Sunday, April 15, 2018
Trik Perwira Kopassus Hindari Suguhan Air Minum Bekas Kuda
Ultah Kopassus Ke-66
Jakarta - Detik.com
"Apa yang digambarkan dalam film Blood Diamond memang sungguh terjadi di Kongo." Pernyataan itu meluncur dari mulut Letnan Kolonel Farid Makruf dalam buku Kopassus untuk Indonesia karya Iwan Santosa dan EA Natanegara yang dicuplik Detik.com, Senin (16/4/2018).
Film yang dibintangi Leonardo DiCaprio dan Djimon Hounsou pada 2007 itu berlatar konflik di Sierra Leone. Konflik itu menyeret mantan Presiden Liberia Charles Taylor ke Mahkamah Internasional di Den Hag, Belanda. Negara yang sebelumnya bernama Zaire ini terus dilanda konflik sejak lepas dari penjajahan Belgia pada 1960. Konflik kian rumit karena melibatkan sekitar 25 kelompok pemberontak.
Saat berpangkat Kapten, Farid bertugas sebagai Military Observer (MIlobs) PBB di Freetown dan Fort Loko pada 2002-2003 di Sierra Leone. Situasi yang dialami warga, jata Farid, sangat memprihatinkan. "Banyak mantan tentara anak yang tak dapat direhabilitasi. Mereka menjadi sangat liar dan agresif sehingga tidak bisa kembali ke masyarakat," ujarnya mengenang.
Di Sierra Leone, dia melanjutkan, banyak ditemui orang-orang muda bertangan dan berkaki buntung akibat praktik mutilasi massal semasa perang bersaudara. Belum lagi ratusan bekas tentara anak yang menyimpan trauma kekerasan dan menolak kembali berhubungan dengan orang tua mereka.
Bukan tugas mudah untuk menjaga perdamaian dunia tanpa boleh menggunakan kemampuan tempur saat menghadapi ancaman dan serangan terhadap nyawa. Tapi para prajurit TNI dari Kopassus dan kesatuan lain umumnya mampu mengambil hati masyarakat setempat, selain tetap memegang teguh prinsip kenetralan sebagai pasukan perdamaian.
Saat bertugas di Sudan, yang dilanda perang saudara berkepanjangan, pada 2006, Mayor Umar punya kisah menarik. Menurut kesaksian perwira Kopassus itu, salah satu persoalan kekerasan yang menonjol di sana adalah pemerkosaan dan pembunuhan.
Akibatnya, sekedar butuh kayu bakar untuk memasak pun tak ada yang berani mencarinya ke pinggiran hutan. Kaum lelaki memilih tinggal di rumah karena kalau tertangkap bisa dibunuh milisi Janjaweed. "Sementara kalau perempuan yang pergi, mereka pasti diperkosa," tutur Umar.
Sebagai tentara dari negeri muslim terbesar di dunia, ia merasa beruntung karena Sudan pun sebagian penduduknya beragama Islam. Mereka jadi tak terlalu sulit untuk didekati. Bahkan untuk menunjukkan penghormatan terhadap tamunya yang muslim, ada warga yang menyuguhi Umar air minum. Air di negeri yang kerontang itu menjadi aset paling berharga.
"Sayangnya air minum berwarna kecokelatan dan diambil dari tempat dimana kuda mereka juga minum," tuturnya.
Karena tak ingin mengecewakan tuan rumah, sambil menahan nafas ia pun terpaksa meminumnya. Tapi di kali berikutnya, dia punya trik agar terhindar dari penghormatan yang amat berisiko menimbulkan sakit perut tersebut. "Saya selalu mengaku sedang puasa kalau sedang melakukan kunjungan."
Lain lagi dengan Mayor Yudha Airlangga yang tergabung dalam batalyon mekanis Kontingen Garuda XXII-A di selatan Libanon-Israel. Suatu hari seorang anak Libanon melemparkan batu ke arah pasukan Israel yang tengah berpatroli, dan ada yang merusak pagar perbatasan. Si anak pun langsung ditangkap.
Tapi pasukan asal Indonesia tak tinggal diam. Seraya membujuk tentara Israel agar bersedia melepas anak-anak berusia 15 tahun itu, orang tua dan kepala desanya dipanggil untuk dinasehati agar menjaga anak-anak mereka tidak mengulangi perbuatan.
Hal lain yang nyaris tak pernah dilakukan pasukan dari negara lain, para prajurit Indonesia, kata Yudha, selalu berusaha tersenyum dan memberi salam setiap kali berpapasan dengan penduduk setempat. "Tapi kita tidak melupakan segi keamanan. Jangan sampai kebablasan terlalu dekat dengan warga tertentu karena bisa dianggap tak netral," ujarnya.
Toleransi dan kemampuan diplomasi para prajurit Indonesia itu pernah dimanfaatkan untuk menyelamatkan 60 anggota pasukan asal Spanyol yang disandera Hizbullah. Mayor Achmad Fauzi ditugasi untuk bernegosiasi dengan Hizbullah agar berkenan membiarkan
pasukan Spanyol kembali ke markas.
"Kami orang Libanon sebenarnya tidak menghargai dan menghormati UNIFIL karena mereka tidak berpihak secara adil. Tapi kami melakukan ini karena sangat menghormati Anda orang Indonesia," tutur Fauzi menirukan pernyataan para tokoh Hizbullah.
(jat/jat)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment