BERITA PPM
Friday, October 05, 2018
IGK Manila, Pengawal Soeharto - Penjaga Sukarno
Sudrajat - detikNews
Jakarta -
Ada dua tokoh yang amat dikagumi Mayjen TNI (Purn) IGK (I Gusti Kompyang) Manila, yakni Sukarno dan Soeharto. Bagi dia, kedua tokoh itu adalah lelanang ing jagad, lelaki yang luar biasa. Kekaguman itu antara lain karena dia pernah punya hubungan yang dekat dengan keduanya. Manila pernah menjadi petugas keamanan di Wisma Yaso, saat Sukarno tengah menyusun naskah Pidato Nawaksara pada 1967.
Hal itu bermula ketika atasannya di Pomad (Polisi Militer Angkatan Darat) Letkol Noorman Sasono memberikan tugas rahasia termasuk kepada dua rekan lainnya, Letnan Murudin dan Letnan Suyanto. Malam itu, awal Januari 1967, ketiganya diperintahkan untuk mengawal seseorang, orang tua, di sebuah rumah besar berhalaman luas di selatan Jakarta.
Sama sekali tak dijelaskan siapa gerangan orang tua dimaksud. Ketiganya hanya diminta memastikan tak ada kunjungan atau tamu menemuinya. Juga si orang tua tak boleh pergi meninggalkan rumahnya. Baru pada pagi harinya, ketiganya dibuat terkaget-kaget karena yang orang tua yang mereka kawal tak lain adalah Panglima Besar Revolusi, proklamator, Insinyur Sukarno yang masih berstatus sebagai presiden.
"Pagi itu Bung Karno hanya mengenakan pentalon dan kaos oblong," ujar Manila dalam buku IGK Manila Panglima Gajah, Manajer Juara.
Baca juga: IGK Manila, Panglima Gajah Bershio Kuda
Bagi Manila, itu bukan pertemuan perdana dengan Bung Karno. Saat berkunjung ke Akademi Militer di Magelang, sebagai taruna asal Bali dia pernah disertakan dalam jamuan makan malam dengan sang Presiden. Dia pernah ditanya Sukarno tugas apa yang diinginkannya seleas dari Akademi. "Saya ingin menjadi pengawal Presiden," ujarnya lugu. Panglima Angkatan Darat Jenderal Ahmad Yani dan hadirin lainnya malam itu tertawa mendengarnya.
Selama 10 hari mengawal, praktis cuma Manila yang telaten mendampingi Panglima Besar Revolusi yang kesepian itu. Dua rekannya seringkali memilih menyelinap keluar untuk menemui pacar-pacar mereka.
Meski masih berstatus Presiden, Manila bersaksi bahwa menu makan yang disantap Sukarno selama di Wisma Yaso adalah sama dengan yang jatah ransum prajurit. Karena bosa, sesekali Manila dimintanya membeli masakan Padang di Pejompongan. Menu nasi bungkus itu kemudian disantap berdua.
Pernah juga perwira muda Manila mendapat pejangan dari sang Presiden yang kesepian dan masih gemar bicara politik itu. "Manila, kalau kamu menjadi pemimpin di Indonesia, ada satu hal yang tak boleh kamu lupakan: jangan pernah mengubah kebinekaan kita. Kekuatan kita ada pada kebinekaan itu," begitu salah satu nasihat yang melekat kuat dalam ingatan Manila.
Baca juga: Jejak IGK Manila, Soeharto dan Om Liem di Olahraga Wushu
Terkait Kebinekaan itu pula, Bung Karno secara berseloroh ingin punya istri banyak, dari Sabang sampai Merauke. Kala itu, Bung Karno sudah pernah punya istri dari Sumatera, Sunda, Jawa, Sulawesi, Kalimantan. "Mungkin Papua belum, Pak?" celetuk Manila. Bung Karno pun tertawa lepas mendengar seloroh itu. "Iya ya. Lagi nyari ini," timpalnya.
Mengingat kondisi Bung Karno yang amat memprihatinkan selama menjalani masa tahanan rumah, berpuluh tahun kemudian Manila menyampaikan testimoni langsung kepada Soeharto. Dia cukup dekat dengan mantan penguasa Orde Baru itu karena pernah menjadi pengawalnya saat Soeharto masih di Kostrad.
Saat bertemu di Cendana setelah lengser dari Istana, Manila mengungkapkan bahwa betapapun sang Jenderal Besar masih jauh lebih beruntung ketimbang Sukarno. Saat sakit Soeharto masih mendapatkan perawatan di rumah sakit terbaik, ditangani tim dokter kepresidenan.
"Tapi Bung Karno itu kalau sakit hanya diberi Naspro," kata Manila kepada detik.com di kantornya, Akademi Bela Negara, beberapa waktu lalu. Mendengar cerita Manila tersebut, Soeharto mengungkapkan bahwa dirinya tidak pernah menyuruh untuk menyengsarakan Sukarno. "Saya hanya meminta agar Bung Karno jangan berhubungan dengan media asing. Kalau beliau bicara keluar, dunia akan mendukung beliau, Asia Afrika akan mendukung, bisa membelanya, dan kita bisa perang saudara. Saya ini tidak ada artinya, Manila, dibanding Bung Karno."
(jat/jat)
Monday, October 01, 2018
Tragedi Kedung Kopi, saat PKI bantai 23 lawan politiknya
Merdeka.com - Kisah kebiadaban PKI (Partai Komunis Indonesia) di Kota Solo, memang tak lepas dari peristiwa pembantaian di Kedung Kopi, 22 Oktober 1965. 23 warga Solo yang melakukan demonstrasi mengecam PKI, menjadi korban kekejaman komunis dan dibuang di salah satu sudut aliran Sungai Bengawan Solo, Kelurahan Pucangsawit, Kecamatan Jebres tersebut.
Saksi hidup Usman Amirudin (79), dan sejumlah warga yang mengalami peristiwa tersebut mengisahkan, saat itu puluhan pemuda yang hanya rakyat biasa ditangkap, ditembaki dan kemudian dibuang di Kedung Kopi. Saat ini lokasi yang merupakan bantaran Sungai Bengawan Solo itu, dibangun taman dan prasasti.
Usman yang saat ini bekerja di bidang konstruksi tersebut mengisahkan, terjadinya tragedi pembantaian bermula saat munculnya kabar dari Dewan Revolusi di Jakarta hingga terjadinya peristiwa penculikan sejumlah jenderal oleh PKI pada 30 September 1965.
Peristiwa di Jakarta tersebut, lanjut Usman, kemudian merembet ke Solo, apalagi Wali Kota Oetomo Ramelan yang menjabat saat itu berasal dari PKI. Beberapa prajurit militer di Solo, menurut Usman, bahkan juga anggota PKI.
"Setelah mendapat kabar itu, potensi masyarakat non-PKI (nasionalis dan agama) menyatu untuk saling menjaga. Suasana di Solo saat itu, setiap hari seperti perang, mulai 30 September sampai 22 Oktober, dan masing-masing gang ditutup oleh pihak kami," ujar Usman saat ditemui merdeka.com di rumahnya, Kelurahan Bumi, Laweyan, Rabu (26/9).
Usman yang saat itu menjadi anggota Pemuda Muhammadiyah menambahkan, di saat bersamaan para anggota PKI yang tergabung dalam Pemuda Rakyat juga melakukan hal yang sama. Mereka berkeliling kampung untuk menteror masyarakat sipil.
"Sudah, masuk ke rumah masing-masing, ndak usah kumpul-kumpul. Ini urusan intern Angkatan Darat, masuk saja," ucap Usman menirukan kata-kata teror anggota Pemuda Rakyat.
Namun, lanjut Usman, masyarakat yang sudah bersatu, tak mau menuruti gertakan mereka dan tetap berjaga-jaga. Namun makin lama, sikap represif mereka semakin terlihat dengan cara mempersenjatai diri dengan parang, gebugan (alat pemukul), rantai dan lainnya.
Kondisi tersebut membuat masyarakat panik, karena mereka tidak tahu ke mana harus berlindung. Namun pada akhirnya, warga meminta bantuan ke Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) agar masuk ke Solo. Masyarakat menyambut kedatangan RPKAD pada 22 Oktober 1965 dengan suka cita. Namun sayangnya pada sore harinya RPKAD sudah kembali ke Magelang.
Prihatin dengan pemberontakan PKI di Jakarta, masyarakat Solo yang sudah merasa aman, selepas Zuhur melakukan aksi demonstrasi di depan toko batik kawasan Gladag Jalan Slamet Riyadi atau depan rumah tokoh yang ditengarai sebagai donatur PKI di Nonongan. Usai berdemo, para pemuda ini sudah diperintahkan untuk kembali ke posnya masing-masing.
"Kami sudah diperintahkan oleh komandan masing-masing, setelah Ashar harus pulang ke posnya masing-masing. Jadi saya harus pulang ke Balai Muhammadiyah," katanya.
Namun nahas, saat hendak pulang ada anggota CPM dan POL AU (Polisi Angkatan Udara) yang menyusup ke rombongan pendemo. Mereka meminta para peserta demo untuk ke balai kota. Melihat keduanya berpakaian resmi, Usman dan para pendemo lainnya menuruti perintah dan menuju balai kota Solo, yang berjarak 400 meter.
"Ya sudah kita berbondong-bondong ke sana. Tapi belum sampai ke balai kota kita sudah disikat oleh militer. Ditembaki dari beteng itu. Setelah melihat peluru seperti kembang api, saya sembunyi. Saya bersama GPM (Gerakan Pemuda Marheinis) sembunyi. Makin malam makin kelihatan peluru itu. Kira-kira jam setengah tujuh (18.30) sudah agak reda itu, kami pulang. Rumah kami di Kusumoyudan depan Sahid Raya," tuturnya.
Namun sebelum pulang, lanjut Usman, salah satu keponakannya yang tinggal di Kampung Batangan, Pasarkliwon yang nekat melintas di lokasi, menjadi korban pembunuhan. Keponakan Usman yang masih berusia 13 tahun dan henda pulang dari rumahnya ke Batangan dicegat.
"Ternyata yang dibunuh di Kedung Kopi itu ada 22 orang, ditambah 1 orang dari Wonogiri. Kalau yang keponakan saya itu ditusuk di leher sampai tembus, hancur badannya," katanya.
Selang dua hari kemudian, giliran masyarakat yang melakukan operasi penangkapan terhadap para anggota PKI. Apalagi saat itu, RPKAD juga telah kembali ke Solo. Para tokoh komunis tak berdaya, tak berani lagi keluar rumah dan Kota Solo kembali dikuasai warga.
"Kalau ada yang mengatakan di Kedung Kopi itu PKI dibunuh, itu pemutarbalikan fakta. Justru PKI yang melakukan pembunuhan di sana. Karena di sana itu aman, masih seperti hutan. Mayatnya ya sudah dibiarkan di sana," jelasnya lagi.
Jembatan Bacem
Dalam peristiwa kekejaman PKI di Solo, Jembatan Bacem yang berada di atas aliran Sungai Besar (Bengawan) Solo, Kecamatan Grogol, Kabupaten Sukoharjo juga turut menjadi saksi bisu. Jembatan yang sudah dibangun ulang itu, dikenal sebagai tempat jagal para tahanan terduga anggota PKI atau organisasi yang berafiliasi dengan partai itu.
Sulit memang mencari saksi hidup peristiwa tersebut. Namun sejumlah warga di desa sekitar memang pernah mendengar cerita dari orang tua mereka. Sejumlah warga bahkan menceritakan adanya kisah mistis di lokasi itu.
"Sekarang jembatanya kan tinggal pondasi. Tidak bisa dirobohkan, tidak ada yang berani. Saat kejadian itu saya masih sekolah dasar," ucap Suko Haryono (59) warga Desa Telukan.
Dari cerita kedua orang tuanya, dikatakan memang lokasi tersebut menjadi tempat eksekusi anggota PKI. Mayat para penghianat bangsa tersebut kemudian dibuang ke aliran sungai.
Usman juga membenarkan jika Jembatan Bacem menjadi lokasi pembunuhan anggota PKI. Menurutnya, tidak hanya Jembatan Bacem, namun juga di Jembatan Jurug yang juga di atas aliran Sungai Bengawan Solo.
"Kalau Bacem itu dia (PKI) yang dibunuh oleh kita. Jembatan Bacem ada, Jurug juga ada," katanya lagi.
Usman menilai, konflik horisontal yang terjadi antara masyarakat dan PKI, bermula dari peristiwa pembunuhan di Solo. Masyarakat ingin melakukan balas dendam terhadap kekejaman PKI.
Kamp tahanan politik Sasono Mulyo
Tempat lain yang menjadi saksi tentang peristiwa kekejaman PKI di Solo adalah gedung Sasono Mulyo. Konon setiap malam ada tahanan yang diambil dari kamp penahanan di kompleks Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Dari lokasi ini, tercatat 71 orang hilang setelah diambil tentara pada malam hari.
Sasono Mulyo terletak di dalam wilayah Keraton Surakarta, tepatnya di sebelah barat Pintu Gapit, sebelah utara Bangsal Kemandungan atau berseberangan dengan Sasono Putra, tempat tinggal raja Paku Buwono XIII, yang berkuasa saat ini. Tempat ini merupakan kediaman resmi putra mahkota.
Kompleks Sasono Mulyo terdiri atas bangunan induk yang ditinggali oleh putera mahkota, dan bangunan tambahan di sepanjang sisi timurnya yang merupakan tempat para abdi dalem (pelayan) yang mengurus kebutuhan sehari-hari putera mahkota. Di bagian depan bangunan induk terdapat pendopo(serambi) berukuran kurang lebih 37,5x25 meter persegi.
Pengageng Parentah Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Dipokusumo atau akrab disapa Gusti Dipo membenarkan jika saat itu, Sasono Mulyo menjadi tempat penahanan anggota PKI.
"Sasono Mulyo memang dipakai untuk menahan orang-orang yang diduga terlibat kegiatan G30S-PKI tersebut. Nah yang dipakai Sasono Mulyo adalah bangunan pendopo," terang Gusti Dipo.
Namun seiring perkembangan zaman, di era Paku Buwono XII akan menikahkan anaknya, GKR Alit tahun 1971, tempat tersebut dikosongkan. Sasono Mulyo kemudian dijadikan tempat hajatan saat keluarga keraton mantu.
Kemudian, lanjut Gusti Dipo, tahun 1975 Sasono Mulyo digunakan untuk kegiatan PKJT atau Pusat Kesenian Jawa Tengah. Setelah itu muncul lagi kegiatan seni yang tergabung dalam ASKI atau Akademi Seni Karawitan Indonesia, yang selanjutnya menjadi STSI dan sekarang menjadi ISI (Institut Seni Indonesia).
"Sak meniko kosong (sekarang kosong)," lanjut Dipokusumo.
Namun demikian, jelas Gusti Dipo, ada beberapa kegiatan resmi yang menggunakan Sasono Mulyo. Di antaranya acara pernikahan putra-putri atau keluarga keraton, kemudian jika ada keluarga keraton yang meninggal dan untuk kegiatan menyambut bulan Suro.
"Menawi Suro, ingkang sampun kelampahan meniko kangge ringgit wacucal kangge penutupan tahun. Kadang nggih kagem sarasehan utawi pertemuan-pertemuan sanesipun nate. (Kalau bulan Suro, yang sudah pernah dipakai untuk pentas wayang kulit, untuk penutupan tahun. Kadang juga untuk sarasehan dan pertemuan lainnya)," terangnya. [cob]
Saturday, August 11, 2018
Setelah Dilantik Presiden, Tugas LVRI Semakin Berat
Tepat di Hari Veteran Nasional, Jumat, 10 Agustus 2018,KOMPASIANA, Presiden RI Joko Widodo melantik 27 orang Veteran RI hasil dari Kongres XI Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) di Istana Negara. Hadir pula Wakil Presiden RI Jusuf Kalla.
Ketika Kongres LVRI XI pada Senin-Kamis, 17 hingga 19 Oktober 2017 terpilih kembali Letnan Jenderal (Letjen) TNI Purnawirawan Rais Abin sebagai Ketua Umum LVRI untuk ketiga kalinya periode 2017-2022. Pertama, ia terpilih sebagai Ketua Umum LVRI periode 2007-2012. Kedua, ia terpilih lagi untuk periode 2012-2017.
Pelantikan oleh Presiden RI ini, merupakan hadiah hari lahirnya ke 92 yang jatuh pada 15 Agustus 2018. Menurut saya, ini merupakan kebahagiaan sendiri buat beliau.
Rais Abin lahir di Koto Gadang, Bukittinggi, Sumatera Barat. Ia pernah menjadi Panglima Pasukan Perdamaian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Timur Tengah 1976-1979.
Ia berhasil mendekatkan Mesir-Israel untuk berdamai, sehingga kemudian terciptalah perdamaian di Camp David. Pernah pula dusulkan Menteri Dalam Negeri, Supardjo Rustam kepada Presiden Soeharto menjadi Gubernur Sumatera Barat, tetapi presiden menganggap tenaga dan pikirannya lebih bermanfaat di bidang lain. Terutama di LVRI.
Tugas utama LVRI ke depan, bagaimana mewarisi nilai-nilai perjuangan untuk generasi selanjutnya setelah generasi 1945 semakin sedikit, karena usia mereka rata-rata seperti Rais Abin ini yang lahir pada tahun 1926.
Benar yang dikatakan seorang pujangga bahwa, "Kami bukan pembangun candi, kami hanya pengangkut batu, dari angkatan yang segera punah, dengan harapan di atas pusara kami akan lahir generasi yang lebih sempurna."
Rintihan seorang veteran tua yang disampaikan seorang pujangga Belanda itu, merupakan kata-kata bijak di saat akan berlangsungnya peralihan generasi di tubuh LVRI pejuang. Kata-kata itu penuh makna. Sebuah hasil karya yang diberikan angkatan sebelumnya akan dilanjutkan oleh generasi lebih muda.
Generasi terdahulu tidak pula harus menepuk dada dengan hasil yang dicapainya. Ia hanya pembangun sebuah bangunan candi yang menjadi sebuah simbol pijakan yang sempurna. Ia hanyalah seorang pengangkut batu dari sebuah angkatan yang segera punah dan berharap nilai-nilai perjuangan 1945 akan dilanjutkan oleh generasi yang lebih sempurna.
Sunday, April 15, 2018
Trik Perwira Kopassus Hindari Suguhan Air Minum Bekas Kuda
Ultah Kopassus Ke-66
Jakarta - Detik.com
"Apa yang digambarkan dalam film Blood Diamond memang sungguh terjadi di Kongo." Pernyataan itu meluncur dari mulut Letnan Kolonel Farid Makruf dalam buku Kopassus untuk Indonesia karya Iwan Santosa dan EA Natanegara yang dicuplik Detik.com, Senin (16/4/2018).
Film yang dibintangi Leonardo DiCaprio dan Djimon Hounsou pada 2007 itu berlatar konflik di Sierra Leone. Konflik itu menyeret mantan Presiden Liberia Charles Taylor ke Mahkamah Internasional di Den Hag, Belanda. Negara yang sebelumnya bernama Zaire ini terus dilanda konflik sejak lepas dari penjajahan Belgia pada 1960. Konflik kian rumit karena melibatkan sekitar 25 kelompok pemberontak.
Saat berpangkat Kapten, Farid bertugas sebagai Military Observer (MIlobs) PBB di Freetown dan Fort Loko pada 2002-2003 di Sierra Leone. Situasi yang dialami warga, jata Farid, sangat memprihatinkan. "Banyak mantan tentara anak yang tak dapat direhabilitasi. Mereka menjadi sangat liar dan agresif sehingga tidak bisa kembali ke masyarakat," ujarnya mengenang.
Di Sierra Leone, dia melanjutkan, banyak ditemui orang-orang muda bertangan dan berkaki buntung akibat praktik mutilasi massal semasa perang bersaudara. Belum lagi ratusan bekas tentara anak yang menyimpan trauma kekerasan dan menolak kembali berhubungan dengan orang tua mereka.
Bukan tugas mudah untuk menjaga perdamaian dunia tanpa boleh menggunakan kemampuan tempur saat menghadapi ancaman dan serangan terhadap nyawa. Tapi para prajurit TNI dari Kopassus dan kesatuan lain umumnya mampu mengambil hati masyarakat setempat, selain tetap memegang teguh prinsip kenetralan sebagai pasukan perdamaian.
Saat bertugas di Sudan, yang dilanda perang saudara berkepanjangan, pada 2006, Mayor Umar punya kisah menarik. Menurut kesaksian perwira Kopassus itu, salah satu persoalan kekerasan yang menonjol di sana adalah pemerkosaan dan pembunuhan.
Akibatnya, sekedar butuh kayu bakar untuk memasak pun tak ada yang berani mencarinya ke pinggiran hutan. Kaum lelaki memilih tinggal di rumah karena kalau tertangkap bisa dibunuh milisi Janjaweed. "Sementara kalau perempuan yang pergi, mereka pasti diperkosa," tutur Umar.
Sebagai tentara dari negeri muslim terbesar di dunia, ia merasa beruntung karena Sudan pun sebagian penduduknya beragama Islam. Mereka jadi tak terlalu sulit untuk didekati. Bahkan untuk menunjukkan penghormatan terhadap tamunya yang muslim, ada warga yang menyuguhi Umar air minum. Air di negeri yang kerontang itu menjadi aset paling berharga.
"Sayangnya air minum berwarna kecokelatan dan diambil dari tempat dimana kuda mereka juga minum," tuturnya.
Karena tak ingin mengecewakan tuan rumah, sambil menahan nafas ia pun terpaksa meminumnya. Tapi di kali berikutnya, dia punya trik agar terhindar dari penghormatan yang amat berisiko menimbulkan sakit perut tersebut. "Saya selalu mengaku sedang puasa kalau sedang melakukan kunjungan."
Lain lagi dengan Mayor Yudha Airlangga yang tergabung dalam batalyon mekanis Kontingen Garuda XXII-A di selatan Libanon-Israel. Suatu hari seorang anak Libanon melemparkan batu ke arah pasukan Israel yang tengah berpatroli, dan ada yang merusak pagar perbatasan. Si anak pun langsung ditangkap.
Tapi pasukan asal Indonesia tak tinggal diam. Seraya membujuk tentara Israel agar bersedia melepas anak-anak berusia 15 tahun itu, orang tua dan kepala desanya dipanggil untuk dinasehati agar menjaga anak-anak mereka tidak mengulangi perbuatan.
Hal lain yang nyaris tak pernah dilakukan pasukan dari negara lain, para prajurit Indonesia, kata Yudha, selalu berusaha tersenyum dan memberi salam setiap kali berpapasan dengan penduduk setempat. "Tapi kita tidak melupakan segi keamanan. Jangan sampai kebablasan terlalu dekat dengan warga tertentu karena bisa dianggap tak netral," ujarnya.
Toleransi dan kemampuan diplomasi para prajurit Indonesia itu pernah dimanfaatkan untuk menyelamatkan 60 anggota pasukan asal Spanyol yang disandera Hizbullah. Mayor Achmad Fauzi ditugasi untuk bernegosiasi dengan Hizbullah agar berkenan membiarkan
pasukan Spanyol kembali ke markas.
"Kami orang Libanon sebenarnya tidak menghargai dan menghormati UNIFIL karena mereka tidak berpihak secara adil. Tapi kami melakukan ini karena sangat menghormati Anda orang Indonesia," tutur Fauzi menirukan pernyataan para tokoh Hizbullah.
(jat/jat)
Saturday, March 24, 2018
Berita Duka Cita
INNA LILLAHI WA INNA ILAIHI ROJIUN ...!
Telah berpulang ke hadirat Allah SWT Sabtu (24/3) Bapak Letjen TNI (Purn) Purbo S. Suwondo (91 Tahun) di Rumah Sakit Harapan Kita pukul 09.00 pagi tadi. Jenazah disemayamkan di rumah duka Jl. Kencana Permai IIII/12 Pondok Indah Jakarta. Rencana pemakaman di Taman Makam Pahlawan Nasional Utama Kalibata, Minggu (25/3) pukul 09.30. Bertindak selaku Inspektur Upacara rencananya Kasum Mabes TNI atau dari Kostrad tergantung perkembangan situasi. Jenazah akan diberangkatkan dari rumah duka pukul 09.00.
Almarhum Letjen TNI (Purn) Purbo S. Suwondo adalah Ketua Umum LVRI periode 2002 - 2007 hasil Kongres VIII. Setelah masa bakti berakhir kepemimpinan DPP LVRI kemudian dilanjutkan oleh Letjen TNI (Purn) Rais Abin hasil pemilihan Kongres IX hingga sekarang.
Almarhum adalah seorang Veteran Pejuang Kemerdekaan Republik Indonesia (NPV 21.137.761/A), Lahir yang di Purwokerto 27 September 1927 itu, diantaranya pernah menjabat Danpusenarmed, Danjen AKABRI, Dubes RI untuk PBB.dan Komisaris Utama Bank BNI 1946.
Untuk mengenal sosok almarhum Letjen TNI (Purn) Purbo S. Suwondo , ditampilkan empat episode wawancara bersama Peter F. Gontha.dalam wawancara itu juga terdapat almarhum Mayjen TNI (Purn) Sukotjo Tjokroatmodjo - sebanyak 4 produksi wawancara.
Silakan klik videonya di bawah ini:.
Video Part 1: https://bit.ly/2G3TndK
Video Part 2: https://bit.ly/2I0NOt8
Video Part 3: https://bit.ly/2pBqdYw
Video Part 4: https://bit.ly/2G5jD3w
BIODATA LENGKAP ALM. LETJEN TNI (PURN) PURBO S. SUWONDO:
Silakan klik di sini, https://bit.ly/2HZke7o
Saturday, January 27, 2018
Belanda Desak RI Selidiki Kuburan Massal Perang Dunia II di Jawa
Danu Damarjati - detikNews
Amsterdam - Menteri Pertahanan Belanda Ank Bijleveld mendesak Republik Indonesia (RI) untuk menyelidiki kasus jasad para tentara Belanda yang dibuang di kuburan massal di Jawa. Jasad itu ditemukan di bangkai kapal perang Belanda era Perang Dunia II.
Dilansir AFP, Kamis (25/1/2018), desakan itu disampaikan pada Kamis waktu setempat. Awalnya, pihak Belanda mengetahui soal ini dari laporan yang muncul bulan ini, tentang jasad-jasad manusia yang ditemukan dari tiga bangkai kapal Belanda. Bangkai kapal itu karam saat pertempuran di Laut Jawa pada 1942.
Menurut laporan situs Tirto yang dikutip AFP, jasad-jasad itu dikuburkan di tempat pemakaman tanpa tanda di Jawa bagian timur. Lebih dari 900 pelaut Belanda dan 250 pelaut Indo-Belanda tewas saat Pertempuran Laut Jawa itu. Angkatan laut pihak Sekutu juga menderita kekalahan parah, mereka dikalahkan oleh Angkatan Laut Kerajaan Jepang.
Baca juga: 3 Bangkai Kapal Perangnya Hilang di Laut Jawa, Belanda Minta Ada Investigasi
Bangkai-bangkai kapal itu juga hilang secara misterius. Diduga, bangkai-bangkai kapal itu diangkut dan dipotong-potong besi berharganya.
"Kabar yang tak terkonfirmasi dari laporan belakangan ini, dalam hal ini soal jasad-jasad manusia... akan diinvestigasi lebih lanjut secara lokal," kata Menteri Pertahanan Belanda Ank Bijleveld.
"Investigasi diperlukan untuk memastikan apakah ada hubungan antara tiga kapal perang Belanda itu," kata Bijleveld dalam sebuah surat kepada parlemen Belanda yang dirilis pada Kamis waktu setempat.
"Pihak Indonesia mengkonfirmasi bahwa mereka sedang melihat lebih dalam terhadap laporan-laporan itu dan membuka kemungkinan tentang informasi terbaru... dan memberi kabar kepada kita bila demikian adanya," kata Bijleveld. "Ini terlalu dini untuk berspekulasi tentang hasil investigasi," kata Bijleveld.
Kepala Dinas Penerangan Angkatan Laut (Kadispenal) Laksamana Pertama TNI Gig Jonias Mozes Sipasulta menolak berkomentar kepada AFP. "Tak ada keterangan dari saya soal hal ini," kata Gig Jonias.
Pekan lalu, Bijleveld mengatakan pemeriksaan awal yang dilakukan ahli Belanda dan Indonesia tentang hilangnya kapal-kapal perang itu belum memunculkan jawaban pasti. Namun beberapa anggota parlemen Belanda yang marah menilai bahwa respons Bijleveld itu memunculkan kesan "pihak yang bersalah tak akan ditemukan". Demikian dikabarkan tabloid De Telegraaf.
Baca juga: Pemerintah Pastikan Usut Hilangnya Bangkai Kapal Belanda di Laut Jawa
Indonesia pada mulanya menolak dipersalahkan soal kapal-kapal yang hilang itu. Mereka mengatakan tak pernah dimintai tolong untuk melindungi kapal-kapal itu, maka tak ada tanggung jawab yang diemban. Namun belakangan Indonesia setuju untuk bekerjasama dengan Belanda.
Penyelam amatir menemukan kapal-kapal Belanda yang telah lama hilang pada 2002, alias 60 tahun setelah kapal-kapal itu tenggelam di bentrokan besar angkatan laut masa silam.
Namun ekspedisi internasional yang berlayar ke situs itu terkejut karena kapal-kapal itu hilang. Para ahli mengatakan ada operasi pengangkutan bangkai-bangkai itu di seluruh Indonesia. Operasi itu bervariasi dari operasi komersial yang besar menggunakan derek ke operasi kecil-kecilan menggunakan kapal kecil.
(dnu/dnu)
Wednesday, January 03, 2018
72 Tahun Lalu, Perintah Rahasia Bung Karno dan Cikal Bakal Paspampres
SABRINA ASRIL.Kompas.comJAKARTA, KOMPAS.com — Pada tanggal 3 Januari 1946, sebuah peristiwa bersejarah tercipta. Saat itu, sekelompok pemuda yang selama ini secara sukarela mengawal dan melindungi Presiden Soekarno menjadi saksi sekaligus pelaku sebuah operasi penyelamatan berlangsung.
Mantan pengawal Bung Karno, Mayjen TNI (Purn) Sukotjo Tjokroatmodjo dalam buku 70 Tahun Paspampres mengisahkan, pada akhir tahun 1945 kondisi di Jakarta kian tak kondusif. Kelompok pro-kemerdekaan dan kelompok pro-Belanda saling serang.
Ketua Komisi Nasional Jakarta Mohammad Roem mendapat serangan fisik. Perdana Menteri Sjahrir dan Menteri Penerangan Amir Sjarifuddin juga nyaris dibunuh simpatisan Belanda.
"Karena itu, pada tanggal 1 Januari 1946, Presiden Soekarno memberikan perintah rahasia kepada Balai Yasa Manggarai untuk segera menyiapkan rangkaian kereta api demi menyelamatkan para petinggi negara," ungkap Sukotjo.
Baca juga: VIDEO: Begini Kerja Paspampres Menjaga Kaesang saat Diserbu Masyarakat Nabire
Pada tanggal 3 Januari 1946, Bung Karno memutuskan untuk memindahkan ibu kota dari Jakarta ke Yogyakarta. Sejumlah pejabat negara mulai dari Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Hatta beserta beberapa menteri/staf dan keluarganya harus segera bertolak ke Yogya. Rombongan meninggalkan Perdana Menteri Sutan Sjahrir dan kelompok yang bernegosiasi dengan Belanda di Jakarta.
Perpindahan dilakukan dengan menggunakan kereta api berjadwal khusus sehingga disebut dengan Kereta Luar Biasa (KLB).
Perjalanan KLB ini mengunakan lokomotif uap nomor C2849 bertipe C28 buatan pabrik Henschel, Jerman, dengan rangkaian kereta inspeksi yang disediakan Djawatan Keretea Api (DKA).
Rangkaian kereta api ini terdiri dari delapan kereta mencakup satu kereta bagasi, dua kereta penumpang kelas 1 dan 2, satu kereta makan, satu kereta tidur kelas 1, satu kereta tidur kelas 2, satu kereta inspeksi untuk Presiden, dan satu kereta inspeksi untuk Wakil Presiden.
Baca juga: Lenggak-lenggok Paspampres Bergaya Layaknya Ade Rai...
Sukotjo mengisahkan, saat itu perjalanan dimulai pada sore hari dengan KLB berangkat dari Stasiun Manggarai menuju Halte Pegangsaan dan kereta api berhenti tepat di belakang rumah Bung Karno di Jalan Pegangsaan Timur 56.
Setelah 15 menit keberangkatan, KLB kembali ke Stasiun Manggarai dan memasuki jalur 6. Kereta api kemudian melanjutkan perjalanan ke Jatinegara dengan kecepatan 25 km per jam.
KLB berhenti di Stasiun Jatinegara menunggu sinyal aman dari Stasiun Klender.
"Menjelang pukul 19.00, KLB melanjutkan perjalanan tanpa lampu dan bergerak lambat agar tidak menarik perhatian para pencegat kereta api yang marak di wilayah itu," tutur Sukotjo.
Tak hanya di dalam kereta, pengamanan juga dilakukan di jalur jalan raya yang bersinggungan dengan jalur kereta. Sebuah gerbong kosong diletakkan sebagai barikade.
Baca juga: Minta Bertemu Jokowi, Seorang Pria Ancam Tusuk Paspampres di Istana Negara
Selepas Stasiun Klender, lampu KLB dinyalakan dan kereta api langsung melaju cepat dengan kecepatan 90 km per jam. Sepanjang perjalanan, KLB hanya berhenti dua kali yakni di Stasiun Cikampek pada pukul 20.00 dan Stasiun Purwokerto pukul 01.00.
Kereta tiba di Yogyakarta pada tanggal 4 Januari 1946 pukul 07.00.
Keberhasilan operasi senyap ini pun dijadikan dasar hari lahirnya Paspampres pada 3 Januari.
Thursday, December 07, 2017
Viral, Sendirian Kakek Veteran Tentara Merawat Cucunya yang Idap Penyakit Langka, Sebuah Fakta Mengejutkan Terungkap!
Laporan wartawan Grid.ID, Aditya Prasanda
Grid.ID - Usianya sudah memasuki 88 tahun.
Namun fisiknya masih terlihat 'enggan menyerah' di masa-masa orang seumuran dirinya.
Kakek bernama Toton ini bahkan masih berjualan sayur yang ia tanami sendiri.Ya, semua demi menghidupi dirinya dan cucu semata wayangnya.Di kediamannya di Pangandaran, Jawa Barat, Toton berjuang menghidupi diri dan merawat cucunya, Syifa.
Sebab sebuah penyakit langka menggerogoti Syifa.
Gadis berusia 17 tahun ini seharusnya sudah tumbuh layaknya remaja pada umumnya.
Namun penyakit Malabsorption Syndrome membuat tubuh Syifa terlihat bak tulang terbalut kulit saja.Penyakit ini merupakan kelainan yang menyebabkan usus halus tidak bisa menyerap cukup nutrisi dan cairan tertentu.
Dan Syifa telah menderitanya sedari bayi.
Syifa yang malang juga harus kehilangan kedua orang tuanya sedari bayi.
"Di usia 5 bulan, sang ayah meninggal dunia karena kecelakaan," ujar Toton dilansir Grid.ID dari viral4real, Kamis (7/12/2017).Kepergian sang ayah kemudian disusul sang ibu yang meninggal tiga bulan kemudian.
Sejak saat itu Syifa hidup bersama kakeknya, Toton.
Sebelum pensiun, Toton berprofesi sebagai seorang tentara.
Namun miris, tak sepeser pun uang ia pensiun ia terima dari pemerintah. Demi mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari dan merawat cucunya, Toton bekerja sebagai tukang sayur.
Berdasarkan penelusuran Grid.ID melalui akun Mukhtar Sofa, kisah pilu Toton dan cucunya Syifa ini telah beredar sedari 2016. Sejauh ini belum diketahui bagaimana keadaan terakhir Toton dan cucunya.(*)
Saturday, November 18, 2017
Ketua PPM Papua Menolak Hasil Kongres LVRI Yang Menetapkan PPM Sebagai Mitra Kerja
Reporter: Hari Supriyanto
Jakarta, Suryapena.com -- Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) telah melaksanakan Kongres pada 17 Oktober 2017 lalu. Dari hasil Kongres tersebut menyatakan bahwa putra/putri veteran yang tergabung dalam wadah organisasi Pemuda Panca Marga (P PM) akan dijadikan sebagai rekan kerja (mitra).
Menanggapi hal tersebut, Ketua Pengurus Daerah Pemuda Panca Marga (PD.PPM) Papua, Boy Markus Dawir mengatakan kalau kami dari Papua sesuai pernyataan kami semalam bahwa PD.PPM Papua sangat menolak hasil Kongres LVRI yang telah menetapkan PPM sebagai mitra kerja bukan anak/keturunan veteran. Padahal kami ini bukan mitra, tapi ini adalah anak-anak pejuang.
"Sehingga kalau orang tua kita yang sudah menjadi pejuang, maka anak-anaknya itu tidak bisa disebut sebagai mitra kerja.Jadi kami anak kandung resmi pejuang yang mendukung dan menolong orang tua meneruskan perjuangannya," ujar usai menghadiri Rapim PPM di hotel Sunlake, Jakarta, Sabtu (19/11/2017).
Boy menjelaskan sebab PPM itu tidak hanya dibawah LVRI, tapi PPM ini ada di sebuah organisasi kepemudaan yang ada juga di KNPI secara nasional. Dan organisasi PPM ini bukan hanya ada di DKI Jakarta tapi juga ada di seluruh Provinsi maupun Kabupaten/Kota se Indonesia.
Termasuk kami yang dari tanah Papua yang terdiri dari 1 Provinsi dan 29 Kabupaten/Kota. Organisasi ini besar, sehingga kewajiban kita adalah bagaimana mengawal agar pejuang veteran dan keluarganya mendapatkan hak bisa disuarakan oleh PPM bisa dilihat oleh pemerintah atau negara.
"Adanya negara ini dikarenakan ada para pejuang kemerdekaan, jangan sampai pemerintah itu lupa terhadap pendiri-pendiri negara ini yang sebagian mereka ada di dalam LVRI," katanya.
Meskipun ada pihak tertentu yang tidak suka dengan Haji Lulung sebagai Ketua Umum PPM. Namun PD.PPM tetap solid dan akan mendukung kepemimpinannya sampai selesai di periode kedua.
Lanjut Boy, ada pihak tertentu yang tidak suka dengan Haji Lulung, namun pandangan kami terhadap dia tidak demikian karena kami melihat dia adalah pemimpin yang aspiratif dan sangat baik. Sehingga kemarin dalam Munas kami mayoritas kembali memilih beliau sebagai Ketua di periode kedua ini.
"Saya kira dengan adanya situasi seperti ini,ada indikasi susupan kepentingan partai politik di dalam. Tetapi jujur bahwa kami yang ada di dalam PPM ada terdiri dari beragam partai politik. Kalau Haji Lulung sebagai Ketua Umum di PPP, saya Ketua PD Papua ada di Partai Demokrat, bahkan kawan kita dari Sulawesi Utara ada di Parta Nasdem," terangnya.
Menurut Boy, kita seluruh partai politik ada di dalam PPM, sehingga kalau cuman masalah dukung mendukung saat Pilkada DKI Jakarta jadi masalah itu merupakan hal yang konyol. Kita mengharapkan agar LVRI tidak boleh terganggu dengan statemen satu atau dua orang yang akhirnya jadi seperti ini.
Dan kami inilah ke depan yang akan menggantikan sebagai penerus untuk meneruskan cita-cita orang tua pendiri bangsa dan yang ikut membesarkan negeri ini. Karena yang di LVRI ini kan sebentar lagi akan habis masanya, terus siapa yang mengganti mereka ? Pasti kami-kami lah, sebagai anak, cucu maupun keturunannya untuk tetap menjaga NKRI tetap utuh dari Sabang sampai Merauke.
Boy mengingatkan jangan karena kepentingan politik di Jakarta saja lalu PPM mau diobok-obok, tidak boleh itu terjadi. Kita PPM seluruh Indonesia terutama Papua sepakat untuk tetap mendukung penuh Lulung sebagai Ketua Umum sampai akhir periode. Untuk kami PPM Papua sendiri hubungan kami antara PPM dan LVRI baik-baik saja dan aman tidak terpengaruh dengan hal demikian.
Karena antara kami di Papua itu berpikir untuk tetap sama-sama jalan, apalagi kami yang di PPM ini ada yang di birokrat contohnya saya sendiri ada di DPR Provinsi Papua yang mengawal seluruh kepentingan pembangunan-pembangunan di sana."Termasuk kami melihat bagaimana kesejahteraan para pejuang yang ada di Papua. Kalau LVRI tingkat pusat arah pikirnya lain, yang mengucilkan PPM nanti kami yang di daerah-daerah bisa terganggu," katanya.
Contoh, tambah Boy, kami yang saat ini ada di lingkar kekuasaan, kalau kami terganggu lalu kami ganggu lagi LVRI yang ada di daerah bagaimana mereka mau hidup ? Kalau anggarannya kita potong, misalnya saya Gubernur, Bupati/Walikota atau di DPRD mempunyai kuasa untuk mengalokasikan anggaran kegiatan kemasyarakatan termasuk juga pada LVRI. Kalau saya disakiti kasih habis saja tidak perlu untuk biaya hidup mereka, itulah contohnya seperti itu.
Terus apakah ada tuntutan undang-undang ? Saya rasa tidak ada, karena ini hanya kewajiban moral kita terhadap nasib para pejuang."Untuk itu saya harapkan ayahanda kita yang ada di LVRI melihat PPM ini bukan sebagai rekan kerja atau mitra, tapi lihatlah PPM ini sebagai anak mu. Karena untuk PPM Papua sampai hari ini tetap jalan, kita di sana tidak ada masalah apapun dan tetap solid," ungkapnya
Usai Gelar Rapim PPM Tetap Solid, Anak Veteran Satu Untuk Indonesia
Reporter: Hari Supriyanto
Jakarta, Suryapena.com -- Pemuda Panca Marga (PPM) telah berhasil menggelar Rapat Pimpinan (Rapim) selama dua hari sejak tanggal 17 sampai 18 November 2017 di hotel Sunlake, Danau Sunter, Jakarta Utara. Pada Rapim tersebut dibahas beberapa hal diantaranya pasca Kongres LVRI (Legiun Veteran Republik Indonesia) beberapa waktu lalu.
Ketua Umum PPM, H. Lulung AL, SH mengatakan satu tahun sekali kami selalu mengadakan Rapim, dan untuk kali ini lebih pada konsolidasi meminta perkembangan di Markas Daerah (Mada) Provinsi dengan Provinsi. Dalam rapim tadi sudah banyak hal-hal yang disampaikan tentang perkembangan tepat waktu mereka melakukan konsolidasi organisasi.
"Kemudian ada hal-hal lain mengenai persoalan ekonomi terutama ekonomi kerakyatan. Selain itu disinggung juga, persoalan CSR, hak tanah ulayat (tanah adat), dan yang terakhir kita bahas keputusan Kongres LVRI," ujarnya seusai Rapim di hotel Sunlake, Jakarta, Sabtu (18/11/2017).
Lanjut Lulung, dimana ada beberapa hal yang hari ini kita reduksi artinya apa saja yang bisa diterima ? Yang pertama adalah dimasukan anak veteran garis miring mitra binaan, sehingga ini menjadi abu-abu jika anak ya anak saja kita tidak masalah kalau kita kembali pada anak organisasi. Yang kedua adalah dikatakan bahwa Pemuda Panca Marga tidak boleh ada jabatan rangkap sebagai Ketua Partai, kita harus memilih salah satu. Hal tersebut lah yang tadi minta ditanggapi.
Kenapa kita bikin Rapim ? Karena tidak ada satu pun teman-teman Provinsi (Markas Daerah) kita pengaruhi dengan adanya dalam Rapim membahas keputusan Kongres LVRI."Mereka bebas mengungkapkan semua masalah yang ada di organisasi, karena itu merupakan kebutuhan-kebutuhan kehidupan organisasi di seluruh daerah," kata Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta tersebut.
Oleh karenanya, sambung Lulung, ada kesepakatan bahwa jabatan rangkap itu tidak setuju jika dihilangkan. Karena sepertinya akan merampas hak-hak politik dan demokrasi kepada kita. Di dalam UUD 1945 sudah jelas memberikan penuh tentang demokrasi, tentang hak politik bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama dalam pemerintahan.
Kemudian kemarin itu ada saran dalam Kongres bahwa cucu veteran itu tidak boleh menjabat atau masuk dalam organisasi. Sehingga hal ini saya pikir harus diluruskan, bukan keliru ya tapi harus diluruskan karena dalam AD/ART disampaikan bahwa PPM adalah wadah berhimpun anak-anak pejuang dan keturunannya.
"Jadi sampai keturunan berapa pun selama dia memiliki legitimasi sebagai keturunan veteran. Jika hal tersebut dihilangkan maka akan menghilangkan marwah PPM sebagai organisasi keturunan veteran," terangnya.
Dalam Pilkada serentak 2018, tambah Lulung, saya sampaikan kepada seluruh PPM uang pertama mensukseskan dan mengamankan itu harga mati. Yang kedua menggunakan haknya sebagai warga negara Indonesia.
"Dan yang ketiga jangan menggunakan PPM sebagai organisasi yang independen secara kelembagaan untuk mendukung salah satu calon. Artinya PPM tidak boleh dibawa ke ranah politik, karena kita sadari dan mengerti tentang itu," tegas politis PPP tersebut.
Sementara itu, Sekjen PPM Saharuddin Arsyad, S.Ip mengungkapkan dalam Rapim yang telah berlangsung selama dua hari ini, peserta yang hadir terdiri dari 31 Provinsi. Yang tidak hadir Ketua maupun Sekretaris PD.PPM dikarenakan sibuk mengikuti pencalonan Pilkada 2018.
"Sampai pada hari ini PPM tetap solid, anak veteran satu untuk Indonesia. Dalam kesempatan tersebut hadir juga Ketua PD.PPM Sulawesi Selatan yang juga Wakil Gubernur Sulsel dan Walikota Jambi sekaligus Ketua PD.PPM Jambi," tutupnya.
Friday, November 10, 2017
Kisah Merapatnya Mallaby dan Gurkha di Tanjung Perak
Red: Karta Raharja Ucu
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ronggo Astungkoro, wartawan Republika
Pada 25 Oktober, di bawah pimpinan Brigjen AWS Mallaby, Brigade 49 yang membawa sekitar 4.000 personel pasukan Gurkha mendarat di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Menggunakan kapal perang Inggris HMS Wavenley, pasukan Inggris itu turun di dermaga Modderlust Surabaya.
Saat itu, ada kisah yang menurut Ady unik untuk diketahui. Kamis pagi sekitar pukul 09.00 hingga 12.30 WIB itu, ketika Mallaby dan pasukannya datang, tak ada perwira yang berjaga di Modderlust. Ketika itu, yang berjaga di sana adalah para wartawan dari kantor berita Antara dan mereka sedang bersantai.
Kemudian, armada Inggris tiba-tiba kelihatan mendatangi pelabuhan dan para wartawan itu pun bingung semua. Perwira tak ada di tempat, hanya ada prajurit-prajurit kecil yang tidak berani mengambil keputusan apa pun. Bahkan, para prajurit kala itu tak paham kode morse yang diberikan kapal Inggris.
"Yang paham morse justru para wartawan ini. Mereka bingung mengambil keputusan karena kapal Inggris itu memberikan morse terus. 'We are going on land, waiting for instruction' berjalan terus seperti itu morsenya," kisah Ady.
Wartawan yang telah mencoba menghubungi para perwira dan tak tersambung pun akhirnya membalas morse dari kapal Inggris itu. Ady lupa persisnya balasan para wartawan itu. Yang jelas, mereka membalasnya tidak dengan menggunakan bahasa militer.
"Intinya 'Jangan mendarat dulu, tunggu instruksi petinggi kami'," kata dia. Berdasarkan buku The British Occupation of Indonesia 1945-1946 karya Richard McMillan, kapal Inggris mendapatkan balasan morse dari Modderlust yang berarti "Do NOT land until we recieve orders from Dr. Moestopo".
Mengerti tidak dibalas dengan bahasa militer, sekutu marah. Sekutu pun akhirnya membalas morse tersebut dengan arti "we don't take orders from anybody". Hingga akhirnya mereka tetap merapat ke dermaga dan menurunkan pasukan-pasukannya.
Pasukan Inggris Duduki Lokasi Strategis di Surabaya
Kini, bangunan Modderlust, tempat pemantauan kapal yang keluar masuk pelabuhan kala itu sudah tak tampak lagi. Di lokasi bekas berdirinya gedung itu, hanya terdapat sebuah monumen di sana.
"Setelah turun, mereka akhirnya ditemui oleh orang-orang perwakilan RI. Mereka juga menghadap ke Gubernur Soerjo juga pada waktu itu dan ditentukan mereka tidak boleh masuk lebih jauh dari jarak yang telah ditentukan dari wilayah pelabuhan," tutur Ady.
Tapi ternyata, mereka mengingkari kesepakatan itu dan membangun pos-pos mereka di sekitar sana. Richard McMillan menuliskan, pasukan Inggris mulai menduduki beberapa lokasi di Kota Surabaya pada sore hari setelah mereka mendarat. Mereka telah memilih lokasi mana saja yang dijadikan target untuk diduduki. Termasuk stasiun Radio Republik Indonesia (RRI) dan beberapa kantor pelayanan publik lainnya.
Di Pelabuhan Tanjung Perak sendiri, selain gedung Modderlust yang hanya tinggal monumen, memang tak banyak bangunan kuno yang ada di sana. Ketika Republika melihat-lihat dengan membawa foto Pelabuhan Tanjung Perak tempo dulu, sudah banyak yang tidak tampak di kawasan itu.
Bangunan-bangunan yang ada di sana sudah banyak berbeda berdasarkan foto tempo dulu. Ketika bertanya kepada petugas keamanan pelabuhan, mereka mengatakan hanya tinggal satu bangunan yang dipertahankan bentuknya, yaitu gedung yang saat ini menjadi Kantor Kesyahbandaran Utama Tanjung Perak Surabaya.
Bangunan yang berarsitektur khas zaman kolonial belanda itu terletak tak jauh dari Terminal Penumpang Gapura Surya Nusantara Pelabuhan dan berada di muara Kalimas. Tamu yang ingin masuk ke dalam wilayah gedung itu harus melewati dua pos penjagaan.
Republika harus berputar-putar lebih dulu sebelum menemukan prasasti yang ditandatangani oleh Panglima Armada RI Laksamana Muda TNI Prasodjo Mahdi pada 1978. Dalam prasasti itu diterangkan, bangunan itu digunakan sebagai markasi Serikat Pelayaran Indonesia (SPI) pada masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan.
Letak prasasti itu ada di pojok muara kalimas. Dekat dengan pagar pembatas antara bangunan itu dengan dermaga. Mungkin, prasasti itu tak akan terlihat jika pengunjung tak melihat gedung itu dari sisi depan.
Friday, October 06, 2017
Misi rahasia Kopassus menyusup ke garis musuh dengan kapal selam
Reporter : Ramadhian Fadillah
Merdeka.com - Perintah dari Komando Mandala jelas dan tegas. Segera daratkan pasukan sebanyak-banyaknya di Papua sebagai awal dari Operasi Jayawijaya.
Saat itu Papua masih bernama Holandia. Belanda enggan menyerahkan pulau di ujung timur itu pada Indonesia sesuai hasil konferensi Meja Bundar. Tahun 1962 Papua dipertahankan dengan kuat oleh Belanda. Deretan kapal perang, pasukan marinir dan sejumlah kapal tempur Belanda sudah siaga menghadapi perang besar.
Presiden Soekarno pun menggelar operasi militer besar-besaran untuk merebut Papua dari tangan Belanda.
Salah satu fase Operasi Jayawijaya adalah menyusupkan infiltran sebanyak-banyaknya ke Papua. Pasukan elite TNI seperti Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD kini Kopassus), Banteng Raider, Komando Pasukan Gerak Tjepat (Kopasgat kini Paskhas TNI AU), diterjunkan dengan pesawat C-130 Hercules atau Dakota C-47 di belantara Papua.
Misi mereka merebut Biak atau kota-kota lainnya dari tangan Belanda. Minimal mengalihkan perhatian tentara Belanda saat Operasi Jayawijaya digelar.
Namun ada satu misi khusus yang tak biasa kala itu. Menyusupkan pasukan elite ke belakang garis musuh dengan menggunakan kapal selam. Sepanjang sejarah TNI, baru sekali misi seperti itu digelar.
Awal 1960an, persenjataan, TNI tak kalah dengan negara-negara barat. TNI AL misalnya yang baru kedatangan sejumlah kapal perang dan 12 kapal selam paling canggih saat itu dari Uni Soviet.
Maka Komando Mandala menilai misi tersebut sangat mungkin dijalankan. Untuk pasukan yang dipilih adalah Detasemen Pasukan Chusus (DPC) dari RPKAD pimpinan Letnan Satu Dolf Latumahina. Mereka dilengkapi senapan AK-47 yang ketika itu masih terbatas jumlahnya. Setiap prajurit juga dilengkapi dengan peralatan survival yang cukup untuk bertahan hidup.
Misinya, pasukan diangkut dari Teluk Kupa-kupa di Halmahera menuju Teluk Tanah Merah di Papua dengan kapal selam. Setelah dekat pantai, kapal selam akan muncul ke permukaan. Pasukan RPKAD akan memompa perahu karet dengan pompa udara bertekanan tinggi. Selanjutnya mereka akan mendayung ke arah pantai sementara kapal selam kembali ke wilayah Indonesia.
Ancaman terbesar muncul dari kapal perang Belanda yang rutin melakukan patroli. Sementara itu di bawah laut, dua kapal selam Belanda terus mengejar keberadaan kapal selam TNI AL. Lalu ada pesawat intai Neptune yang terbang rendah siang malam. Jelas tak mudah menembus blokade itu. Namun prajurit TNI tak gentar.
Tanggal 15 Agustus 1962, tiga kapal selam berangkat dari Teluk Kupa-kupa dengan kerahasiaan penuh. Radio dimatikan untuk menghindari bocornya informasi ke tangan Belanda. Masing-masing kapal disesaki oleh 15 anggota pasukan RPKAD bersenjata lengkap.
Misi berjalan penuh rintangan. Kapal selam RI Nagarangsang terpergok kapal perang Belanda dan akhirnya terpaksa kembali ke pangkalan.
Sementara RI Trisula membatalkan pendaratan dan memanggil kembali pasukan RPKAD yang sudah berada di pantai. Padahal pasukan RPKAD sudah mencapai sasaran. Penyebabnya pesawat patroli Belanda Neptune sudah mendekat. Begitu juga Destroyer Belanda yang terus berputar-putar di lokasi mereka.
Kapal selam ketiga adalah RI Tjandrasa. Ketegangan saat pendaratan pasukan dilukiskan oleh perwira torpedo Letnan Subagijo.
"Tanggal 22 Agustus 1962 pukul 22.00 WIB, RI Tjandrasa muncul setengah ke permukaan. Jarak dari kapal ke pantai kira-kira dua kilometer. Perahu karet dikeluarkan lewat conning tower dan dipompa siap untuk pendaratan," kata Subagijo seperti ditulis wartawan senior Atmadji Sumarkidjo dalam buku Mission Accomplished, yang diterbitkan Kata Hasta Pustaka tahun 2010.
Namun tiba-tiba cahaya terang menyinari buritan kapal. Pesawat Neptune menembakkan peluru suar hingga suasana malam berubah menjadi terang benderang. Lampu sorot pesawat pun diarahkan ke kapal selam.
Sesuai prosedur, seluruh pasukan RPKAD diperintahkan kembali masuk. Kapal selam langsung melakukan crash dive untuk ke dalam lautan untuk menghindari pantauan pesawat musuh.
Setelah menjauh, diadakan perencanaan ulang. Dengan dramatis Komandan RI Tjandrasa Mayor Mardiono memutuskan pendaratan akan kembali diulang keesokan harinya. Keputusan yang penuh dengan risiko karena bukan tidak mungkin Belanda akan melakukan patroli di tempat yang sama.
Jika misal saat menurukan pasukan RPKAD tiba-tiba datang pesawat Belanda kembali apa yang harus dilakukan? Apakah menyelamatkan kapal selam dengan menyelam dan meninggalkan pasukan RPKAD? Atau menunggu semua masuk dulu dengan resiko ditembaki musuh? Atau apakah pendaratan kembali diulang? Sungguh berat keputusan yang harus diambil.
"Di sinilah terasa beratnya tanggung jawab komandan kapal selam mengenai keberhasilan tugas yang dipercayakan kepadanya," kata Mayor Mardiono.
Ketika hari mulai gelap para pemberani itu mengulangi aksi mereka. Tak jauh dari lokasi kemarin, RI Tjandrasa kembali muncul setengah. Dengan mantap satu demi satu proses evakuasi pasukan dijalankan. Tak ada pesawat atau kapal Belanda yang terlihat saat itu.
"Tiga sekoci pendarat diselimuti kegelapan dengan didayung lepas dari RI Tjandrasa menuju pantai pendaratan. Suasana tenang, sepi, hanya suara dayung pasukan kita yang terdengar," kata Letnan Subagijo melukuskan suasana malam itu.
Seluruh awak RI Tjandrasa menahan napas menyaksikan perahu karet mencapai sasaran. Mereka memastikan semuanya aman sebelum kembali menyelam dan keluar dari wilayah Belanda.
Setelah jauh baru semuanya menarik napas lega. Misi telah sukses dilaksanakan!
Itulah keberhasilan awak RI Tjandrasa yang kemudian hari diganjar Bintang Sakti. Penghargaan tertinggi untuk keberanian dan keberhasilan di medan tugas bagi seorang prajurit TNI.
Namun perang besar di Papua batal terjadi karena akhirnya Indonesia dan Belanda menyepakati gencatan senjata. Kelak Papua kembali ke pangkuan Indonesia lewat penentuan pendapat suara rakyat.
[ian]
Friday, September 22, 2017
“Jika PKI Bangkit, Memangnya Kenapa?"
Red: Maman Sudiaman
REPUBLIKA.CO.ID, Pertanyaan yang tampak sederhana, sesederhana cara berpikir orang yang mengungkapkannya.
Untuk menjawab, mungkin kita perlu menelaah lagi sejarah dan fakta yang ada di lapangan.
Saya tidak akan bercerita tentang peristiwa bulan Oktober di tahun 1945, ketika kelompok pemuda PKI membantai pejabat pemerintahan di Kota Tegal, menguliti serta membunuh sang bupati. Tak cukup di situ, mereka menghinakan keluarganya. Kardinah, adik kandung RA Kartini yang menikah dengan bupati Tegal periode sebelumnya, termasuk salah satu korban. Pakaian wanita sepuh itu dilucuti, kemudian diarak dengan mengenakan karung goni.
Betapa saat rakyat Indonesia tengah berjuang melawan penjajah, ketika arek-arek Suroboyo berebut merobek bendera merah putih biru di Hotel Yamato, lalu bertarung menghadapi sekutu pada 10 November, di belahan lain sebulan sebelumnya, sejumlah pejuang turut berdarah-darah dalam pertempuran lima hari di Semarang, membredeli tentara Jepang, PKI justru merusak tatanan bangsa di mana-mana. Menggerogoti dari dalam.
Anasir PKI bergerak merebut kekuasaan di Slawi, Serang, Pekalongan, Brebes, Tegal, Pemalang, Cirebon, dan berbagai wilayah lain. Menghilangkan nyawa anak bangsa dan tokoh pejuang. Bupati Lebak dihabisi, tokoh nasional Otto Iskandardinata diculik dan dieksekusi mati bahkan keberadaan jenazahnya menyisakan misteri. Sultan Langkat dibunuh serta hartanya dijarah. Bahkan Gubernur Suryo, tokoh sentral dari peristiwa di Surabaya juga dibunuh PKI.
Ketika tokoh PKI Amir Syarifuddin Harahap berhasil menjadi Perdana Menteri di tahun 1948, arus bawah PKI merasa mempunyai kekuatan. Muso memproklamirkan Republik Soviet Indonesia, beraliansi komunis. Dan lebih parah lagi dalam Perjanjian Renville, dengan mudah Amir Syarifuddin menyerahkan begitu banyak kekuasaan pada Belanda dan memasung wilayah Indonesia.
Keganasan PKI makin membabi buta.
Saya sebenarnya tidak hendak bercerita tentang peristiwa di Gontor. Ketika setiap pagi menjelang, satu per satu kyai diabsen dan nama yang disebut serta-merta disembelih. Atau kisah Haji Dimyati, aktivis Masyumi yang digorok lehernya sebelum dimasukkan ke sebuah sumur bersama korban pembantaian lainnya.
Juga tentang kesaksian Isra dari Surabaya yang ayahnya diseret ke sawah sembari dihajar beramai-ramai hingga jasadnya tidak berbentuk lagi; hancur, habis terbakar, dan dimakan anjing. Sang anak terpaksa memungut potongan tubuh ayahnya satu per satu dan dimasukkan kaleng.
Atau cerita Moch. Amir yang empat sahabatnya sesama aktivis dakwah disiksa dengan dipotong kemaluan dan telinga mereka hingga ajal menjemput. Atau testimoni Suradi saat para kyai dimasukkan loji lalu dibakar. Yang berhasil keluar tak lantas bebas, melainkan dibacoki. Pun saya sejujurnya tidak ingin mengisahkan kesaksian Mughni yang melihat tokoh Islam dari Masyumi di Ponorogo diciduk dan dinaikkan truk. Telinga kakaknya dipotong, lalu dibuang di sumur tua.
Juga tentang Kapolres Ismiadi yang diseret dengan Jeep Wilis sejauh 3 km hingga wafat. Setelah tentara dibunuhi, gantian polisi dilibas. Kemudian pejabat, ulama, serta para santri.
Pascagerakan komunis berhasil dihentikan di tahun 1948, pada 1965 PKI kembali beraksi.
Buya Hamka, Ketua MUI pertama dan para ulama lainnya dipenjara. Mereka difitnah oleh kalangan PKI yang saat itu sangat dekat dengan pemerintah berkuasa. Tak hanya menerima siksaan setiap hari, Buya Hamka memperoleh ancaman akan disetrum kemaluannya.
Deretan kisah mengiris hati di atas pernah saya baca, tapi tidak akan saya ceritakan sebagai jawaban atas pertanyaan itu. Karena mungkin hanya dianggap serpihan dari peristiwa kecil.
Tapi, kini mari kita lihat apa yang terjadi jika komunisme berkuasa.
Di Uni Soviet, sekitar 7 juta orang tewas dalam Revolusi Bolsevik dipimpin oleh Lenin. Di masa Stalin 20 juta orang terbunuh untuk memuluskan program komunisme.
Salah satu cara komunisme bertahan adalah, melestarikan tidak adanya perbedaan pendapat, dan jika berbeda sebaiknya dibunuh, berapa pun jumlah korban yang dibutuhkan.
Di Kamboja, sekitar 2 juta orang atau sepertiga jumlah penduduk dibantai untuk mengukuhkan kekuasaan komunis. Di Cina jumlah korban meninggal dalam revolusi diduga mencapai 80 juta.
Jadi, jika PKI bangkit, memangnya kenapa?
Pertanyaan seperti ini lebih baik dijawab dengan pertanyaan.
JIka PKI pernah mengkhianati kemerdekaan bangsa, apa jaminan mereka tidak akan mengulanginya?
Jika baru mempunyai sedikit kekuasaan saja sudah membantai begitu banyak orang, apa yang terjadi jika memegang kekuasaan besar?
Jika komunisme dilatih tidak bisa berbeda pendapat, lalu di mana letak kebebasan?
Dan yang terpenting dari semua itu, jangan berteriak korban. Mengutip Ahmad Mansur Suryanegara, PKI di Indonesia bukan korban, mereka pelaku. Atau istilah Agung Pribadi dalam buku Gara-Gara Indonesia, ini saatnya rekonsiliasi, kita bisa maafkan, tapi jangan lupakan sejarah pembantaian yang dilakukan PKI.
Try Sutrisno Dukung Panglima Soal Nobar Film G30S/PKI
Edward Febriyatri Kusuma - detikNews
Jakarta - Wakil Presiden RI ke-6 Try Sutrisno menyetujui usul Panglima TNI Gatot Nurmantyo tentang pemutaran film G30S/PKI. Pemutaran itu untuk mengingatkan bahaya laten komunisme dan sejarah PKI.
"Saya bangga kemarin saudara Gatot film G30S/PKI akan diputar lagi. Bangga saya, alasan anda supaya prajurit saya tahu kenyataannya tingkah laku PKI sebagai pengkhianat, itu tidak dibuat-buat, nyatanya disiksa. Gerwani jelas. Jadi setuju saya," ujar Try Sutrisno di Aula Gatot Soebroto, Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, Jumat (22/9/2017).
Baca juga: Panglima Jawab Tudingan PDIP soal Berpolitik Lewat Film G30S/PKI
Baca juga: Saat Para Santri di Jombang Nonbar Film G30S/PKI
Try tidak menyoalkan keinginan Presiden Joko Widodo, agar film yang diputar dibuat ringkas. Selain itu dikemas lebih moderat.
"Ya sudahlah ok, supaya mengimbangi lebih dingin. Silahkan. Tapi intinya kewaspadaan kepada PKI, harus tetap karena ideologi predator pancasila itu banyak. Kita sudah mantap pancasila jangan ragu-ragu," ujarnya.
Try mengingatkan anak cucu PKI yang masuk ke dalam tubuh TNI lantaran tidak adanya deteksi dini sebelum masuk pendidikan akademi militer. Dia meminta agar Akmil diisi orang-orang yang memiliki semangat NKRI bukan pemberontakan.
"Tidak mustahil anak cucu PKI akan masuk ke Akmil itu sasaran strategis jangka panjang. Jadi saya minta jajaran intel kita, walau sudah tidak ada (tim pengawas khusus), please yang mau masuk Akmil, Akpol, AU, AL untuk betul-betul tahu, manusia merah putih betul atau tidak," pungkasnya
(edo/rvk)
Wednesday, September 20, 2017
Pembela Korban Perang: Akui Kejahatan Dulu Sebelum Riset, Belanda
Danu Damarjati - detikNews
Jakarta - Mulai sekarang hingga empat tahun mendatang, Belanda melakukan riset perang dekolonisasi di Indonesia yang terjadi pada 1945 sampai 1950. Namun pembela para korban perang menyatakan ketidaksetujuannya terhadap riset itu.
Adalah Jeffrey Marcel Pondaag yang bersuara lantang menanggapi riset berdana 4,1 juta euro dari pemerintah Belanda itu. Dia tidak setuju dengan riset itu. Alasannya, menurut dia, riset itu seperti hendak melegalkan kolonialisme yang pernah dilakukan Belanda di wilayah Indonesia.
Seharusnya Belanda mengakui dulu bahwa yang mereka lakukan terhadap Indonesia dulu adalah suatu kejahatan, barulah setelah itu mereka bisa melakukan penelitian di Indonesia.
"Mereka harus mengakui kejahatan mereka dulu, baru mereka melakukan pemeriksaan (riset di Indonesia)," kata Jeffrey di Heemskerk kepada detikcom di Jakarta lewat komunikasi internet, Rabu (20/9/2017).
"Peneliti Belanda terlebih dahulu harus mengutuk kolonialisme," imbuh dia
Jeffrey adalah Ketua Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB). Yayasannya telah membantu mengadvokasi korban-korban kejahatan pendudukan Belanda, mulai Rawagede hingga korban pembantaian Westerling di Sulawesi Selatan. Ada pula kasus-kasus kejahatan perang di Jawa Tengah, Jawa Timur, Padang, dan lain-lainnya. Dia menyebut ada 700 berkas kasus dari para janda dan anak-anak korban perang yang sedang diusahakan kasusnya di pengadilan. Kebanyakan kasusnya terjadi pada 1945 sampai 1949.
Beberapa kasus yang diusahakan KUKB sudah 'gol'. Pada 2011, Pengadilan Kejahatan Perang di Den Haag memutuskan Belanda bersalah dalam kasus pembantaian di Rawagede. Pihak Belanda harus membayar ganti rugi 20 ribu euro untuk tiap orang korban. Kasus pembantaian di Sulawesi Selatan juga demikian, pemerintah Belanda pada 2013 meminta maaf kepada 10 janda yang suaminya tewas akibat perbuatan Raymond Pierre Paul Westerling pada 1946 sampai 1947, dengan kompensasi 20 ribu euro per orang. Ada pula kasus pemerkosaan di Desa Peniwen, Malang, Jawa Timur, pada 1949. Pengadilan Den Haag pada 2016 memutuskan pemerintah Belanda bersalah dan harus membayar kepada seorang perempuan di Peniwen itu senilai 7.500 euro.
Baca juga: Peneliti Belanda: Riset Kami Bukan untuk Mengubah Sejarah Indonesia
Penelitian Belanda itu bertajuk 'Dekolonisasi, Kekerasan, dan Perang di Indonesia, 1945-1950'. Jeffrey berpendapat, apabila tentara Belanda yang melakukan pembantaian di rentang waktu itu menganggap wilayah tersebut adalah Hindia-Belanda negerinya, sama saja Belanda membantai rakyatnya sendiri. Namun, apabila Belanda menganggap wilayah tersebut sebagai Indonesia negara merdeka, Belanda berarti menyerang negara yang sudah berdaulat.
"Itu kejahatan perang. Dia mau jalan ke kanan, ke kiri, lurus, atau ke belakang, salah semua. Karena tidak ada satu negara pun yang melegalisasikan kolonialisme," kata Jeffrey.
Ada periode penuh kekerasan terhadap orang-orang sipil Belanda dan yang dianggap berpihak ke Belanda pada 1945 hingga 1946, dinamakan sebagai periode Bersiap. Kekerasan dilakukan orang Indonesia terhadap Belanda saat itu. Namun, menurut Jeffrey, pemerintahan kolonial Hindia-Belanda juga jelas-jelas tidak bisa dibenarkan.
"Sekarang mereka mau meneliti periode Bersiap. Yang dimaksud orang-orang dalam periode Bersiap (yang akan diriset) itu siapa? Orang Indonesia. Padahal kekerasan saat itu untuk kemerdekaan, karena ratusan tahun kita diinjak-injak," ujar Jeffrey.
Sebelumnya, koordinator penelitian dekolonisasi ini, Ireen Hoogenboom, menyatakan penelitian ini murni dalam ranah akademis, bukan untuk kepentingan politik. Namun Jeffrey tidak percaya sambil menilai bahwa lembaga penyelenggara penelitian itu terlalu lekat afiliasinya dengan pemerintahan Belanda. Ada tiga lembaga Belanda yang menyelenggarakan riset ini, yakni KITLV, NIOD, dan NIMH.
Menurutnya, Belanda masih belum sepenuhnya mengakui bahwa Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, melainkan pada 27 Desember 1949. Maka agresi militer pada paruh akhir '40-an dianggap Belanda sebagai 'aksi polisionil' atau penumpasan pemberontakan, karena mereka merasa Hindia-Belanda masih wilayah mereka. Lewat Konferensi Meja Bundar (KMB), Belanda menjanjikan kemerdekaan Indonesia pada 27 Desember 1949. Jadi, sebelum 1949, Belanda merasa sah menindak pemberontakan-pemberontakan di wilayahnya sendiri. Padahal, menurut perspektif Indonesia, negara sudah merdeka sejak 1945.
"Kalau mereka mengakui kemerdekaan Indonesia adalah 17 Agustus 1945, mereka harus memberi ganti rugi kepada kita, mereka harus bayar," ujar Jeffrey.
Sebagaimana diberitakan, pihak peneliti dekolonisasi lewat Ireen Hoogenboom menyatakan tak akan mengusik sejarah Indonesia, termasuk tak akan mempermasalahkan tanggal kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945.
(dnu/fjp)
Subscribe to:
Posts (Atom)