### Hal seiring Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan Letnan Jenderal TNI (purn) Rais Abin dan Mayor Jenderal TNI (purn) Sukotjo Tjokroatmodjo yang mengajukan uji materi atau judicial review terhadap Pasal 33 ayat 6 UU Nomor 20 Tahun 2009 tentang gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan. ######SELAMAT ATAS TERPILIHNYA KEMBALI BUNG ABRAHAM LUNGGANA ,SH,MH UNTUK MASA JABATAN 2016-2020 HASIL MUNAS IX PEMUDA PANCA MARGA TANGGAL 7-9 AGUSTUS 2016 ####

Friday, October 05, 2018

IGK Manila, Pengawal Soeharto - Penjaga Sukarno

Sudrajat - detikNews Jakarta - Ada dua tokoh yang amat dikagumi Mayjen TNI (Purn) IGK (I Gusti Kompyang) Manila, yakni Sukarno dan Soeharto. Bagi dia, kedua tokoh itu adalah lelanang ing jagad, lelaki yang luar biasa. Kekaguman itu antara lain karena dia pernah punya hubungan yang dekat dengan keduanya. Manila pernah menjadi petugas keamanan di Wisma Yaso, saat Sukarno tengah menyusun naskah Pidato Nawaksara pada 1967. Hal itu bermula ketika atasannya di Pomad (Polisi Militer Angkatan Darat) Letkol Noorman Sasono memberikan tugas rahasia termasuk kepada dua rekan lainnya, Letnan Murudin dan Letnan Suyanto. Malam itu, awal Januari 1967, ketiganya diperintahkan untuk mengawal seseorang, orang tua, di sebuah rumah besar berhalaman luas di selatan Jakarta. Sama sekali tak dijelaskan siapa gerangan orang tua dimaksud. Ketiganya hanya diminta memastikan tak ada kunjungan atau tamu menemuinya. Juga si orang tua tak boleh pergi meninggalkan rumahnya. Baru pada pagi harinya, ketiganya dibuat terkaget-kaget karena yang orang tua yang mereka kawal tak lain adalah Panglima Besar Revolusi, proklamator, Insinyur Sukarno yang masih berstatus sebagai presiden. "Pagi itu Bung Karno hanya mengenakan pentalon dan kaos oblong," ujar Manila dalam buku IGK Manila Panglima Gajah, Manajer Juara. Baca juga: IGK Manila, Panglima Gajah Bershio Kuda Bagi Manila, itu bukan pertemuan perdana dengan Bung Karno. Saat berkunjung ke Akademi Militer di Magelang, sebagai taruna asal Bali dia pernah disertakan dalam jamuan makan malam dengan sang Presiden. Dia pernah ditanya Sukarno tugas apa yang diinginkannya seleas dari Akademi. "Saya ingin menjadi pengawal Presiden," ujarnya lugu. Panglima Angkatan Darat Jenderal Ahmad Yani dan hadirin lainnya malam itu tertawa mendengarnya. Selama 10 hari mengawal, praktis cuma Manila yang telaten mendampingi Panglima Besar Revolusi yang kesepian itu. Dua rekannya seringkali memilih menyelinap keluar untuk menemui pacar-pacar mereka.
Meski masih berstatus Presiden, Manila bersaksi bahwa menu makan yang disantap Sukarno selama di Wisma Yaso adalah sama dengan yang jatah ransum prajurit. Karena bosa, sesekali Manila dimintanya membeli masakan Padang di Pejompongan. Menu nasi bungkus itu kemudian disantap berdua. Pernah juga perwira muda Manila mendapat pejangan dari sang Presiden yang kesepian dan masih gemar bicara politik itu. "Manila, kalau kamu menjadi pemimpin di Indonesia, ada satu hal yang tak boleh kamu lupakan: jangan pernah mengubah kebinekaan kita. Kekuatan kita ada pada kebinekaan itu," begitu salah satu nasihat yang melekat kuat dalam ingatan Manila. Baca juga: Jejak IGK Manila, Soeharto dan Om Liem di Olahraga Wushu Terkait Kebinekaan itu pula, Bung Karno secara berseloroh ingin punya istri banyak, dari Sabang sampai Merauke. Kala itu, Bung Karno sudah pernah punya istri dari Sumatera, Sunda, Jawa, Sulawesi, Kalimantan. "Mungkin Papua belum, Pak?" celetuk Manila. Bung Karno pun tertawa lepas mendengar seloroh itu. "Iya ya. Lagi nyari ini," timpalnya. Mengingat kondisi Bung Karno yang amat memprihatinkan selama menjalani masa tahanan rumah, berpuluh tahun kemudian Manila menyampaikan testimoni langsung kepada Soeharto. Dia cukup dekat dengan mantan penguasa Orde Baru itu karena pernah menjadi pengawalnya saat Soeharto masih di Kostrad. Saat bertemu di Cendana setelah lengser dari Istana, Manila mengungkapkan bahwa betapapun sang Jenderal Besar masih jauh lebih beruntung ketimbang Sukarno. Saat sakit Soeharto masih mendapatkan perawatan di rumah sakit terbaik, ditangani tim dokter kepresidenan. "Tapi Bung Karno itu kalau sakit hanya diberi Naspro," kata Manila kepada detik.com di kantornya, Akademi Bela Negara, beberapa waktu lalu. Mendengar cerita Manila tersebut, Soeharto mengungkapkan bahwa dirinya tidak pernah menyuruh untuk menyengsarakan Sukarno. "Saya hanya meminta agar Bung Karno jangan berhubungan dengan media asing. Kalau beliau bicara keluar, dunia akan mendukung beliau, Asia Afrika akan mendukung, bisa membelanya, dan kita bisa perang saudara. Saya ini tidak ada artinya, Manila, dibanding Bung Karno." (jat/jat)

Monday, October 01, 2018

Tragedi Kedung Kopi, saat PKI bantai 23 lawan politiknya

Merdeka.com - Kisah kebiadaban PKI (Partai Komunis Indonesia) di Kota Solo, memang tak lepas dari peristiwa pembantaian di Kedung Kopi, 22 Oktober 1965. 23 warga Solo yang melakukan demonstrasi mengecam PKI, menjadi korban kekejaman komunis dan dibuang di salah satu sudut aliran Sungai Bengawan Solo, Kelurahan Pucangsawit, Kecamatan Jebres tersebut.
Saksi hidup Usman Amirudin (79), dan sejumlah warga yang mengalami peristiwa tersebut mengisahkan, saat itu puluhan pemuda yang hanya rakyat biasa ditangkap, ditembaki dan kemudian dibuang di Kedung Kopi. Saat ini lokasi yang merupakan bantaran Sungai Bengawan Solo itu, dibangun taman dan prasasti. Usman yang saat ini bekerja di bidang konstruksi tersebut mengisahkan, terjadinya tragedi pembantaian bermula saat munculnya kabar dari Dewan Revolusi di Jakarta hingga terjadinya peristiwa penculikan sejumlah jenderal oleh PKI pada 30 September 1965. Peristiwa di Jakarta tersebut, lanjut Usman, kemudian merembet ke Solo, apalagi Wali Kota Oetomo Ramelan yang menjabat saat itu berasal dari PKI. Beberapa prajurit militer di Solo, menurut Usman, bahkan juga anggota PKI. "Setelah mendapat kabar itu, potensi masyarakat non-PKI (nasionalis dan agama) menyatu untuk saling menjaga. Suasana di Solo saat itu, setiap hari seperti perang, mulai 30 September sampai 22 Oktober, dan masing-masing gang ditutup oleh pihak kami," ujar Usman saat ditemui merdeka.com di rumahnya, Kelurahan Bumi, Laweyan, Rabu (26/9). Usman yang saat itu menjadi anggota Pemuda Muhammadiyah menambahkan, di saat bersamaan para anggota PKI yang tergabung dalam Pemuda Rakyat juga melakukan hal yang sama. Mereka berkeliling kampung untuk menteror masyarakat sipil. "Sudah, masuk ke rumah masing-masing, ndak usah kumpul-kumpul. Ini urusan intern Angkatan Darat, masuk saja," ucap Usman menirukan kata-kata teror anggota Pemuda Rakyat. Namun, lanjut Usman, masyarakat yang sudah bersatu, tak mau menuruti gertakan mereka dan tetap berjaga-jaga. Namun makin lama, sikap represif mereka semakin terlihat dengan cara mempersenjatai diri dengan parang, gebugan (alat pemukul), rantai dan lainnya. Kondisi tersebut membuat masyarakat panik, karena mereka tidak tahu ke mana harus berlindung. Namun pada akhirnya, warga meminta bantuan ke Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) agar masuk ke Solo. Masyarakat menyambut kedatangan RPKAD pada 22 Oktober 1965 dengan suka cita. Namun sayangnya pada sore harinya RPKAD sudah kembali ke Magelang. Prihatin dengan pemberontakan PKI di Jakarta, masyarakat Solo yang sudah merasa aman, selepas Zuhur melakukan aksi demonstrasi di depan toko batik kawasan Gladag Jalan Slamet Riyadi atau depan rumah tokoh yang ditengarai sebagai donatur PKI di Nonongan. Usai berdemo, para pemuda ini sudah diperintahkan untuk kembali ke posnya masing-masing. "Kami sudah diperintahkan oleh komandan masing-masing, setelah Ashar harus pulang ke posnya masing-masing. Jadi saya harus pulang ke Balai Muhammadiyah," katanya. Namun nahas, saat hendak pulang ada anggota CPM dan POL AU (Polisi Angkatan Udara) yang menyusup ke rombongan pendemo. Mereka meminta para peserta demo untuk ke balai kota. Melihat keduanya berpakaian resmi, Usman dan para pendemo lainnya menuruti perintah dan menuju balai kota Solo, yang berjarak 400 meter. "Ya sudah kita berbondong-bondong ke sana. Tapi belum sampai ke balai kota kita sudah disikat oleh militer. Ditembaki dari beteng itu. Setelah melihat peluru seperti kembang api, saya sembunyi. Saya bersama GPM (Gerakan Pemuda Marheinis) sembunyi. Makin malam makin kelihatan peluru itu. Kira-kira jam setengah tujuh (18.30) sudah agak reda itu, kami pulang. Rumah kami di Kusumoyudan depan Sahid Raya," tuturnya. Namun sebelum pulang, lanjut Usman, salah satu keponakannya yang tinggal di Kampung Batangan, Pasarkliwon yang nekat melintas di lokasi, menjadi korban pembunuhan. Keponakan Usman yang masih berusia 13 tahun dan henda pulang dari rumahnya ke Batangan dicegat. "Ternyata yang dibunuh di Kedung Kopi itu ada 22 orang, ditambah 1 orang dari Wonogiri. Kalau yang keponakan saya itu ditusuk di leher sampai tembus, hancur badannya," katanya. Selang dua hari kemudian, giliran masyarakat yang melakukan operasi penangkapan terhadap para anggota PKI. Apalagi saat itu, RPKAD juga telah kembali ke Solo. Para tokoh komunis tak berdaya, tak berani lagi keluar rumah dan Kota Solo kembali dikuasai warga. "Kalau ada yang mengatakan di Kedung Kopi itu PKI dibunuh, itu pemutarbalikan fakta. Justru PKI yang melakukan pembunuhan di sana. Karena di sana itu aman, masih seperti hutan. Mayatnya ya sudah dibiarkan di sana," jelasnya lagi. Jembatan Bacem Dalam peristiwa kekejaman PKI di Solo, Jembatan Bacem yang berada di atas aliran Sungai Besar (Bengawan) Solo, Kecamatan Grogol, Kabupaten Sukoharjo juga turut menjadi saksi bisu. Jembatan yang sudah dibangun ulang itu, dikenal sebagai tempat jagal para tahanan terduga anggota PKI atau organisasi yang berafiliasi dengan partai itu. Sulit memang mencari saksi hidup peristiwa tersebut. Namun sejumlah warga di desa sekitar memang pernah mendengar cerita dari orang tua mereka. Sejumlah warga bahkan menceritakan adanya kisah mistis di lokasi itu. "Sekarang jembatanya kan tinggal pondasi. Tidak bisa dirobohkan, tidak ada yang berani. Saat kejadian itu saya masih sekolah dasar," ucap Suko Haryono (59) warga Desa Telukan. Dari cerita kedua orang tuanya, dikatakan memang lokasi tersebut menjadi tempat eksekusi anggota PKI. Mayat para penghianat bangsa tersebut kemudian dibuang ke aliran sungai. Usman juga membenarkan jika Jembatan Bacem menjadi lokasi pembunuhan anggota PKI. Menurutnya, tidak hanya Jembatan Bacem, namun juga di Jembatan Jurug yang juga di atas aliran Sungai Bengawan Solo. "Kalau Bacem itu dia (PKI) yang dibunuh oleh kita. Jembatan Bacem ada, Jurug juga ada," katanya lagi. Usman menilai, konflik horisontal yang terjadi antara masyarakat dan PKI, bermula dari peristiwa pembunuhan di Solo. Masyarakat ingin melakukan balas dendam terhadap kekejaman PKI. Kamp tahanan politik Sasono Mulyo Tempat lain yang menjadi saksi tentang peristiwa kekejaman PKI di Solo adalah gedung Sasono Mulyo. Konon setiap malam ada tahanan yang diambil dari kamp penahanan di kompleks Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Dari lokasi ini, tercatat 71 orang hilang setelah diambil tentara pada malam hari. Sasono Mulyo terletak di dalam wilayah Keraton Surakarta, tepatnya di sebelah barat Pintu Gapit, sebelah utara Bangsal Kemandungan atau berseberangan dengan Sasono Putra, tempat tinggal raja Paku Buwono XIII, yang berkuasa saat ini. Tempat ini merupakan kediaman resmi putra mahkota. Kompleks Sasono Mulyo terdiri atas bangunan induk yang ditinggali oleh putera mahkota, dan bangunan tambahan di sepanjang sisi timurnya yang merupakan tempat para abdi dalem (pelayan) yang mengurus kebutuhan sehari-hari putera mahkota. Di bagian depan bangunan induk terdapat pendopo(serambi) berukuran kurang lebih 37,5x25 meter persegi. Pengageng Parentah Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Dipokusumo atau akrab disapa Gusti Dipo membenarkan jika saat itu, Sasono Mulyo menjadi tempat penahanan anggota PKI. "Sasono Mulyo memang dipakai untuk menahan orang-orang yang diduga terlibat kegiatan G30S-PKI tersebut. Nah yang dipakai Sasono Mulyo adalah bangunan pendopo," terang Gusti Dipo. Namun seiring perkembangan zaman, di era Paku Buwono XII akan menikahkan anaknya, GKR Alit tahun 1971, tempat tersebut dikosongkan. Sasono Mulyo kemudian dijadikan tempat hajatan saat keluarga keraton mantu. Kemudian, lanjut Gusti Dipo, tahun 1975 Sasono Mulyo digunakan untuk kegiatan PKJT atau Pusat Kesenian Jawa Tengah. Setelah itu muncul lagi kegiatan seni yang tergabung dalam ASKI atau Akademi Seni Karawitan Indonesia, yang selanjutnya menjadi STSI dan sekarang menjadi ISI (Institut Seni Indonesia). "Sak meniko kosong (sekarang kosong)," lanjut Dipokusumo. Namun demikian, jelas Gusti Dipo, ada beberapa kegiatan resmi yang menggunakan Sasono Mulyo. Di antaranya acara pernikahan putra-putri atau keluarga keraton, kemudian jika ada keluarga keraton yang meninggal dan untuk kegiatan menyambut bulan Suro. "Menawi Suro, ingkang sampun kelampahan meniko kangge ringgit wacucal kangge penutupan tahun. Kadang nggih kagem sarasehan utawi pertemuan-pertemuan sanesipun nate. (Kalau bulan Suro, yang sudah pernah dipakai untuk pentas wayang kulit, untuk penutupan tahun. Kadang juga untuk sarasehan dan pertemuan lainnya)," terangnya. [cob]