar. Kraton tepat di tengah antara Gunung Merapi di utara dan laut di selatan.
Rakyat Yogya paham betul soal ini. Mereka menyadari menjadi bagian dari keagungan sembilan raja yang pernah hidup, termasuk Sri Sultan Hamengkubuwono sepuluh yang hingga kini masih bertahta. Makam-makam kuno Raja Mataram juga menjadi bukti betapa jejak kemegahan Mataram tak pernah pudar. Menegaskan fakta bahwa Yogya adalah tanah priyayi yang melebur bersama rakyat. Dari dulu hingga kini.
Dan sebagai bagian sebuah kerajaan, rakyat Yogya tak pernah lepas dari berbagai macam prosesi adat. Berbagai persoalan yang menimpa Yogya disikapi dengan cara yang tak lari dari tradisi. Terlebih lagi ketika sistem penanggalan Jawa berakhir dan tahun akan berganti. Sebagian warga Yogya menggelar ritual tahunan. Berharap Sang Kuasa terus menjaga dan memberi berkah. (CHR/Vin)
No comments:
Post a Comment