Jakarta (ANTARA) - Keputusan Mahkamah Agung (MA) yang memenangkan Suciwati, janda aktivis HAM mendiang Munir, bisa dijadikan bukti baru bagi upaya Peninjauan Kembali (PK) oleh kejaksaan.
"MA telah mengeluarkan fakta hukum baru, mudah-mudahan ini bisa menjadi amunisi baru bagi aparat penegak hukum terutama kejaksaan," kata Tim kuasa hukum Suciwati, Kiagus Ahmad, di Jakarta, Selasa.
Pada 21 Februari lalu, MA mengabulkan gugatan ganti rugi Suciwati sebesar Rp3,8 miliar terkait kasus tewasnya Munir yang menumpang pesawat Garuda Indonesia dalam penerbangan dari Jakarta menuju Amsterdam pada September 2004.
Dikatakannya, fakta tersebut dapat menjadi bukti PK terhadap pembebasan Muchdi PR, terdakwa pembunuh Munir yang dibebaskan dari hukuman karena tidak terbukti melakukan tindak pidana pembunuhan.
"Sekarang bola ada di tangan kejaksaan terkait Muchdi PR apakah mereka berani untuk melakukan peninjauan kembali," kata Kiagus.
Lebih lanjut dia mengatakan, perbuatan melawan hukum Garuda sebagai perusahaan penerbangan ternyata mengabaikan beberapa aturan-aturan yaitu aturan penerbangan dan aturan internasional.
Garuda tidak melindungi penumpangnya dan Pantun Matondang sebagai pilot pada penerbangan tersebut tidak melakukan pengamanan kepada penumpangnya.
"Seharusnya pilot mempunyai kewenangan untuk meminta bantuan kepada medis di darat bahkan memiliki kewenangan untuk mendaratkan pesawat secara darurat jika ada penumpang yang sakit saat itu, tapi ternyata Pantun Matondang tidak melakukan hal tersebut," katanya.
Perlindungan Konsumen
Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sudaryatmo mengatakan, dari perspektif hak konsumen ada beberapa hal penting di dalam putusan MA.
Pertama, konsumen berhak atas keselamatan dan keamanan selama penerbangan. Secara faktual, Munir tidak selamat ketika menggunakan jasa penerbangan sebab maskapai penerbangan tidak melakukan upaya maksimum.
"Kesimpulan kita mengapa Garuda tidak melakukan upaya maksimum karena dalam kondisi ada penumpang yang perlu respon darurat khususnya masalah kesehatan mestinya Garuda atau pilot harus melakukan hal terbaik bagi keselamatan penumpang salah satunya pendaratan darurat karena fasilitas kesehatan di pesawat itu tidak terlalu baik," kata Sudaryatmo.
Tim kuasa hukum juga mendalilkan Garuda melakukan perbuatan melawan hukum karena membiarkan penerbangan sipil untuk operasi intelijen sedangkan secara regulasi penerbangan sipil internasional ada aturan tidak boleh untuk operasi militer.
Karena Garuda sudah melakukan perbuatan melawan hukum implikasinya adalah memberi ganti rugi dimana prinsip dalam pemberian ganti rugi, ahli waris yang ditinggalkan tidak boleh terlantar.
Maka ada tuntutan agar Garuda harus bertanggungjawab mengganti pendapatan yang hilang dari korban yang meninggal sampai usia pensiun yaitu 65 tahun.
Kedua, ganti rugi dalam bentuk beasiswa pendidikan anak yang ditinggalkan sampai anak mandiri. Berdasarkan hitung-hitungan YLKI kedua anak Munir berhak mendapatkan biaya pendidikan dasar hingga perguruan tinggi masing-masing Rp172 juta untuk anak pertama dan Rp251 juta untuk anak kedua
"Dari catatan YLKI putusan MA ini merupakan preseden baru dalam hal pelindungan konsumen karena pengalaman kita mengadvokasi korban-korban kecelakaan di sektor transportasi biaya pendapatan yang hilang dan asuransi pendidikan itu tidak pernah dikabulkan, yang dikabulkan itu seperti biaya penguburan," tambahnya.
Keputusan MA ini menjadi terobosan baru dalam perlindungan konsumen tapi juga peringatan bagi perusahaan angkutan untuk lebih hati-hati dalam memenuhi hak-hak konsumen.
No comments:
Post a Comment