Ambon (ANTARA) - Matahari baru saja menyembulkan wajahnya di balik bukit Kota Ambon, saat kabar duka itu tiba menyeruak relung hati beberapa wartawan di Ambon. "Om Des Alwi sudah meninggal," ujar Redaktur Biro ANTARA Maluku, Dien Kelilauw, saat menghubungi beberapa rekan wartawan di Ambon yang sudah tergolong senior dan kenal dekat dengan sosok Des Alwi untuk memberitahukan kabar meninggalnya sejarawan itu di usia 83 tahun. Sejarawan tiga zaman, mulai zaman Orde Lama saat pemerintahan Soekarno, Orde Baru saat pemerintahan Soeharto hingga Reformasi ini, menghadap Sang Khalik pada Jumat subuh di Jakarta. Sebelumnya selama dua minggu dirawat di RS Cinere Jakarta Selatan karena keluhan sesak nafas dan nyeri dada. "Saya sempat terlibat berdialog dan bercengkerama saat Om Des dirawat di RS Cinere. Sebelum saya datang anak-anaknya mengatakan Om Des jarang bicara dan lebih banyak diam. Saat saya datang barulah Om Des bicara banyak," ujar Dien. Dien mengaku begitu dekat dengan sosok anak angkat Proklamator Muhammad Hatta itu. Perkenalannya dengan Om Des dimulai saat meliput letusan Gunung Api Banda, Pulau Banda, Kabupaten Maluku Tengah, tahun 1988. Kala itu Om Des mengerahkan semua prasarana dan kemampuan yang dimilikinya untuk menyelamatkan masyarakat Banda agar tidak menjadi korban letusan Gunung Api. Ia lahir dengan nama lengkap Des Alwi Abubakar pada 17 November 1927 di Desa Nusantara, Naira sebuah pulau kecil dalam kelompok Banda di Kepulauan Maluku. Ayahnya bernama Alwi, berasal dari Ternate yang konon masih keturunan Sultan Palembang yang dibuang ke Banda. Sang ibu bernama Halijah Baadilla, anak perempuan dari Said Baadilla, pengusaha mutiara yang pernah terkenal dari Naira. Sang kakek, Said Baadilla terkenal sebagai pebisnis ulung di Banda. Dengan bendera perusahaan Baadilla Brothers, ia mengembangkan bisnis mutiara Banda dan perkebunan Pala yang terkenal dengan Perk Kele Norwegen di Lonthor dan di Pagar Buton, Banda Besar. Mutiara dan Pala itu diekspor ke berbagai negara di Eropa, hingga ia dikenal sebagai eksportir berpengaruh. Berkembangnya perusahaan Baadilla Brothers menjulangkan nama Said Baadilla, hingga Pemerintah Hindia Belanda menjulukinya sebagai Raja Mutiara Maluku. Dengan julukan itu, pada tahun 1896 Said Baadilla mendapat kehormatan menjadi tamu istimewa Ratu Emma, istri Wilhelm III di Belanda.
Tokoh Serba Tahu
Kalangan wartawan Maluku maupun insan pers nasional dan luar negeri, sangat mengenal betul pria kelahiran 17 November 1927 di Desa Nusantara, Naira itu.
Desa Nusantara, Naira adalah sebuah pulau kecil dalam kelompok Banda di Kepulauan Maluku. Almarhum Des Alwi semasa hidupnya dianggap sebagai "tokoh serba tahu". "Silahkan tanya apa saja ke Om Des dan anda pasti puas dengan jawabannya. Dia narasumber tanpa batas," ujar Rudy Fovit, Redaktur Senior SKH Suara Maluku (koran lokal di Ambon) yang mengaku sangat terkejut dan didera rasa kehilangan luar biasa mendengar kabar perginya Om Des. Makanya tidak heran jika Om Des Alwi kenal dan akrab dengan para tokoh pers nasional seperti Karni Ilyas, Gunawan Mohamad dan Jacob Utama, karena telah berpuluh tahun dia menjadi narasumber media untuk menceritakan kilas balik sejarah yang tersimpan dengan baik dalam "memori" otaknya. Bagi Rudy, sosok Om Des sangat bersahaja dan tidak "kikir" dalam memberikan informasi apa saja bagi kaum kuli disket. Sebab Om Des adalah tokoh dengan banyak dimensi.
Ia seorang budayawan, sejarahwan, negarawan, diplomat, penulis, fotografer, sutradara, produser film. Ia seorang penyelam, tokoh botani laut, tokoh perkebunan, penguasa pariwisata, pekerja kemanusiaan, tokoh perdamaian, tokoh pluralisme. Des Alwi juga menjadi tokoh yang mendukung kerja-kerja jurnalistik. Selain membantu memperlancar tugas jurnalistik, ia menjadi narasumber yang sangat terbuka dalam berbagi informasi dan gagasan. "Salah satu hal penting dari Om Des Alwi adalah ia tidak pernah memberi amplop kepada wartawan yang mewawancarainya. Sekadar minum kopi atau makan siang, pernah ia lakukan, tetapi menyogok wartawan dengan amplop, itu tak pernah dilakukan. Ini sikap yang mendukung kerja jurnalistik profesional," ujar Rudy Fovit.
Hadiah tak terduga
Di mata para wartawan di Maluku, Om Des selain menjadi sumber berita, juga sosok penderma tanpa "embel-embel" apa pun. Ia dengan suka rela dan tanpa sepengetahuan membantu para wartawan yang merupakan teman dekatnya secara diam-diam, jika mereka atau keluarganya mengalami musibah. Mantan Kepala Biro ANTARA Maluku, Dien Kelilauw mengakui, pernah diberikan kamera foto bermerek Nikon oleh Om Des tahun 1993 lalu, padahal barang mewah itu baru dibeli. "Waktu itu saya dipanggil Om Des untuk bertemu sekedar bercerita dan menunjukkan kamera yang menurut Om Des baru dibeli seharga Rp30-an juta. Setelah selesai dan saya akan pulang, Ia langsung memberikan kamera itu pada saya. Katanya sebagai wartawan harus punya kamera. Kameranya masih saya simpan sampai sekarang," ujar Dien. Begitu pun Pemred Tabloid Senator, Achmad Malik Rumra, juga bisa merasakan kemurahan hati Des Alwi yang menyediakan kantornya di Jl. Narada No.36 Tanah Tinggi Jakarta Pusat untuk menjadi kantor reaksi Tabloid Senator, tanpa dibayar sepeser pun. "Waktu itu saya lagi mencari gedung untuk dijadikan sekretariat redaksi. Kemudian saya bertemu Des Alwi dan ia menawarkan gedung kantornya untuk dijadikan kantor redaksi Senator," ujar Achmad Malik yang mengaku sempat tinggal selama dua tahun di rumah Des Alwi saat pertama kali ke Jakarta. Ayah dari empat anak Karma Alwi (Alm), Mira Alwi, Tanya Alwi dan Ramon Alwi ini pun juga terkenal suka menolong pata wartawan yang sedang melakukan tugas jurnalistik di Pulau Banda untuk menginap di hotel dan home stay (rumah sewa) miliknya secara gratis atau membayar sekedarnya saja. Namun, saat ayah tiga anak ini merasa dirugikan oleh pemberitaan media di Ambon beberapa waktu lalu, Om Des tidak serta merta menggunakan cara-cara preman yang banyak ditempuh para pejabat--padahal ia bisa melakukannya--tetapi malah memilih langkah legal dengan mengadu ke Dewan Pers. Dewan Pers memperhatikan keluhannya dan mewajibkan sebuah harian di Ambon menyiarkan rekomendasi Dewan Pers dan hak jawab Des Alwi. Mantan wartawan Kompas dan Media Indonesia, Kutny Tuhepaly, malah pernah diajak jalan-jalan ke Malaysia dan Singapura tahun 2008 oleh Om Des yang pernah menjabat Atase Kebudayaan RI di Bern, Swiss, Wina, Budapest dan Manila. "Saat itu saya ikut menyaksikan dan mendengar langsung pertemuan serta pembicaraan Des Alwi dengan mantan PM Singapura Lee Kuan Yew serta PM Malaysia Tun Abdul Razak," katanya. Hubungan baik antara Des Alwi dengan PM Singapura Lee Kuan Yew dan terlebih dengan PM. Tun Abdul Razak, dimulai saat ia terlibat langsung dalam Operasi Khusus Tim Penyelesaian Konfrontasi antara Indonesia-Malaysia tahun 1965-1975. Bagi kalangan wartawan maupun pimpinan negara, Om Des dikenal sebagai pelobi ulung dan ia berhasil meredakan konfrontasi Malaysia dengan melakukan pendekatan diplomasi dengan mantan PM Tun Abdul Rahman dan mantan Tun Abdul Razak. Kemahiran Des alwi berdiplomasi karena banyak belajar dari dr Tjipto Mangunkusumo yang disebutnya sebagai Oom Tjip, Dr Mohammad Hatta yang dipanggilnya sebagai Oom Kaca Mata, Sjahrir sebagai Oom Rir, Mr Iwa Kusumah Sumantri dan beberapa anggota Sjarikat Islam Indonesia lainnya yang pernah dibuang di Banda. Sepanjang hidupnya Des Alwi mendapatkan penghargaan Bintang Pejuang 45, Bintang Pejuang 50 dan Bintang Mahaputra Pratama 2000, atas jasa-jasanya terhadap bangsa dan negara.
Sejarah dan budaya
Lelaki yang berpendidikan sarjana British Institute of Technology London (1947-1950), pendidikan Pasca Sarjana di Philips NSF Advance School Hilversum Jan-Juli 1950 Hilversum serta Special Antena Penyiaran Rombek ITB dan PT (Pos, Telegraph dan Telepon) 1951 Bandung itu, sering mengingatkan kalangan wartawan maupun generasi muda untuk mencintai sejarah dan budayanya sendiri. "Jangan pernah melupakan sejarah yang diperoleh dengan tumpahan darah dan nyawa para pejuang bangsa ini, karena dari sanalah sejarah bangsa ini tercipta," ujar Des Alwi dalam beberapa kali kesempatan bertemu dengan wartawan yang sedang melakukan tugas jurnalistik di Banda. Om Des yang pernah meniti karir sebagai Penterjemah Siaran Teknik dan Bahasa Asing RRI 1950-1951, juga mengingatkan pentingnya melestarikan budaya sebagai bagian jadi diri bangsa, serta gemar melestarikan pesona keindahan alam dan bawah laut Pulau Banda. Banyak hasil karyanya merekam keindahan alam bawah laut Pulau Banda yang dikenal sebagai surga bawah laut terindah di dunia dengan handycamnya, ditayangkan pada televisi swasta nasional dan asing termasuk oleh saluran TV kabel dan satelit Discovery Channel. Kecintaannya terhadap keindahan alam bawah laut Pulau Banda, membuatnya setiap waktu meninggalkan berbagai kesibukkannya di Jakarta untuk pulang dan menyelam di Banda. "Saya hobi menyelam sejak kecil. Tubuh saya yang tambun ini tidak menjadi halangan untuk menyelam dan mengabadikan berbagai keindahan alam bawah laut Pulau Banda yang tidak ditemukan di daerah lain," ujar Des Alwi. "Keharuman rempah-rempah pulau Banda jugalah yang membuat bangsa ini dijajah. Tetapi sekarang Banda harus kembali `harum` karena keindahan alam bawah lautnya. Saya tidak akan pernah berhenti mempromosikan Banda kemana pun," kata Des Alwi yang juga Direktur Utama PT. Avisarti Film Corporation, Ketua Yayasan Warisan dan Budaya Bunda, Ketua Yayasan 10 Nov`45 1990 dan Wakil Ketua II Departemen Usaha Sea And Island Resort DPP Gahawisri itu. Karena kegigihannya mempromosikan keindahan bawah laut serta peninggalan sejarah Pulau Banda jugalah yang membuat Unesco menetapkan pulau Banda sebagai salah satu warisan dunia. Namun, sebelum sempat mewujudkan `ambisinya` menjadikan Banda sebagai Kawasan Otorita seperti Batam tetapi di bidang kebudayaan, bukan perdagangan, ia telah dipanggil pulang meghadap Sang Khalik. Ia tidak hanya dikenal sebagai pelaku sejarah, tetapi juga sebagai juru potret yang teliti dan pengumpul data sejarah berupa tulisan, hingga film dokumenter yang sering dibajak oleh media massa di Indonesia. Selamat jalan Om Des, tokoh Banda, tokoh Maluku, tokoh Indonesia dan tokoh dunia. Selamat berbahagia di lautan baka. Di Laut Banda nan fana, nama Om Des selalu dikenang sebagai spesies baru karang raksasa `Acropora des alwi` yang ditemukannya saat melakukan penyelaman bersama peneliti Unesco seusai Gunung Api Banda meletus tahun 1988.
No comments:
Post a Comment