Thursday, December 07, 2017
Viral, Sendirian Kakek Veteran Tentara Merawat Cucunya yang Idap Penyakit Langka, Sebuah Fakta Mengejutkan Terungkap!
Laporan wartawan Grid.ID, Aditya Prasanda
Grid.ID - Usianya sudah memasuki 88 tahun.
Namun fisiknya masih terlihat 'enggan menyerah' di masa-masa orang seumuran dirinya.
Kakek bernama Toton ini bahkan masih berjualan sayur yang ia tanami sendiri.Ya, semua demi menghidupi dirinya dan cucu semata wayangnya.Di kediamannya di Pangandaran, Jawa Barat, Toton berjuang menghidupi diri dan merawat cucunya, Syifa.
Sebab sebuah penyakit langka menggerogoti Syifa.
Gadis berusia 17 tahun ini seharusnya sudah tumbuh layaknya remaja pada umumnya.
Namun penyakit Malabsorption Syndrome membuat tubuh Syifa terlihat bak tulang terbalut kulit saja.Penyakit ini merupakan kelainan yang menyebabkan usus halus tidak bisa menyerap cukup nutrisi dan cairan tertentu.
Dan Syifa telah menderitanya sedari bayi.
Syifa yang malang juga harus kehilangan kedua orang tuanya sedari bayi.
"Di usia 5 bulan, sang ayah meninggal dunia karena kecelakaan," ujar Toton dilansir Grid.ID dari viral4real, Kamis (7/12/2017).Kepergian sang ayah kemudian disusul sang ibu yang meninggal tiga bulan kemudian.
Sejak saat itu Syifa hidup bersama kakeknya, Toton.
Sebelum pensiun, Toton berprofesi sebagai seorang tentara.
Namun miris, tak sepeser pun uang ia pensiun ia terima dari pemerintah. Demi mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari dan merawat cucunya, Toton bekerja sebagai tukang sayur.
Berdasarkan penelusuran Grid.ID melalui akun Mukhtar Sofa, kisah pilu Toton dan cucunya Syifa ini telah beredar sedari 2016. Sejauh ini belum diketahui bagaimana keadaan terakhir Toton dan cucunya.(*)
Saturday, November 18, 2017
Ketua PPM Papua Menolak Hasil Kongres LVRI Yang Menetapkan PPM Sebagai Mitra Kerja
Reporter: Hari Supriyanto
Jakarta, Suryapena.com -- Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) telah melaksanakan Kongres pada 17 Oktober 2017 lalu. Dari hasil Kongres tersebut menyatakan bahwa putra/putri veteran yang tergabung dalam wadah organisasi Pemuda Panca Marga (P PM) akan dijadikan sebagai rekan kerja (mitra).
Menanggapi hal tersebut, Ketua Pengurus Daerah Pemuda Panca Marga (PD.PPM) Papua, Boy Markus Dawir mengatakan kalau kami dari Papua sesuai pernyataan kami semalam bahwa PD.PPM Papua sangat menolak hasil Kongres LVRI yang telah menetapkan PPM sebagai mitra kerja bukan anak/keturunan veteran. Padahal kami ini bukan mitra, tapi ini adalah anak-anak pejuang.
"Sehingga kalau orang tua kita yang sudah menjadi pejuang, maka anak-anaknya itu tidak bisa disebut sebagai mitra kerja.Jadi kami anak kandung resmi pejuang yang mendukung dan menolong orang tua meneruskan perjuangannya," ujar usai menghadiri Rapim PPM di hotel Sunlake, Jakarta, Sabtu (19/11/2017).
Boy menjelaskan sebab PPM itu tidak hanya dibawah LVRI, tapi PPM ini ada di sebuah organisasi kepemudaan yang ada juga di KNPI secara nasional. Dan organisasi PPM ini bukan hanya ada di DKI Jakarta tapi juga ada di seluruh Provinsi maupun Kabupaten/Kota se Indonesia.
Termasuk kami yang dari tanah Papua yang terdiri dari 1 Provinsi dan 29 Kabupaten/Kota. Organisasi ini besar, sehingga kewajiban kita adalah bagaimana mengawal agar pejuang veteran dan keluarganya mendapatkan hak bisa disuarakan oleh PPM bisa dilihat oleh pemerintah atau negara.
"Adanya negara ini dikarenakan ada para pejuang kemerdekaan, jangan sampai pemerintah itu lupa terhadap pendiri-pendiri negara ini yang sebagian mereka ada di dalam LVRI," katanya.
Meskipun ada pihak tertentu yang tidak suka dengan Haji Lulung sebagai Ketua Umum PPM. Namun PD.PPM tetap solid dan akan mendukung kepemimpinannya sampai selesai di periode kedua.
Lanjut Boy, ada pihak tertentu yang tidak suka dengan Haji Lulung, namun pandangan kami terhadap dia tidak demikian karena kami melihat dia adalah pemimpin yang aspiratif dan sangat baik. Sehingga kemarin dalam Munas kami mayoritas kembali memilih beliau sebagai Ketua di periode kedua ini.
"Saya kira dengan adanya situasi seperti ini,ada indikasi susupan kepentingan partai politik di dalam. Tetapi jujur bahwa kami yang ada di dalam PPM ada terdiri dari beragam partai politik. Kalau Haji Lulung sebagai Ketua Umum di PPP, saya Ketua PD Papua ada di Partai Demokrat, bahkan kawan kita dari Sulawesi Utara ada di Parta Nasdem," terangnya.
Menurut Boy, kita seluruh partai politik ada di dalam PPM, sehingga kalau cuman masalah dukung mendukung saat Pilkada DKI Jakarta jadi masalah itu merupakan hal yang konyol. Kita mengharapkan agar LVRI tidak boleh terganggu dengan statemen satu atau dua orang yang akhirnya jadi seperti ini.
Dan kami inilah ke depan yang akan menggantikan sebagai penerus untuk meneruskan cita-cita orang tua pendiri bangsa dan yang ikut membesarkan negeri ini. Karena yang di LVRI ini kan sebentar lagi akan habis masanya, terus siapa yang mengganti mereka ? Pasti kami-kami lah, sebagai anak, cucu maupun keturunannya untuk tetap menjaga NKRI tetap utuh dari Sabang sampai Merauke.
Boy mengingatkan jangan karena kepentingan politik di Jakarta saja lalu PPM mau diobok-obok, tidak boleh itu terjadi. Kita PPM seluruh Indonesia terutama Papua sepakat untuk tetap mendukung penuh Lulung sebagai Ketua Umum sampai akhir periode. Untuk kami PPM Papua sendiri hubungan kami antara PPM dan LVRI baik-baik saja dan aman tidak terpengaruh dengan hal demikian.
Karena antara kami di Papua itu berpikir untuk tetap sama-sama jalan, apalagi kami yang di PPM ini ada yang di birokrat contohnya saya sendiri ada di DPR Provinsi Papua yang mengawal seluruh kepentingan pembangunan-pembangunan di sana."Termasuk kami melihat bagaimana kesejahteraan para pejuang yang ada di Papua. Kalau LVRI tingkat pusat arah pikirnya lain, yang mengucilkan PPM nanti kami yang di daerah-daerah bisa terganggu," katanya.
Contoh, tambah Boy, kami yang saat ini ada di lingkar kekuasaan, kalau kami terganggu lalu kami ganggu lagi LVRI yang ada di daerah bagaimana mereka mau hidup ? Kalau anggarannya kita potong, misalnya saya Gubernur, Bupati/Walikota atau di DPRD mempunyai kuasa untuk mengalokasikan anggaran kegiatan kemasyarakatan termasuk juga pada LVRI. Kalau saya disakiti kasih habis saja tidak perlu untuk biaya hidup mereka, itulah contohnya seperti itu.
Terus apakah ada tuntutan undang-undang ? Saya rasa tidak ada, karena ini hanya kewajiban moral kita terhadap nasib para pejuang."Untuk itu saya harapkan ayahanda kita yang ada di LVRI melihat PPM ini bukan sebagai rekan kerja atau mitra, tapi lihatlah PPM ini sebagai anak mu. Karena untuk PPM Papua sampai hari ini tetap jalan, kita di sana tidak ada masalah apapun dan tetap solid," ungkapnya
Usai Gelar Rapim PPM Tetap Solid, Anak Veteran Satu Untuk Indonesia
Reporter: Hari Supriyanto
Jakarta, Suryapena.com -- Pemuda Panca Marga (PPM) telah berhasil menggelar Rapat Pimpinan (Rapim) selama dua hari sejak tanggal 17 sampai 18 November 2017 di hotel Sunlake, Danau Sunter, Jakarta Utara. Pada Rapim tersebut dibahas beberapa hal diantaranya pasca Kongres LVRI (Legiun Veteran Republik Indonesia) beberapa waktu lalu.
Ketua Umum PPM, H. Lulung AL, SH mengatakan satu tahun sekali kami selalu mengadakan Rapim, dan untuk kali ini lebih pada konsolidasi meminta perkembangan di Markas Daerah (Mada) Provinsi dengan Provinsi. Dalam rapim tadi sudah banyak hal-hal yang disampaikan tentang perkembangan tepat waktu mereka melakukan konsolidasi organisasi.
"Kemudian ada hal-hal lain mengenai persoalan ekonomi terutama ekonomi kerakyatan. Selain itu disinggung juga, persoalan CSR, hak tanah ulayat (tanah adat), dan yang terakhir kita bahas keputusan Kongres LVRI," ujarnya seusai Rapim di hotel Sunlake, Jakarta, Sabtu (18/11/2017).
Lanjut Lulung, dimana ada beberapa hal yang hari ini kita reduksi artinya apa saja yang bisa diterima ? Yang pertama adalah dimasukan anak veteran garis miring mitra binaan, sehingga ini menjadi abu-abu jika anak ya anak saja kita tidak masalah kalau kita kembali pada anak organisasi. Yang kedua adalah dikatakan bahwa Pemuda Panca Marga tidak boleh ada jabatan rangkap sebagai Ketua Partai, kita harus memilih salah satu. Hal tersebut lah yang tadi minta ditanggapi.
Kenapa kita bikin Rapim ? Karena tidak ada satu pun teman-teman Provinsi (Markas Daerah) kita pengaruhi dengan adanya dalam Rapim membahas keputusan Kongres LVRI."Mereka bebas mengungkapkan semua masalah yang ada di organisasi, karena itu merupakan kebutuhan-kebutuhan kehidupan organisasi di seluruh daerah," kata Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta tersebut.
Oleh karenanya, sambung Lulung, ada kesepakatan bahwa jabatan rangkap itu tidak setuju jika dihilangkan. Karena sepertinya akan merampas hak-hak politik dan demokrasi kepada kita. Di dalam UUD 1945 sudah jelas memberikan penuh tentang demokrasi, tentang hak politik bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama dalam pemerintahan.
Kemudian kemarin itu ada saran dalam Kongres bahwa cucu veteran itu tidak boleh menjabat atau masuk dalam organisasi. Sehingga hal ini saya pikir harus diluruskan, bukan keliru ya tapi harus diluruskan karena dalam AD/ART disampaikan bahwa PPM adalah wadah berhimpun anak-anak pejuang dan keturunannya.
"Jadi sampai keturunan berapa pun selama dia memiliki legitimasi sebagai keturunan veteran. Jika hal tersebut dihilangkan maka akan menghilangkan marwah PPM sebagai organisasi keturunan veteran," terangnya.
Dalam Pilkada serentak 2018, tambah Lulung, saya sampaikan kepada seluruh PPM uang pertama mensukseskan dan mengamankan itu harga mati. Yang kedua menggunakan haknya sebagai warga negara Indonesia.
"Dan yang ketiga jangan menggunakan PPM sebagai organisasi yang independen secara kelembagaan untuk mendukung salah satu calon. Artinya PPM tidak boleh dibawa ke ranah politik, karena kita sadari dan mengerti tentang itu," tegas politis PPP tersebut.
Sementara itu, Sekjen PPM Saharuddin Arsyad, S.Ip mengungkapkan dalam Rapim yang telah berlangsung selama dua hari ini, peserta yang hadir terdiri dari 31 Provinsi. Yang tidak hadir Ketua maupun Sekretaris PD.PPM dikarenakan sibuk mengikuti pencalonan Pilkada 2018.
"Sampai pada hari ini PPM tetap solid, anak veteran satu untuk Indonesia. Dalam kesempatan tersebut hadir juga Ketua PD.PPM Sulawesi Selatan yang juga Wakil Gubernur Sulsel dan Walikota Jambi sekaligus Ketua PD.PPM Jambi," tutupnya.
Friday, November 10, 2017
Kisah Merapatnya Mallaby dan Gurkha di Tanjung Perak
Red: Karta Raharja Ucu
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ronggo Astungkoro, wartawan Republika
Pada 25 Oktober, di bawah pimpinan Brigjen AWS Mallaby, Brigade 49 yang membawa sekitar 4.000 personel pasukan Gurkha mendarat di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Menggunakan kapal perang Inggris HMS Wavenley, pasukan Inggris itu turun di dermaga Modderlust Surabaya.
Saat itu, ada kisah yang menurut Ady unik untuk diketahui. Kamis pagi sekitar pukul 09.00 hingga 12.30 WIB itu, ketika Mallaby dan pasukannya datang, tak ada perwira yang berjaga di Modderlust. Ketika itu, yang berjaga di sana adalah para wartawan dari kantor berita Antara dan mereka sedang bersantai.
Kemudian, armada Inggris tiba-tiba kelihatan mendatangi pelabuhan dan para wartawan itu pun bingung semua. Perwira tak ada di tempat, hanya ada prajurit-prajurit kecil yang tidak berani mengambil keputusan apa pun. Bahkan, para prajurit kala itu tak paham kode morse yang diberikan kapal Inggris.
"Yang paham morse justru para wartawan ini. Mereka bingung mengambil keputusan karena kapal Inggris itu memberikan morse terus. 'We are going on land, waiting for instruction' berjalan terus seperti itu morsenya," kisah Ady.
Wartawan yang telah mencoba menghubungi para perwira dan tak tersambung pun akhirnya membalas morse dari kapal Inggris itu. Ady lupa persisnya balasan para wartawan itu. Yang jelas, mereka membalasnya tidak dengan menggunakan bahasa militer.
"Intinya 'Jangan mendarat dulu, tunggu instruksi petinggi kami'," kata dia. Berdasarkan buku The British Occupation of Indonesia 1945-1946 karya Richard McMillan, kapal Inggris mendapatkan balasan morse dari Modderlust yang berarti "Do NOT land until we recieve orders from Dr. Moestopo".
Mengerti tidak dibalas dengan bahasa militer, sekutu marah. Sekutu pun akhirnya membalas morse tersebut dengan arti "we don't take orders from anybody". Hingga akhirnya mereka tetap merapat ke dermaga dan menurunkan pasukan-pasukannya.
Pasukan Inggris Duduki Lokasi Strategis di Surabaya
Kini, bangunan Modderlust, tempat pemantauan kapal yang keluar masuk pelabuhan kala itu sudah tak tampak lagi. Di lokasi bekas berdirinya gedung itu, hanya terdapat sebuah monumen di sana.
"Setelah turun, mereka akhirnya ditemui oleh orang-orang perwakilan RI. Mereka juga menghadap ke Gubernur Soerjo juga pada waktu itu dan ditentukan mereka tidak boleh masuk lebih jauh dari jarak yang telah ditentukan dari wilayah pelabuhan," tutur Ady.
Tapi ternyata, mereka mengingkari kesepakatan itu dan membangun pos-pos mereka di sekitar sana. Richard McMillan menuliskan, pasukan Inggris mulai menduduki beberapa lokasi di Kota Surabaya pada sore hari setelah mereka mendarat. Mereka telah memilih lokasi mana saja yang dijadikan target untuk diduduki. Termasuk stasiun Radio Republik Indonesia (RRI) dan beberapa kantor pelayanan publik lainnya.
Di Pelabuhan Tanjung Perak sendiri, selain gedung Modderlust yang hanya tinggal monumen, memang tak banyak bangunan kuno yang ada di sana. Ketika Republika melihat-lihat dengan membawa foto Pelabuhan Tanjung Perak tempo dulu, sudah banyak yang tidak tampak di kawasan itu.
Bangunan-bangunan yang ada di sana sudah banyak berbeda berdasarkan foto tempo dulu. Ketika bertanya kepada petugas keamanan pelabuhan, mereka mengatakan hanya tinggal satu bangunan yang dipertahankan bentuknya, yaitu gedung yang saat ini menjadi Kantor Kesyahbandaran Utama Tanjung Perak Surabaya.
Bangunan yang berarsitektur khas zaman kolonial belanda itu terletak tak jauh dari Terminal Penumpang Gapura Surya Nusantara Pelabuhan dan berada di muara Kalimas. Tamu yang ingin masuk ke dalam wilayah gedung itu harus melewati dua pos penjagaan.
Republika harus berputar-putar lebih dulu sebelum menemukan prasasti yang ditandatangani oleh Panglima Armada RI Laksamana Muda TNI Prasodjo Mahdi pada 1978. Dalam prasasti itu diterangkan, bangunan itu digunakan sebagai markasi Serikat Pelayaran Indonesia (SPI) pada masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan.
Letak prasasti itu ada di pojok muara kalimas. Dekat dengan pagar pembatas antara bangunan itu dengan dermaga. Mungkin, prasasti itu tak akan terlihat jika pengunjung tak melihat gedung itu dari sisi depan.
Friday, October 06, 2017
Misi rahasia Kopassus menyusup ke garis musuh dengan kapal selam
Reporter : Ramadhian Fadillah
Merdeka.com - Perintah dari Komando Mandala jelas dan tegas. Segera daratkan pasukan sebanyak-banyaknya di Papua sebagai awal dari Operasi Jayawijaya.
Saat itu Papua masih bernama Holandia. Belanda enggan menyerahkan pulau di ujung timur itu pada Indonesia sesuai hasil konferensi Meja Bundar. Tahun 1962 Papua dipertahankan dengan kuat oleh Belanda. Deretan kapal perang, pasukan marinir dan sejumlah kapal tempur Belanda sudah siaga menghadapi perang besar.
Presiden Soekarno pun menggelar operasi militer besar-besaran untuk merebut Papua dari tangan Belanda.
Salah satu fase Operasi Jayawijaya adalah menyusupkan infiltran sebanyak-banyaknya ke Papua. Pasukan elite TNI seperti Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD kini Kopassus), Banteng Raider, Komando Pasukan Gerak Tjepat (Kopasgat kini Paskhas TNI AU), diterjunkan dengan pesawat C-130 Hercules atau Dakota C-47 di belantara Papua.
Misi mereka merebut Biak atau kota-kota lainnya dari tangan Belanda. Minimal mengalihkan perhatian tentara Belanda saat Operasi Jayawijaya digelar.
Namun ada satu misi khusus yang tak biasa kala itu. Menyusupkan pasukan elite ke belakang garis musuh dengan menggunakan kapal selam. Sepanjang sejarah TNI, baru sekali misi seperti itu digelar.
Awal 1960an, persenjataan, TNI tak kalah dengan negara-negara barat. TNI AL misalnya yang baru kedatangan sejumlah kapal perang dan 12 kapal selam paling canggih saat itu dari Uni Soviet.
Maka Komando Mandala menilai misi tersebut sangat mungkin dijalankan. Untuk pasukan yang dipilih adalah Detasemen Pasukan Chusus (DPC) dari RPKAD pimpinan Letnan Satu Dolf Latumahina. Mereka dilengkapi senapan AK-47 yang ketika itu masih terbatas jumlahnya. Setiap prajurit juga dilengkapi dengan peralatan survival yang cukup untuk bertahan hidup.
Misinya, pasukan diangkut dari Teluk Kupa-kupa di Halmahera menuju Teluk Tanah Merah di Papua dengan kapal selam. Setelah dekat pantai, kapal selam akan muncul ke permukaan. Pasukan RPKAD akan memompa perahu karet dengan pompa udara bertekanan tinggi. Selanjutnya mereka akan mendayung ke arah pantai sementara kapal selam kembali ke wilayah Indonesia.
Ancaman terbesar muncul dari kapal perang Belanda yang rutin melakukan patroli. Sementara itu di bawah laut, dua kapal selam Belanda terus mengejar keberadaan kapal selam TNI AL. Lalu ada pesawat intai Neptune yang terbang rendah siang malam. Jelas tak mudah menembus blokade itu. Namun prajurit TNI tak gentar.
Tanggal 15 Agustus 1962, tiga kapal selam berangkat dari Teluk Kupa-kupa dengan kerahasiaan penuh. Radio dimatikan untuk menghindari bocornya informasi ke tangan Belanda. Masing-masing kapal disesaki oleh 15 anggota pasukan RPKAD bersenjata lengkap.
Misi berjalan penuh rintangan. Kapal selam RI Nagarangsang terpergok kapal perang Belanda dan akhirnya terpaksa kembali ke pangkalan.
Sementara RI Trisula membatalkan pendaratan dan memanggil kembali pasukan RPKAD yang sudah berada di pantai. Padahal pasukan RPKAD sudah mencapai sasaran. Penyebabnya pesawat patroli Belanda Neptune sudah mendekat. Begitu juga Destroyer Belanda yang terus berputar-putar di lokasi mereka.
Kapal selam ketiga adalah RI Tjandrasa. Ketegangan saat pendaratan pasukan dilukiskan oleh perwira torpedo Letnan Subagijo.
"Tanggal 22 Agustus 1962 pukul 22.00 WIB, RI Tjandrasa muncul setengah ke permukaan. Jarak dari kapal ke pantai kira-kira dua kilometer. Perahu karet dikeluarkan lewat conning tower dan dipompa siap untuk pendaratan," kata Subagijo seperti ditulis wartawan senior Atmadji Sumarkidjo dalam buku Mission Accomplished, yang diterbitkan Kata Hasta Pustaka tahun 2010.
Namun tiba-tiba cahaya terang menyinari buritan kapal. Pesawat Neptune menembakkan peluru suar hingga suasana malam berubah menjadi terang benderang. Lampu sorot pesawat pun diarahkan ke kapal selam.
Sesuai prosedur, seluruh pasukan RPKAD diperintahkan kembali masuk. Kapal selam langsung melakukan crash dive untuk ke dalam lautan untuk menghindari pantauan pesawat musuh.
Setelah menjauh, diadakan perencanaan ulang. Dengan dramatis Komandan RI Tjandrasa Mayor Mardiono memutuskan pendaratan akan kembali diulang keesokan harinya. Keputusan yang penuh dengan risiko karena bukan tidak mungkin Belanda akan melakukan patroli di tempat yang sama.
Jika misal saat menurukan pasukan RPKAD tiba-tiba datang pesawat Belanda kembali apa yang harus dilakukan? Apakah menyelamatkan kapal selam dengan menyelam dan meninggalkan pasukan RPKAD? Atau menunggu semua masuk dulu dengan resiko ditembaki musuh? Atau apakah pendaratan kembali diulang? Sungguh berat keputusan yang harus diambil.
"Di sinilah terasa beratnya tanggung jawab komandan kapal selam mengenai keberhasilan tugas yang dipercayakan kepadanya," kata Mayor Mardiono.
Ketika hari mulai gelap para pemberani itu mengulangi aksi mereka. Tak jauh dari lokasi kemarin, RI Tjandrasa kembali muncul setengah. Dengan mantap satu demi satu proses evakuasi pasukan dijalankan. Tak ada pesawat atau kapal Belanda yang terlihat saat itu.
"Tiga sekoci pendarat diselimuti kegelapan dengan didayung lepas dari RI Tjandrasa menuju pantai pendaratan. Suasana tenang, sepi, hanya suara dayung pasukan kita yang terdengar," kata Letnan Subagijo melukuskan suasana malam itu.
Seluruh awak RI Tjandrasa menahan napas menyaksikan perahu karet mencapai sasaran. Mereka memastikan semuanya aman sebelum kembali menyelam dan keluar dari wilayah Belanda.
Setelah jauh baru semuanya menarik napas lega. Misi telah sukses dilaksanakan!
Itulah keberhasilan awak RI Tjandrasa yang kemudian hari diganjar Bintang Sakti. Penghargaan tertinggi untuk keberanian dan keberhasilan di medan tugas bagi seorang prajurit TNI.
Namun perang besar di Papua batal terjadi karena akhirnya Indonesia dan Belanda menyepakati gencatan senjata. Kelak Papua kembali ke pangkuan Indonesia lewat penentuan pendapat suara rakyat.
[ian]
Friday, September 22, 2017
“Jika PKI Bangkit, Memangnya Kenapa?"
Red: Maman Sudiaman
REPUBLIKA.CO.ID, Pertanyaan yang tampak sederhana, sesederhana cara berpikir orang yang mengungkapkannya.
Untuk menjawab, mungkin kita perlu menelaah lagi sejarah dan fakta yang ada di lapangan.
Saya tidak akan bercerita tentang peristiwa bulan Oktober di tahun 1945, ketika kelompok pemuda PKI membantai pejabat pemerintahan di Kota Tegal, menguliti serta membunuh sang bupati. Tak cukup di situ, mereka menghinakan keluarganya. Kardinah, adik kandung RA Kartini yang menikah dengan bupati Tegal periode sebelumnya, termasuk salah satu korban. Pakaian wanita sepuh itu dilucuti, kemudian diarak dengan mengenakan karung goni.
Betapa saat rakyat Indonesia tengah berjuang melawan penjajah, ketika arek-arek Suroboyo berebut merobek bendera merah putih biru di Hotel Yamato, lalu bertarung menghadapi sekutu pada 10 November, di belahan lain sebulan sebelumnya, sejumlah pejuang turut berdarah-darah dalam pertempuran lima hari di Semarang, membredeli tentara Jepang, PKI justru merusak tatanan bangsa di mana-mana. Menggerogoti dari dalam.
Anasir PKI bergerak merebut kekuasaan di Slawi, Serang, Pekalongan, Brebes, Tegal, Pemalang, Cirebon, dan berbagai wilayah lain. Menghilangkan nyawa anak bangsa dan tokoh pejuang. Bupati Lebak dihabisi, tokoh nasional Otto Iskandardinata diculik dan dieksekusi mati bahkan keberadaan jenazahnya menyisakan misteri. Sultan Langkat dibunuh serta hartanya dijarah. Bahkan Gubernur Suryo, tokoh sentral dari peristiwa di Surabaya juga dibunuh PKI.
Ketika tokoh PKI Amir Syarifuddin Harahap berhasil menjadi Perdana Menteri di tahun 1948, arus bawah PKI merasa mempunyai kekuatan. Muso memproklamirkan Republik Soviet Indonesia, beraliansi komunis. Dan lebih parah lagi dalam Perjanjian Renville, dengan mudah Amir Syarifuddin menyerahkan begitu banyak kekuasaan pada Belanda dan memasung wilayah Indonesia.
Keganasan PKI makin membabi buta.
Saya sebenarnya tidak hendak bercerita tentang peristiwa di Gontor. Ketika setiap pagi menjelang, satu per satu kyai diabsen dan nama yang disebut serta-merta disembelih. Atau kisah Haji Dimyati, aktivis Masyumi yang digorok lehernya sebelum dimasukkan ke sebuah sumur bersama korban pembantaian lainnya.
Juga tentang kesaksian Isra dari Surabaya yang ayahnya diseret ke sawah sembari dihajar beramai-ramai hingga jasadnya tidak berbentuk lagi; hancur, habis terbakar, dan dimakan anjing. Sang anak terpaksa memungut potongan tubuh ayahnya satu per satu dan dimasukkan kaleng.
Atau cerita Moch. Amir yang empat sahabatnya sesama aktivis dakwah disiksa dengan dipotong kemaluan dan telinga mereka hingga ajal menjemput. Atau testimoni Suradi saat para kyai dimasukkan loji lalu dibakar. Yang berhasil keluar tak lantas bebas, melainkan dibacoki. Pun saya sejujurnya tidak ingin mengisahkan kesaksian Mughni yang melihat tokoh Islam dari Masyumi di Ponorogo diciduk dan dinaikkan truk. Telinga kakaknya dipotong, lalu dibuang di sumur tua.
Juga tentang Kapolres Ismiadi yang diseret dengan Jeep Wilis sejauh 3 km hingga wafat. Setelah tentara dibunuhi, gantian polisi dilibas. Kemudian pejabat, ulama, serta para santri.
Pascagerakan komunis berhasil dihentikan di tahun 1948, pada 1965 PKI kembali beraksi.
Buya Hamka, Ketua MUI pertama dan para ulama lainnya dipenjara. Mereka difitnah oleh kalangan PKI yang saat itu sangat dekat dengan pemerintah berkuasa. Tak hanya menerima siksaan setiap hari, Buya Hamka memperoleh ancaman akan disetrum kemaluannya.
Deretan kisah mengiris hati di atas pernah saya baca, tapi tidak akan saya ceritakan sebagai jawaban atas pertanyaan itu. Karena mungkin hanya dianggap serpihan dari peristiwa kecil.
Tapi, kini mari kita lihat apa yang terjadi jika komunisme berkuasa.
Di Uni Soviet, sekitar 7 juta orang tewas dalam Revolusi Bolsevik dipimpin oleh Lenin. Di masa Stalin 20 juta orang terbunuh untuk memuluskan program komunisme.
Salah satu cara komunisme bertahan adalah, melestarikan tidak adanya perbedaan pendapat, dan jika berbeda sebaiknya dibunuh, berapa pun jumlah korban yang dibutuhkan.
Di Kamboja, sekitar 2 juta orang atau sepertiga jumlah penduduk dibantai untuk mengukuhkan kekuasaan komunis. Di Cina jumlah korban meninggal dalam revolusi diduga mencapai 80 juta.
Jadi, jika PKI bangkit, memangnya kenapa?
Pertanyaan seperti ini lebih baik dijawab dengan pertanyaan.
JIka PKI pernah mengkhianati kemerdekaan bangsa, apa jaminan mereka tidak akan mengulanginya?
Jika baru mempunyai sedikit kekuasaan saja sudah membantai begitu banyak orang, apa yang terjadi jika memegang kekuasaan besar?
Jika komunisme dilatih tidak bisa berbeda pendapat, lalu di mana letak kebebasan?
Dan yang terpenting dari semua itu, jangan berteriak korban. Mengutip Ahmad Mansur Suryanegara, PKI di Indonesia bukan korban, mereka pelaku. Atau istilah Agung Pribadi dalam buku Gara-Gara Indonesia, ini saatnya rekonsiliasi, kita bisa maafkan, tapi jangan lupakan sejarah pembantaian yang dilakukan PKI.
Try Sutrisno Dukung Panglima Soal Nobar Film G30S/PKI
Edward Febriyatri Kusuma - detikNews
Jakarta - Wakil Presiden RI ke-6 Try Sutrisno menyetujui usul Panglima TNI Gatot Nurmantyo tentang pemutaran film G30S/PKI. Pemutaran itu untuk mengingatkan bahaya laten komunisme dan sejarah PKI.
"Saya bangga kemarin saudara Gatot film G30S/PKI akan diputar lagi. Bangga saya, alasan anda supaya prajurit saya tahu kenyataannya tingkah laku PKI sebagai pengkhianat, itu tidak dibuat-buat, nyatanya disiksa. Gerwani jelas. Jadi setuju saya," ujar Try Sutrisno di Aula Gatot Soebroto, Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, Jumat (22/9/2017).
Baca juga: Panglima Jawab Tudingan PDIP soal Berpolitik Lewat Film G30S/PKI
Baca juga: Saat Para Santri di Jombang Nonbar Film G30S/PKI
Try tidak menyoalkan keinginan Presiden Joko Widodo, agar film yang diputar dibuat ringkas. Selain itu dikemas lebih moderat.
"Ya sudahlah ok, supaya mengimbangi lebih dingin. Silahkan. Tapi intinya kewaspadaan kepada PKI, harus tetap karena ideologi predator pancasila itu banyak. Kita sudah mantap pancasila jangan ragu-ragu," ujarnya.
Try mengingatkan anak cucu PKI yang masuk ke dalam tubuh TNI lantaran tidak adanya deteksi dini sebelum masuk pendidikan akademi militer. Dia meminta agar Akmil diisi orang-orang yang memiliki semangat NKRI bukan pemberontakan.
"Tidak mustahil anak cucu PKI akan masuk ke Akmil itu sasaran strategis jangka panjang. Jadi saya minta jajaran intel kita, walau sudah tidak ada (tim pengawas khusus), please yang mau masuk Akmil, Akpol, AU, AL untuk betul-betul tahu, manusia merah putih betul atau tidak," pungkasnya
(edo/rvk)
Wednesday, September 20, 2017
Pembela Korban Perang: Akui Kejahatan Dulu Sebelum Riset, Belanda
Danu Damarjati - detikNews
Jakarta - Mulai sekarang hingga empat tahun mendatang, Belanda melakukan riset perang dekolonisasi di Indonesia yang terjadi pada 1945 sampai 1950. Namun pembela para korban perang menyatakan ketidaksetujuannya terhadap riset itu.
Adalah Jeffrey Marcel Pondaag yang bersuara lantang menanggapi riset berdana 4,1 juta euro dari pemerintah Belanda itu. Dia tidak setuju dengan riset itu. Alasannya, menurut dia, riset itu seperti hendak melegalkan kolonialisme yang pernah dilakukan Belanda di wilayah Indonesia.
Seharusnya Belanda mengakui dulu bahwa yang mereka lakukan terhadap Indonesia dulu adalah suatu kejahatan, barulah setelah itu mereka bisa melakukan penelitian di Indonesia.
"Mereka harus mengakui kejahatan mereka dulu, baru mereka melakukan pemeriksaan (riset di Indonesia)," kata Jeffrey di Heemskerk kepada detikcom di Jakarta lewat komunikasi internet, Rabu (20/9/2017).
"Peneliti Belanda terlebih dahulu harus mengutuk kolonialisme," imbuh dia
Jeffrey adalah Ketua Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB). Yayasannya telah membantu mengadvokasi korban-korban kejahatan pendudukan Belanda, mulai Rawagede hingga korban pembantaian Westerling di Sulawesi Selatan. Ada pula kasus-kasus kejahatan perang di Jawa Tengah, Jawa Timur, Padang, dan lain-lainnya. Dia menyebut ada 700 berkas kasus dari para janda dan anak-anak korban perang yang sedang diusahakan kasusnya di pengadilan. Kebanyakan kasusnya terjadi pada 1945 sampai 1949.
Beberapa kasus yang diusahakan KUKB sudah 'gol'. Pada 2011, Pengadilan Kejahatan Perang di Den Haag memutuskan Belanda bersalah dalam kasus pembantaian di Rawagede. Pihak Belanda harus membayar ganti rugi 20 ribu euro untuk tiap orang korban. Kasus pembantaian di Sulawesi Selatan juga demikian, pemerintah Belanda pada 2013 meminta maaf kepada 10 janda yang suaminya tewas akibat perbuatan Raymond Pierre Paul Westerling pada 1946 sampai 1947, dengan kompensasi 20 ribu euro per orang. Ada pula kasus pemerkosaan di Desa Peniwen, Malang, Jawa Timur, pada 1949. Pengadilan Den Haag pada 2016 memutuskan pemerintah Belanda bersalah dan harus membayar kepada seorang perempuan di Peniwen itu senilai 7.500 euro.
Baca juga: Peneliti Belanda: Riset Kami Bukan untuk Mengubah Sejarah Indonesia
Penelitian Belanda itu bertajuk 'Dekolonisasi, Kekerasan, dan Perang di Indonesia, 1945-1950'. Jeffrey berpendapat, apabila tentara Belanda yang melakukan pembantaian di rentang waktu itu menganggap wilayah tersebut adalah Hindia-Belanda negerinya, sama saja Belanda membantai rakyatnya sendiri. Namun, apabila Belanda menganggap wilayah tersebut sebagai Indonesia negara merdeka, Belanda berarti menyerang negara yang sudah berdaulat.
"Itu kejahatan perang. Dia mau jalan ke kanan, ke kiri, lurus, atau ke belakang, salah semua. Karena tidak ada satu negara pun yang melegalisasikan kolonialisme," kata Jeffrey.
Ada periode penuh kekerasan terhadap orang-orang sipil Belanda dan yang dianggap berpihak ke Belanda pada 1945 hingga 1946, dinamakan sebagai periode Bersiap. Kekerasan dilakukan orang Indonesia terhadap Belanda saat itu. Namun, menurut Jeffrey, pemerintahan kolonial Hindia-Belanda juga jelas-jelas tidak bisa dibenarkan.
"Sekarang mereka mau meneliti periode Bersiap. Yang dimaksud orang-orang dalam periode Bersiap (yang akan diriset) itu siapa? Orang Indonesia. Padahal kekerasan saat itu untuk kemerdekaan, karena ratusan tahun kita diinjak-injak," ujar Jeffrey.
Sebelumnya, koordinator penelitian dekolonisasi ini, Ireen Hoogenboom, menyatakan penelitian ini murni dalam ranah akademis, bukan untuk kepentingan politik. Namun Jeffrey tidak percaya sambil menilai bahwa lembaga penyelenggara penelitian itu terlalu lekat afiliasinya dengan pemerintahan Belanda. Ada tiga lembaga Belanda yang menyelenggarakan riset ini, yakni KITLV, NIOD, dan NIMH.
Menurutnya, Belanda masih belum sepenuhnya mengakui bahwa Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, melainkan pada 27 Desember 1949. Maka agresi militer pada paruh akhir '40-an dianggap Belanda sebagai 'aksi polisionil' atau penumpasan pemberontakan, karena mereka merasa Hindia-Belanda masih wilayah mereka. Lewat Konferensi Meja Bundar (KMB), Belanda menjanjikan kemerdekaan Indonesia pada 27 Desember 1949. Jadi, sebelum 1949, Belanda merasa sah menindak pemberontakan-pemberontakan di wilayahnya sendiri. Padahal, menurut perspektif Indonesia, negara sudah merdeka sejak 1945.
"Kalau mereka mengakui kemerdekaan Indonesia adalah 17 Agustus 1945, mereka harus memberi ganti rugi kepada kita, mereka harus bayar," ujar Jeffrey.
Sebagaimana diberitakan, pihak peneliti dekolonisasi lewat Ireen Hoogenboom menyatakan tak akan mengusik sejarah Indonesia, termasuk tak akan mempermasalahkan tanggal kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945.
(dnu/fjp)
Sri Edi Swasono: PKI tak Pernah Minta Maaf
Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Bilal Ramadhan
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru Besar Ekonomi Universitas Indonesia (UI) Sri Edi Swasono mengatakan, hingga saat ini, tak ada permintaan maaf dari Partai Komunis Indonesia (PKI) terhadap apa yang dilakukan mereka terhadap ayahnya. Pada 1948, menurut Sri Edi, ayahnya, Moenadji Soerjohadikoesoemo, ditembak mati oleh PKI.
"Beliau digelandang ke penjara oleh PKI ketika disuruh pilih Soekarno-Hatta atau Amir-Muso. Ayah saya pilih Soekarno-Hatta, ya tentu ditembak mati," ungkap Sri Edi ketika dihubungi Republika.co.id, Senin (18/9) malam.
Menurut Sri Edi, saat itu ayahnya, yang merupakan seorang hakim di Pengadilan Ngawi, bersama enam pejabat lainnya di Ngawi dikubur bersama-sama setelah ditembak. Mereka dikubur dalam satu liang lahat di Dungus, Madiun, Jawa Timur (Jatim).
"Di sebelah Timur Bengawan Madiun di Ngawi. Dua minggu kemudian baru ditemukan liang lahat itu berkat petunjuk Lurah Dungus. Masing-masing bisa diidentifikasi berkat dr. Soeroto, Dokter Kepala RS Ngawi," kata dia.
Ia mengatakan, PKI memunuh banyak orang dengan cara yang kejam. Banjir darah tidak hanya di Ngawi, tetapi juga di seluruh Kabupaten di Karesidenan Madiun. "PKI yang berontak membunuhi rakyat. Kalau saja G-30S/PKI 1965 PKI yang menang, kita yang mereka bunuh lagi seperti para jenderal yang dibunuh di Lubang Buaya," jelas Sri Edi.
Sri Edi menjelaskan, PKI tidak pernah meminta maaf atas kejadian tersebut. Ia, bersama dengan enam saudaranya, menjadi anak yatim. Menurut dia, pembunuhan adalah kekejaman yang membawa keyatiman.
"Keyatiman adalah kesengsaraan, penderitaan, dan kepedihan berkepanjangan. Ibu saya saat itu baru berusia 31 tahun, dengan anak tertua 13 tahun, terkecil baru satu tahun," kisah dia.
Hingga akhirnya tiga tahun yang lalu ibu dari Sri Edi wafat pada usia 97 tahun. Selama 66 tahun, ibunya membesarkan Sri Edi dan keenam saudaranya seorang diri dengan status janda. "Kami bersyukur jasad ayah saya masih dapat ditemukan. Tapi jasad Pak Soehoed, keponakan ayah saya, tidak ditemukan," ujarnya.
"PKI tidak pernah meminta maaf telah membunuh manusia-manusia tak bersalah," tegas Sri Edi.
Tuesday, September 05, 2017
Pernyataan Yansen Binti
COPAS PERNYATAAN Bpk. Yansen Binti...
Kepada YTH.
Gubernur dan Wakil Gubernur Kalimantan Tengah,
Ketua dan Anggota DPRD Kalteng,
Ketua Umum dan Pengurus DAD, KONI, Perbakin, PPM, GERDAYAK,
dan Warga Masyarakat Kalteng dimanapun berada.
Sebagaimana kita ketahui bersama, telah lebih dari seminggu ini saya didera fitnah yang ingin membunuh karakter saya. Nama baik saya, keluarga, maupun status saya sebagai Wakil Rakyat di DPRD Kalteng telah tercoreng akibat beredarnya pemberitaan dari media online yang tidak bertanggung jawab dimana saya dituduh menjadi dalang pembakaran sekolah-sekolah di Palangka Raya beberapa waktu lalu.
Itu adalah TUDUHAN KEJI DAN TIDAK BENAR.
Karena SAYA TIDAK MELAKUKAN apa yang dituduhkan tersebut.
Mana mungkin saya melakukan tindakan bodoh dan terkutuk tersebut, sementara di saat bersamaan saya sedang mempersiapkan diri untuk maju sebagai Calon Bupati Gunung Mas.
Selain itu, nama baik yang saya bangun selama bertahun-tahun telah membuahkan kepercayaan masyarakat Dayak untuk menjadi wakil mereka di DPRD, menjadi pemimpin di organisasi Gerdayak Nasional, menjadi Sekretaris Umum DAD Provinsi Kalimantan Tengah. Dan masih banyak tanggung jawab lain yang dipercayakan kepada saya. Mana mungkin saya mempertaruhkan semuanya itu dengan melakukan tindakan kriminal tercela seperti yang dituduhkan kepada saya.
Saya mencintai Utus Dayak dan Kalteng, tanah tumpah darahku, yaitu Bumi Tambun Bungai, Bumi Pancasila. Kecintaan saya terhadap Utus Dayak dan Lewu Petak Danum warisan leluhur kita ini adalah alasan saya untuk berkiprah selama ini. Memberikan bakti terbaik bagi utus Dayak dan Bumi Tambun Bungai yang sangat saya cintai.
Tuduhan telah dijatuhkan kepada saya, dan saya harus menghadapinya.
Saya yakin dan percaya kebenaran akan dinyatakan, sebab ada tertulis “Tidak ada rahasia yang tidak akan dinyatakan” dan kebenaran pasti menjadi pemenang.
Oleh karena itu, sebagai warga Negara yang tunduk dan menghormati hukum, sekaligus untuk membuktikan bahwa saya tidak bersalah, saya menyatakan siap menjalani proses hukum. Baik itu hukum formal maupun Hukum Adat Dayak (Sumpah Netes Uwei).
Ijinkan saya menyampaikan harapan saya kepada semua pihak :
1. Saya berharap Kepolisian RI dan Aparat Hukum terkait akan melaksanakan tugasnya secara professional, jujur, dan mengedepankan asas praduga tak bersalah, untuk mencari kebenaran dan keadilan yang sesungguhnya atas perkara ini.
2. Saya berharap Pahariku utus Dayak tetap tenang dan menaruh kepercayaan kepada proses hukum.
3. Saya berharap dukungan doa Pahariku samandiai untuk saya dan keluarga supaya diberi kekuatan dan ketabahan untuk menjalani masa-masa sulit ini.
Dan bersama ini saya ingin menyatakan bahwa:
Saya akan tetap mencintai Utusku Dayak dan Tanah airku Tambun Bungai, Bumi Pancasila, sekalipun mahal harga yang harus saya bayar. Saya akan tetap berjuang untuk kesejahteraan Utus Dayak di tanah airnya sendiri.
Demikian pernyataan dan harapan yang ingin saya sampaikan. Terima kasih atas perhatian, doa, dukungan yang diberikan kepada saya dan keluarga, semoga Tuhan membalasnya dengan segala kebaikan-Nya kepada saudara-saudaraku utus Dayak dan warga Kalteng pada umumnya.
Kiranya Tuhan Yang Maha Esa melimpahkan berkah dan rahmat-Nya bagi kita semua. Amin.
Hormat saya,
Yansen A. Bint
Yansen Binti Jadi Tersangka Pembakaran 7 Sekolah di Kalteng
TEMPO.CO, Palangka Raya - Kepolisian Daerah Kalimantan Tengah menetapkan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kalimantan Tengah Yansen Binti sebagai tersangka dalam kasus pembakaran tujuh sekolah dasar negeri di Palangkaraya pada akhir Juli 2017. Dengan ditetapkannya Yasen sebagai tersangka, total sudah sembilan orang menjadi tersangka.
Kepala Bidang Humas Polda Kalimantan Tengah Ajun Komisaris Besar Pambudi Rahayu menyampaikan soal penetapan Yasen sebagai tersangka setelah menjalani pemeriksaan. Saat diperiksa Yasen didampingi pengacaranya Sukah L. Nyahun.
Baca: Kasus Pembakaran 7 Sekolah, Polisi Periksa Anggota DPRD Kalteng
Dari pantauan Tempo, Ketua Gerakan Pemuda Dayak (Gerdayak) itu diperiksa di ruangan Direktorat Reserse dan Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Kalimantan Tengah sejak pukul 08.30. Hingga berita ini ditulis pemeriksaan terhadapnya masih berlangsung.
“Pertama, kami sudah mengamankan satu orang tersangka lagi hari ini yaitu AG dan sudah dibawa ke Jakarta. Kemudian kami kembangkan pemeriksaan saksi YB (Yansen Binti) dengan pemeriksaan saksi lagi. Setelah ada kesesuaian antara saksi satu dan lainnya, maka kami tetapkan status YB menjadi tersangka,” kata Pambudi, Senin, 4 September 2017.
Pambudi mengatakan, polisi masih melakukan pemeriksaan terhadap politikus Partai Gerindra tersebut. Ia belum memberikan jawaban pasti saat ditanya, apakah Yasen akan ditahan atau dibawa ke Jakarta seperti tersangka lainnya. “Yang jelas sampai sekarang kami terus melakukan pemeriksaan terhadap tersangka YB,” ujarnya.
Simak pula: Pembakar 7 SD di Palangka Raya yang Ditangkap Polisi Bertambah
Kasus pembakaran sekolah ini berawal pada Jumat hingga Sabtu, 21-22 Juli 2017. Dalam waktu 24 jam terdapat empat sekolah terbakar. Pertama, pada 21 Juli, sekitar pukul 13.00, SDN 4 Menteng yang berlokasi Jalan MH. Thamrin terbakar. Dalam waktu yang sama SDN 4 Langkai di Jalan AIS Nasution juga terbakar.
Sabtu, 22 Juli, pukul 02.00 giliran SDN 1 Langkai di Jalan Wahidin Sudirohusodo terbakar. Terpaut sejam kemudian SDN 5 Langkai di lokasi yang sama juga turut terbakar.
Selang sembilan hari, Sabtu, 29 Juli 2017, sekitar pukul 18.15, kebakaran melanda rumah jasa di SDN 8 Palangka Raya. Terakhir pada Minggu, 30 Juli 2017, sekitar pukul 03.00, SDN 1 Menteng dan SMK milik Yayasan ISEI di Jalan Yos Sudarso juga ludes terbakar.
Yasen Binti dikenai Pasal 187 juncto Pasal 55 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Ia dan tersangka lain diancam hukuman hingga 15 tahun penjara.
KARANA W.W.
Keb
Monday, August 28, 2017
Sunday, August 20, 2017
Presidium Dewan Rakyat Dayak Kecam Mendagri Soal Monumen Laskar Cina
Red: Muhammad SubarkahREPUBLIKA.CO.ID, Jakarta -- Presidium Dewan Rakyat Dayak mengecam tindakan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahyo Kumolo yang meresmikan monumen perjuangan laskar CIna di Taman Mini. Menurut dia kebijakan itu tidak benar karena menyakiti nurani suku bangsa yang lain.
"Kenapa harus monumen laskar Tionghoa, padahal laskar Rakyat Dayak banyak yang berjuang namun tidak pernah di apresiasi bentuk perjuangnanya. Kami mengecam Mendagri yang menganak emaskan etnik tertentu, peresmian monumen Po An Tui Laskar Tiong Hoa jelas menyakiti rakyat Dayak yang lebih banyak membuat laskar untuk membela negeri ini," tegas Ketua Presidium Dewan Rakyat Dayak Bernadus dalam pernnyataanya di Jakarta, (29/2).
Bernadus menambahkan, suku Dayak adalah satu-satu nya suku yang menyatakan sumpah setia kepada Republik Indonesia pada tanggal 17 Desember 1946 dengan tata cara upacara sakral suku dayak di Gedung Agung Istana Presiden Yogyakarta yang di pimpin langsung oleh tokoh Dayak Cilik Riwut. Cilik merupakan anggota tentara nasional Indonesia, penerjun pertama yg dimiliki oleh republik Indonesia asli suku Dayak.
Hingga hari ini, kata dia, pengajuan nama Cilik Riwut sebagai pahlawan nasional pun belum mendapatkan hasil. Apalagi membuat monumen sumpah setia rakyat Dayak untuk Bela NKRI, jauh dari impian.
"Suku Dayak juga pernah terlibat aktif dalam memadamkan upaya pemberontakan dari etnis Tionghoa yang dikenal dengan peristiwa penyerangan Pangkalan II angkatan udara RI di Sangau Ledo yang dilakukan oleh barisan rakyat," katanya.
Menurutnya, pemberontakan yang dilakukan oleh etnis Tionghoa, menyisakan luka bagi suku dayak yang dikenal peristiwa makuk merah.
"Tanah kami tanah Dayak hanya sebagai tempat eksploitasi Sumber Daya Alam saja. Tambang tambang berdiri dimana mana menyisakan kerusakan alam, pemaksaan pembukaan perkebunan dan bahkan tiap tahun rakyat Dayak mendapat kado asap dari pembalak liar yang membuka lahan, tanah kami dijadikan lahan transmigran tanpa minta imbalan," katanya.
Bernardus melihat persepsi yang dibentuk agar Dayak tetap menjadi warga kelas dua dan para bandar tetap bisa meng eksploitasi tanah Dayak. Pemerintah pusat seharusnya memberikan perhatian yang lebih kepada rakyat Dayak, karena banyak suara kami saat pemilu yang mendukung pemerintah.
Thursday, August 17, 2017
Pengantar makanan para pejuang kemerdekaan yang terlupakan
Reporter : Gede Nadi Jaya
Merdeka.com - Banyak orang menilai para pahlawan adalah mereka yang berjuang mengangkat senjata melawan penjahat. Seakan tidak dipikirkan mereka yang berjuang di 'balik layar', seperti tukang masak, tukang jahit pakaian atau tenaga medis.
Seperti halnya kisah Luh Candra Asih atau akrab disapa Ninik (nenek) Luh Ayu. Wanita renta berumur 94 tahun ini masih ingat betul dalam kerutan di dahinya, kenangan bagaimana saat bangsa Indonesia melawan penjajah Jepang.
Nenek ini tinggal di lingkungan Banjar Paketan, Kelurahan Paket Agung, Buleleng Bali. Di usia yang begitu renta, ia masih kuat berjalan walau harus dipapah.
Bahkan diakuinya pandangan dan pendengaran masih berfungsi walau sudah berkurang. Dijumpai di rumahnya dengan diampingi sang putra, ia menuturkan saat dia berjuang di balik layar kemerdekaan ini.
Sayangnya, perjuangan seperti dianggap sebelah mata oleh pemerintah daerah setempat. Bahkan dia tidak terdafar sebagai vetran. Alasannya karena keluarga dinilai cukup mampu, bukan masuk dalam daftar merah atau keluarga kurang mampu.
Bagaimana kisahnya? Dalam bahasa Bali dengan terbata-bata, dia menuturkan bahwa saat itu bersama kelompok juru masak lainnya bertugas membawa makanan ke pejuang yang bersembunyi di balik Bukit Buleleng.
Kala itu dia masih berumur belasan tahun. Luh Ayu yang saat itu wanita yang terlihat ABG banyak digoda para pejuang saat tiba membawa makanan.
"Ingat ninik waktu orang teriak-teriak merdeka sudah umur 20-an tahun. Ninik bawa beras ke posko terus bawa makanan ke pejuang yang perang," kenangnya dengan bahasa Bali.
Perjalanan menuju posko membawa beras sepikul adalah sebuah perjalanan yang berat. Dia harus berhati-hati tidak sampai tertangkap penjajah. Belum lagi para begal atau perampok di hutan.
Sampai di posko, bersama remaja lainnya menunggu masakan selesai. Setelah itu dengan dikawal dua pejuang, Ayu yang mengaku begitu manis sesuai namanya langsung menyusuri bukit tempat pejuang bersembunyi.
"Kalau mau ke Gigit kan ada monumen patung-patung orang perang. Nah di situ para pejuang bergerilya. Banyak pahlawan mati di sana, ninik jalan sampai 17 kilo bawa nasi," akunya.
Memang tidak mudah, bagi wanita ini saat masih menginjak usia mudanya, membawa makanan ataupun beras bagi para pejuang yang bersembunyi dari incaran para penjajah.
Luh Ayu merupakan satu dari sekian banyak pejuang yang merasakan pahitnya masa-masa penjajahan Jepang, dan merebut kemerdekaan.
Diceritakan juga oleh putri kandungnya, Made Mertini yang juga Guru Agama di SMKN 3 Singaraja, bahwa dia mendapatkan banyak cerita tentang perjuangan di zaman penjajahan.
"Ibu dulu kalau bawa makanan itu harus disembunyikan di dalam kayu bakar, itu bolak balik mencari pejuang untuk memberikan makan. Saat balik, kayu bakar itu harus dibawa lagi, biar tidak ketahuan tentara penjajah," ujar Mertini yang saat kecil didongengin oleh ibunya tentang perjuangan zaman itu.
Suka dan duka terus dialami Luh Ayu semasanya, untuk memberikan makan kepada para pejuang. Sukanya, di mana Luh Ayu mampu membantu para pejuang untuk memberikan tenaga melalui makanan. Sedangkan dukanya jika ketahuan para penjajah, tentu ancaman berat bakal diterima.
"Kalau zaman Belanda itu masih mending, tapi kalau zaman Jepang lebih keras, ibu yang mengalami langsung," tutur Mertini.
Bahkan sempat dia diiming-imingi untuk memberi racun ke para pejuang. Namun demi kemerdekaan, ia rela makanan dirampas dan dibuang. Kendati saat itu dia mengaku bahwa makanan itu untuk bekal mencari kayu bakar.
Namun sayang, perjuangan berat Luh Ayu ini tidak mendapatkan penghargaan apapun, seperti pejuang-pejuang lain yang mendapatkan penghargaan sebagai veteran.
"Dulu memang ada pendataan, tapi memang tidak ada yang mengurus," kata Mertini.
Dari pihak Kelurahan, kata dia, memang sempat nama Ninik Luh Ayu muncul untuk didaftarkan sebagai Veteran. Namun hingga saat ini masih belum ada pendataan lagi. Sempat terbesit untuk menanyakan, tetapi enggan karena takut dianggap kekurangan dalam hal ekonomi.
"Ya sempat dulu sekitar tahun 1980-an itu, tapi memang tidak ada mengajukan lagi. Ya mudah-mudahan nantinya ada lagi dalam pendataan. Kalau tanya-tanya, sungkan," tutup Mertini. [cob]
Wednesday, August 16, 2017
Mengunjungi Veteran Tionghoa di Banjarnegara, Soegeng Budhiarto
Uje Hartono - detikNews
Banjarnegara - Memperingati HUT ke-72 Kemerdekaan Republik Indonesia, tak lepas dari mengenang perjuangan para pahlawan. Kisah perjuangan kemerdekaan disampaikan oleh seorang veteran pejuang dari Banjarnegara.
Soegeng Boedhiarto namanya. Pria Tionghoa ini kini berusia 88 tahun. Meski begitu ingatannya tentang suasana perjuangan melawan tentara penjajah masih sangat melekat.
Saat ditemui detikcom di kediamannya di Jalan Meyjen Panjaitan nomor 1, Banjarnegara, Kamis (17/8/2017), Soegeng menunjukkan sejumlah surat, catatan, dan foto-foto saat perjuangan yang masih tersimpan rapi. Dia menyimpannya dalam bendel buku.
Soegeng menceritakan, sejak usia 17 tahun ia mulai terlibat dalam perjuangan kemerdekaan. Saat itu, veteran berpangkat sersan ini bertugas sebagai mata-mata.
Tempat tinggalnya dekat dengan markas Belanda di Purwokerto sehingga membuat Soegeng bisa mendapat informasi dari tentara Belanda.
"Kalau ada informasi tentara Belanda akan menyerang daerah tertentu saya langsung menginformasikan kepada anggota lainnya untuk pindah," ujar Soegeng.
Di masa saat ini, ia berpesan agar generasi muda untuk mengisi kemerdekaan dengan hal-hal positif. Ia juga mengingatkan agat jangan mudah untuk dipecah belah. Apalagi jika melihat perjuangan merebut kemerdekaan yang dilakukan oleh berbagai lapisan masyarakat.
"Indonesia tetap kuat jika terus bersatu, untuk itu jangan mudah untuk dipecah belah," pesannya.
(sip/sip)
Saturday, February 18, 2017
Pemuda Panca Marga Minta Polisi Proses Iwan Bopeng
Bila tak diproses, Pemuda Panca Marga akan mencari Iwan Bopeng.
Oleh : Eko Priliawito, Rifki Arsilan
VIVA.co.id – Baru-baru ini nama Iwan Kadal atau Iwan Bopeng santer menjadi perbincangan di media sosial. Iwan yang diduga tim pemantau saksi dari salah satu pasangan calon gubernur dan wakil gubernur menjadi target pencarian banyak orang lantaran berkata-kata kasar dan menantang memotong tentara di salah satu TPS ketika pencoblosan surat suara pada Pilkada 15 Februari 2017.
Sekertaris Jenderal Pemuda Panca Marga (PPM), Saharuddin Arsyad, menyesalkan sikap arogansi salah satu tim pemantau saksi itu. Menurutnya, sikap arogansi pria itu tidak beda dengan yang didukungnya.
"Mulut pendukung dan yang didukung sama sombongnya. Seorang timses bicara agama, dan bicara potong tentara segala, itu sangat tidak pantas," kata Saharuddin Arsyad kepada VIVA.co.id, Sabtu, 18 Februari 2017.
Menurutnya, arogansi Iwan Bopeng atau Iwan Kadal yang ternyata berinisial FT itu telah merusak suasana pemilihan kepala daerah yang seharusnya berjalan dengan adil, lancar dan aman. Bahkan, kata Saharuddin, pernyataan Iwan Kadal itu dapat memancing perseteruan yang berujung pada memecah persatuan dan kesatuan. Sebab, pernyataan Iwan Kadal yang berani memotong tentara dapat memancing keluarga besar Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang berdampak sangat fatal.
"Maka kami atas nama organisasi putra-putri veteran TNI meminta agar aparat penegak hukum memproses. Karena ini sudah perbuatan yang tidak baik dalam kancah pilkada yang dapat menjadi pemecah persatuan dan kesatuan bangsa dan saya berharap timses mempertanggung jawabkan ulah anak buahnya itu atau kami Pemuda Panca Marga yang akan kasih dia pelajaran," katanya.
BERITA LAIN : IWAN BOPENG/IWAN KADAL/FREDY TUHENAY meminta maaf setelah dijadikan DPO
Subscribe to:
Posts (Atom)