Friday, October 05, 2018
IGK Manila, Pengawal Soeharto - Penjaga Sukarno
Sudrajat - detikNews
Jakarta -
Ada dua tokoh yang amat dikagumi Mayjen TNI (Purn) IGK (I Gusti Kompyang) Manila, yakni Sukarno dan Soeharto. Bagi dia, kedua tokoh itu adalah lelanang ing jagad, lelaki yang luar biasa. Kekaguman itu antara lain karena dia pernah punya hubungan yang dekat dengan keduanya. Manila pernah menjadi petugas keamanan di Wisma Yaso, saat Sukarno tengah menyusun naskah Pidato Nawaksara pada 1967.
Hal itu bermula ketika atasannya di Pomad (Polisi Militer Angkatan Darat) Letkol Noorman Sasono memberikan tugas rahasia termasuk kepada dua rekan lainnya, Letnan Murudin dan Letnan Suyanto. Malam itu, awal Januari 1967, ketiganya diperintahkan untuk mengawal seseorang, orang tua, di sebuah rumah besar berhalaman luas di selatan Jakarta.
Sama sekali tak dijelaskan siapa gerangan orang tua dimaksud. Ketiganya hanya diminta memastikan tak ada kunjungan atau tamu menemuinya. Juga si orang tua tak boleh pergi meninggalkan rumahnya. Baru pada pagi harinya, ketiganya dibuat terkaget-kaget karena yang orang tua yang mereka kawal tak lain adalah Panglima Besar Revolusi, proklamator, Insinyur Sukarno yang masih berstatus sebagai presiden.
"Pagi itu Bung Karno hanya mengenakan pentalon dan kaos oblong," ujar Manila dalam buku IGK Manila Panglima Gajah, Manajer Juara.
Baca juga: IGK Manila, Panglima Gajah Bershio Kuda
Bagi Manila, itu bukan pertemuan perdana dengan Bung Karno. Saat berkunjung ke Akademi Militer di Magelang, sebagai taruna asal Bali dia pernah disertakan dalam jamuan makan malam dengan sang Presiden. Dia pernah ditanya Sukarno tugas apa yang diinginkannya seleas dari Akademi. "Saya ingin menjadi pengawal Presiden," ujarnya lugu. Panglima Angkatan Darat Jenderal Ahmad Yani dan hadirin lainnya malam itu tertawa mendengarnya.
Selama 10 hari mengawal, praktis cuma Manila yang telaten mendampingi Panglima Besar Revolusi yang kesepian itu. Dua rekannya seringkali memilih menyelinap keluar untuk menemui pacar-pacar mereka.
Meski masih berstatus Presiden, Manila bersaksi bahwa menu makan yang disantap Sukarno selama di Wisma Yaso adalah sama dengan yang jatah ransum prajurit. Karena bosa, sesekali Manila dimintanya membeli masakan Padang di Pejompongan. Menu nasi bungkus itu kemudian disantap berdua.
Pernah juga perwira muda Manila mendapat pejangan dari sang Presiden yang kesepian dan masih gemar bicara politik itu. "Manila, kalau kamu menjadi pemimpin di Indonesia, ada satu hal yang tak boleh kamu lupakan: jangan pernah mengubah kebinekaan kita. Kekuatan kita ada pada kebinekaan itu," begitu salah satu nasihat yang melekat kuat dalam ingatan Manila.
Baca juga: Jejak IGK Manila, Soeharto dan Om Liem di Olahraga Wushu
Terkait Kebinekaan itu pula, Bung Karno secara berseloroh ingin punya istri banyak, dari Sabang sampai Merauke. Kala itu, Bung Karno sudah pernah punya istri dari Sumatera, Sunda, Jawa, Sulawesi, Kalimantan. "Mungkin Papua belum, Pak?" celetuk Manila. Bung Karno pun tertawa lepas mendengar seloroh itu. "Iya ya. Lagi nyari ini," timpalnya.
Mengingat kondisi Bung Karno yang amat memprihatinkan selama menjalani masa tahanan rumah, berpuluh tahun kemudian Manila menyampaikan testimoni langsung kepada Soeharto. Dia cukup dekat dengan mantan penguasa Orde Baru itu karena pernah menjadi pengawalnya saat Soeharto masih di Kostrad.
Saat bertemu di Cendana setelah lengser dari Istana, Manila mengungkapkan bahwa betapapun sang Jenderal Besar masih jauh lebih beruntung ketimbang Sukarno. Saat sakit Soeharto masih mendapatkan perawatan di rumah sakit terbaik, ditangani tim dokter kepresidenan.
"Tapi Bung Karno itu kalau sakit hanya diberi Naspro," kata Manila kepada detik.com di kantornya, Akademi Bela Negara, beberapa waktu lalu. Mendengar cerita Manila tersebut, Soeharto mengungkapkan bahwa dirinya tidak pernah menyuruh untuk menyengsarakan Sukarno. "Saya hanya meminta agar Bung Karno jangan berhubungan dengan media asing. Kalau beliau bicara keluar, dunia akan mendukung beliau, Asia Afrika akan mendukung, bisa membelanya, dan kita bisa perang saudara. Saya ini tidak ada artinya, Manila, dibanding Bung Karno."
(jat/jat)
Monday, October 01, 2018
Tragedi Kedung Kopi, saat PKI bantai 23 lawan politiknya
Merdeka.com - Kisah kebiadaban PKI (Partai Komunis Indonesia) di Kota Solo, memang tak lepas dari peristiwa pembantaian di Kedung Kopi, 22 Oktober 1965. 23 warga Solo yang melakukan demonstrasi mengecam PKI, menjadi korban kekejaman komunis dan dibuang di salah satu sudut aliran Sungai Bengawan Solo, Kelurahan Pucangsawit, Kecamatan Jebres tersebut.
Saksi hidup Usman Amirudin (79), dan sejumlah warga yang mengalami peristiwa tersebut mengisahkan, saat itu puluhan pemuda yang hanya rakyat biasa ditangkap, ditembaki dan kemudian dibuang di Kedung Kopi. Saat ini lokasi yang merupakan bantaran Sungai Bengawan Solo itu, dibangun taman dan prasasti.
Usman yang saat ini bekerja di bidang konstruksi tersebut mengisahkan, terjadinya tragedi pembantaian bermula saat munculnya kabar dari Dewan Revolusi di Jakarta hingga terjadinya peristiwa penculikan sejumlah jenderal oleh PKI pada 30 September 1965.
Peristiwa di Jakarta tersebut, lanjut Usman, kemudian merembet ke Solo, apalagi Wali Kota Oetomo Ramelan yang menjabat saat itu berasal dari PKI. Beberapa prajurit militer di Solo, menurut Usman, bahkan juga anggota PKI.
"Setelah mendapat kabar itu, potensi masyarakat non-PKI (nasionalis dan agama) menyatu untuk saling menjaga. Suasana di Solo saat itu, setiap hari seperti perang, mulai 30 September sampai 22 Oktober, dan masing-masing gang ditutup oleh pihak kami," ujar Usman saat ditemui merdeka.com di rumahnya, Kelurahan Bumi, Laweyan, Rabu (26/9).
Usman yang saat itu menjadi anggota Pemuda Muhammadiyah menambahkan, di saat bersamaan para anggota PKI yang tergabung dalam Pemuda Rakyat juga melakukan hal yang sama. Mereka berkeliling kampung untuk menteror masyarakat sipil.
"Sudah, masuk ke rumah masing-masing, ndak usah kumpul-kumpul. Ini urusan intern Angkatan Darat, masuk saja," ucap Usman menirukan kata-kata teror anggota Pemuda Rakyat.
Namun, lanjut Usman, masyarakat yang sudah bersatu, tak mau menuruti gertakan mereka dan tetap berjaga-jaga. Namun makin lama, sikap represif mereka semakin terlihat dengan cara mempersenjatai diri dengan parang, gebugan (alat pemukul), rantai dan lainnya.
Kondisi tersebut membuat masyarakat panik, karena mereka tidak tahu ke mana harus berlindung. Namun pada akhirnya, warga meminta bantuan ke Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) agar masuk ke Solo. Masyarakat menyambut kedatangan RPKAD pada 22 Oktober 1965 dengan suka cita. Namun sayangnya pada sore harinya RPKAD sudah kembali ke Magelang.
Prihatin dengan pemberontakan PKI di Jakarta, masyarakat Solo yang sudah merasa aman, selepas Zuhur melakukan aksi demonstrasi di depan toko batik kawasan Gladag Jalan Slamet Riyadi atau depan rumah tokoh yang ditengarai sebagai donatur PKI di Nonongan. Usai berdemo, para pemuda ini sudah diperintahkan untuk kembali ke posnya masing-masing.
"Kami sudah diperintahkan oleh komandan masing-masing, setelah Ashar harus pulang ke posnya masing-masing. Jadi saya harus pulang ke Balai Muhammadiyah," katanya.
Namun nahas, saat hendak pulang ada anggota CPM dan POL AU (Polisi Angkatan Udara) yang menyusup ke rombongan pendemo. Mereka meminta para peserta demo untuk ke balai kota. Melihat keduanya berpakaian resmi, Usman dan para pendemo lainnya menuruti perintah dan menuju balai kota Solo, yang berjarak 400 meter.
"Ya sudah kita berbondong-bondong ke sana. Tapi belum sampai ke balai kota kita sudah disikat oleh militer. Ditembaki dari beteng itu. Setelah melihat peluru seperti kembang api, saya sembunyi. Saya bersama GPM (Gerakan Pemuda Marheinis) sembunyi. Makin malam makin kelihatan peluru itu. Kira-kira jam setengah tujuh (18.30) sudah agak reda itu, kami pulang. Rumah kami di Kusumoyudan depan Sahid Raya," tuturnya.
Namun sebelum pulang, lanjut Usman, salah satu keponakannya yang tinggal di Kampung Batangan, Pasarkliwon yang nekat melintas di lokasi, menjadi korban pembunuhan. Keponakan Usman yang masih berusia 13 tahun dan henda pulang dari rumahnya ke Batangan dicegat.
"Ternyata yang dibunuh di Kedung Kopi itu ada 22 orang, ditambah 1 orang dari Wonogiri. Kalau yang keponakan saya itu ditusuk di leher sampai tembus, hancur badannya," katanya.
Selang dua hari kemudian, giliran masyarakat yang melakukan operasi penangkapan terhadap para anggota PKI. Apalagi saat itu, RPKAD juga telah kembali ke Solo. Para tokoh komunis tak berdaya, tak berani lagi keluar rumah dan Kota Solo kembali dikuasai warga.
"Kalau ada yang mengatakan di Kedung Kopi itu PKI dibunuh, itu pemutarbalikan fakta. Justru PKI yang melakukan pembunuhan di sana. Karena di sana itu aman, masih seperti hutan. Mayatnya ya sudah dibiarkan di sana," jelasnya lagi.
Jembatan Bacem
Dalam peristiwa kekejaman PKI di Solo, Jembatan Bacem yang berada di atas aliran Sungai Besar (Bengawan) Solo, Kecamatan Grogol, Kabupaten Sukoharjo juga turut menjadi saksi bisu. Jembatan yang sudah dibangun ulang itu, dikenal sebagai tempat jagal para tahanan terduga anggota PKI atau organisasi yang berafiliasi dengan partai itu.
Sulit memang mencari saksi hidup peristiwa tersebut. Namun sejumlah warga di desa sekitar memang pernah mendengar cerita dari orang tua mereka. Sejumlah warga bahkan menceritakan adanya kisah mistis di lokasi itu.
"Sekarang jembatanya kan tinggal pondasi. Tidak bisa dirobohkan, tidak ada yang berani. Saat kejadian itu saya masih sekolah dasar," ucap Suko Haryono (59) warga Desa Telukan.
Dari cerita kedua orang tuanya, dikatakan memang lokasi tersebut menjadi tempat eksekusi anggota PKI. Mayat para penghianat bangsa tersebut kemudian dibuang ke aliran sungai.
Usman juga membenarkan jika Jembatan Bacem menjadi lokasi pembunuhan anggota PKI. Menurutnya, tidak hanya Jembatan Bacem, namun juga di Jembatan Jurug yang juga di atas aliran Sungai Bengawan Solo.
"Kalau Bacem itu dia (PKI) yang dibunuh oleh kita. Jembatan Bacem ada, Jurug juga ada," katanya lagi.
Usman menilai, konflik horisontal yang terjadi antara masyarakat dan PKI, bermula dari peristiwa pembunuhan di Solo. Masyarakat ingin melakukan balas dendam terhadap kekejaman PKI.
Kamp tahanan politik Sasono Mulyo
Tempat lain yang menjadi saksi tentang peristiwa kekejaman PKI di Solo adalah gedung Sasono Mulyo. Konon setiap malam ada tahanan yang diambil dari kamp penahanan di kompleks Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Dari lokasi ini, tercatat 71 orang hilang setelah diambil tentara pada malam hari.
Sasono Mulyo terletak di dalam wilayah Keraton Surakarta, tepatnya di sebelah barat Pintu Gapit, sebelah utara Bangsal Kemandungan atau berseberangan dengan Sasono Putra, tempat tinggal raja Paku Buwono XIII, yang berkuasa saat ini. Tempat ini merupakan kediaman resmi putra mahkota.
Kompleks Sasono Mulyo terdiri atas bangunan induk yang ditinggali oleh putera mahkota, dan bangunan tambahan di sepanjang sisi timurnya yang merupakan tempat para abdi dalem (pelayan) yang mengurus kebutuhan sehari-hari putera mahkota. Di bagian depan bangunan induk terdapat pendopo(serambi) berukuran kurang lebih 37,5x25 meter persegi.
Pengageng Parentah Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Dipokusumo atau akrab disapa Gusti Dipo membenarkan jika saat itu, Sasono Mulyo menjadi tempat penahanan anggota PKI.
"Sasono Mulyo memang dipakai untuk menahan orang-orang yang diduga terlibat kegiatan G30S-PKI tersebut. Nah yang dipakai Sasono Mulyo adalah bangunan pendopo," terang Gusti Dipo.
Namun seiring perkembangan zaman, di era Paku Buwono XII akan menikahkan anaknya, GKR Alit tahun 1971, tempat tersebut dikosongkan. Sasono Mulyo kemudian dijadikan tempat hajatan saat keluarga keraton mantu.
Kemudian, lanjut Gusti Dipo, tahun 1975 Sasono Mulyo digunakan untuk kegiatan PKJT atau Pusat Kesenian Jawa Tengah. Setelah itu muncul lagi kegiatan seni yang tergabung dalam ASKI atau Akademi Seni Karawitan Indonesia, yang selanjutnya menjadi STSI dan sekarang menjadi ISI (Institut Seni Indonesia).
"Sak meniko kosong (sekarang kosong)," lanjut Dipokusumo.
Namun demikian, jelas Gusti Dipo, ada beberapa kegiatan resmi yang menggunakan Sasono Mulyo. Di antaranya acara pernikahan putra-putri atau keluarga keraton, kemudian jika ada keluarga keraton yang meninggal dan untuk kegiatan menyambut bulan Suro.
"Menawi Suro, ingkang sampun kelampahan meniko kangge ringgit wacucal kangge penutupan tahun. Kadang nggih kagem sarasehan utawi pertemuan-pertemuan sanesipun nate. (Kalau bulan Suro, yang sudah pernah dipakai untuk pentas wayang kulit, untuk penutupan tahun. Kadang juga untuk sarasehan dan pertemuan lainnya)," terangnya. [cob]
Saturday, August 11, 2018
Setelah Dilantik Presiden, Tugas LVRI Semakin Berat
Tepat di Hari Veteran Nasional, Jumat, 10 Agustus 2018,KOMPASIANA, Presiden RI Joko Widodo melantik 27 orang Veteran RI hasil dari Kongres XI Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) di Istana Negara. Hadir pula Wakil Presiden RI Jusuf Kalla.
Ketika Kongres LVRI XI pada Senin-Kamis, 17 hingga 19 Oktober 2017 terpilih kembali Letnan Jenderal (Letjen) TNI Purnawirawan Rais Abin sebagai Ketua Umum LVRI untuk ketiga kalinya periode 2017-2022. Pertama, ia terpilih sebagai Ketua Umum LVRI periode 2007-2012. Kedua, ia terpilih lagi untuk periode 2012-2017.
Pelantikan oleh Presiden RI ini, merupakan hadiah hari lahirnya ke 92 yang jatuh pada 15 Agustus 2018. Menurut saya, ini merupakan kebahagiaan sendiri buat beliau.
Rais Abin lahir di Koto Gadang, Bukittinggi, Sumatera Barat. Ia pernah menjadi Panglima Pasukan Perdamaian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Timur Tengah 1976-1979.
Ia berhasil mendekatkan Mesir-Israel untuk berdamai, sehingga kemudian terciptalah perdamaian di Camp David. Pernah pula dusulkan Menteri Dalam Negeri, Supardjo Rustam kepada Presiden Soeharto menjadi Gubernur Sumatera Barat, tetapi presiden menganggap tenaga dan pikirannya lebih bermanfaat di bidang lain. Terutama di LVRI.
Tugas utama LVRI ke depan, bagaimana mewarisi nilai-nilai perjuangan untuk generasi selanjutnya setelah generasi 1945 semakin sedikit, karena usia mereka rata-rata seperti Rais Abin ini yang lahir pada tahun 1926.
Benar yang dikatakan seorang pujangga bahwa, "Kami bukan pembangun candi, kami hanya pengangkut batu, dari angkatan yang segera punah, dengan harapan di atas pusara kami akan lahir generasi yang lebih sempurna."
Rintihan seorang veteran tua yang disampaikan seorang pujangga Belanda itu, merupakan kata-kata bijak di saat akan berlangsungnya peralihan generasi di tubuh LVRI pejuang. Kata-kata itu penuh makna. Sebuah hasil karya yang diberikan angkatan sebelumnya akan dilanjutkan oleh generasi lebih muda.
Generasi terdahulu tidak pula harus menepuk dada dengan hasil yang dicapainya. Ia hanya pembangun sebuah bangunan candi yang menjadi sebuah simbol pijakan yang sempurna. Ia hanyalah seorang pengangkut batu dari sebuah angkatan yang segera punah dan berharap nilai-nilai perjuangan 1945 akan dilanjutkan oleh generasi yang lebih sempurna.
Sunday, April 15, 2018
Trik Perwira Kopassus Hindari Suguhan Air Minum Bekas Kuda
Ultah Kopassus Ke-66
Jakarta - Detik.com
"Apa yang digambarkan dalam film Blood Diamond memang sungguh terjadi di Kongo." Pernyataan itu meluncur dari mulut Letnan Kolonel Farid Makruf dalam buku Kopassus untuk Indonesia karya Iwan Santosa dan EA Natanegara yang dicuplik Detik.com, Senin (16/4/2018).
Film yang dibintangi Leonardo DiCaprio dan Djimon Hounsou pada 2007 itu berlatar konflik di Sierra Leone. Konflik itu menyeret mantan Presiden Liberia Charles Taylor ke Mahkamah Internasional di Den Hag, Belanda. Negara yang sebelumnya bernama Zaire ini terus dilanda konflik sejak lepas dari penjajahan Belgia pada 1960. Konflik kian rumit karena melibatkan sekitar 25 kelompok pemberontak.
Saat berpangkat Kapten, Farid bertugas sebagai Military Observer (MIlobs) PBB di Freetown dan Fort Loko pada 2002-2003 di Sierra Leone. Situasi yang dialami warga, jata Farid, sangat memprihatinkan. "Banyak mantan tentara anak yang tak dapat direhabilitasi. Mereka menjadi sangat liar dan agresif sehingga tidak bisa kembali ke masyarakat," ujarnya mengenang.
Di Sierra Leone, dia melanjutkan, banyak ditemui orang-orang muda bertangan dan berkaki buntung akibat praktik mutilasi massal semasa perang bersaudara. Belum lagi ratusan bekas tentara anak yang menyimpan trauma kekerasan dan menolak kembali berhubungan dengan orang tua mereka.
Bukan tugas mudah untuk menjaga perdamaian dunia tanpa boleh menggunakan kemampuan tempur saat menghadapi ancaman dan serangan terhadap nyawa. Tapi para prajurit TNI dari Kopassus dan kesatuan lain umumnya mampu mengambil hati masyarakat setempat, selain tetap memegang teguh prinsip kenetralan sebagai pasukan perdamaian.
Saat bertugas di Sudan, yang dilanda perang saudara berkepanjangan, pada 2006, Mayor Umar punya kisah menarik. Menurut kesaksian perwira Kopassus itu, salah satu persoalan kekerasan yang menonjol di sana adalah pemerkosaan dan pembunuhan.
Akibatnya, sekedar butuh kayu bakar untuk memasak pun tak ada yang berani mencarinya ke pinggiran hutan. Kaum lelaki memilih tinggal di rumah karena kalau tertangkap bisa dibunuh milisi Janjaweed. "Sementara kalau perempuan yang pergi, mereka pasti diperkosa," tutur Umar.
Sebagai tentara dari negeri muslim terbesar di dunia, ia merasa beruntung karena Sudan pun sebagian penduduknya beragama Islam. Mereka jadi tak terlalu sulit untuk didekati. Bahkan untuk menunjukkan penghormatan terhadap tamunya yang muslim, ada warga yang menyuguhi Umar air minum. Air di negeri yang kerontang itu menjadi aset paling berharga.
"Sayangnya air minum berwarna kecokelatan dan diambil dari tempat dimana kuda mereka juga minum," tuturnya.
Karena tak ingin mengecewakan tuan rumah, sambil menahan nafas ia pun terpaksa meminumnya. Tapi di kali berikutnya, dia punya trik agar terhindar dari penghormatan yang amat berisiko menimbulkan sakit perut tersebut. "Saya selalu mengaku sedang puasa kalau sedang melakukan kunjungan."
Lain lagi dengan Mayor Yudha Airlangga yang tergabung dalam batalyon mekanis Kontingen Garuda XXII-A di selatan Libanon-Israel. Suatu hari seorang anak Libanon melemparkan batu ke arah pasukan Israel yang tengah berpatroli, dan ada yang merusak pagar perbatasan. Si anak pun langsung ditangkap.
Tapi pasukan asal Indonesia tak tinggal diam. Seraya membujuk tentara Israel agar bersedia melepas anak-anak berusia 15 tahun itu, orang tua dan kepala desanya dipanggil untuk dinasehati agar menjaga anak-anak mereka tidak mengulangi perbuatan.
Hal lain yang nyaris tak pernah dilakukan pasukan dari negara lain, para prajurit Indonesia, kata Yudha, selalu berusaha tersenyum dan memberi salam setiap kali berpapasan dengan penduduk setempat. "Tapi kita tidak melupakan segi keamanan. Jangan sampai kebablasan terlalu dekat dengan warga tertentu karena bisa dianggap tak netral," ujarnya.
Toleransi dan kemampuan diplomasi para prajurit Indonesia itu pernah dimanfaatkan untuk menyelamatkan 60 anggota pasukan asal Spanyol yang disandera Hizbullah. Mayor Achmad Fauzi ditugasi untuk bernegosiasi dengan Hizbullah agar berkenan membiarkan
pasukan Spanyol kembali ke markas.
"Kami orang Libanon sebenarnya tidak menghargai dan menghormati UNIFIL karena mereka tidak berpihak secara adil. Tapi kami melakukan ini karena sangat menghormati Anda orang Indonesia," tutur Fauzi menirukan pernyataan para tokoh Hizbullah.
(jat/jat)
Saturday, March 24, 2018
Berita Duka Cita
INNA LILLAHI WA INNA ILAIHI ROJIUN ...!
Telah berpulang ke hadirat Allah SWT Sabtu (24/3) Bapak Letjen TNI (Purn) Purbo S. Suwondo (91 Tahun) di Rumah Sakit Harapan Kita pukul 09.00 pagi tadi. Jenazah disemayamkan di rumah duka Jl. Kencana Permai IIII/12 Pondok Indah Jakarta. Rencana pemakaman di Taman Makam Pahlawan Nasional Utama Kalibata, Minggu (25/3) pukul 09.30. Bertindak selaku Inspektur Upacara rencananya Kasum Mabes TNI atau dari Kostrad tergantung perkembangan situasi. Jenazah akan diberangkatkan dari rumah duka pukul 09.00.
Almarhum Letjen TNI (Purn) Purbo S. Suwondo adalah Ketua Umum LVRI periode 2002 - 2007 hasil Kongres VIII. Setelah masa bakti berakhir kepemimpinan DPP LVRI kemudian dilanjutkan oleh Letjen TNI (Purn) Rais Abin hasil pemilihan Kongres IX hingga sekarang.
Almarhum adalah seorang Veteran Pejuang Kemerdekaan Republik Indonesia (NPV 21.137.761/A), Lahir yang di Purwokerto 27 September 1927 itu, diantaranya pernah menjabat Danpusenarmed, Danjen AKABRI, Dubes RI untuk PBB.dan Komisaris Utama Bank BNI 1946.
Untuk mengenal sosok almarhum Letjen TNI (Purn) Purbo S. Suwondo , ditampilkan empat episode wawancara bersama Peter F. Gontha.dalam wawancara itu juga terdapat almarhum Mayjen TNI (Purn) Sukotjo Tjokroatmodjo - sebanyak 4 produksi wawancara.
Silakan klik videonya di bawah ini:.
Video Part 1: https://bit.ly/2G3TndK
Video Part 2: https://bit.ly/2I0NOt8
Video Part 3: https://bit.ly/2pBqdYw
Video Part 4: https://bit.ly/2G5jD3w
BIODATA LENGKAP ALM. LETJEN TNI (PURN) PURBO S. SUWONDO:
Silakan klik di sini, https://bit.ly/2HZke7o
Saturday, January 27, 2018
Belanda Desak RI Selidiki Kuburan Massal Perang Dunia II di Jawa
Danu Damarjati - detikNews
Amsterdam - Menteri Pertahanan Belanda Ank Bijleveld mendesak Republik Indonesia (RI) untuk menyelidiki kasus jasad para tentara Belanda yang dibuang di kuburan massal di Jawa. Jasad itu ditemukan di bangkai kapal perang Belanda era Perang Dunia II.
Dilansir AFP, Kamis (25/1/2018), desakan itu disampaikan pada Kamis waktu setempat. Awalnya, pihak Belanda mengetahui soal ini dari laporan yang muncul bulan ini, tentang jasad-jasad manusia yang ditemukan dari tiga bangkai kapal Belanda. Bangkai kapal itu karam saat pertempuran di Laut Jawa pada 1942.
Menurut laporan situs Tirto yang dikutip AFP, jasad-jasad itu dikuburkan di tempat pemakaman tanpa tanda di Jawa bagian timur. Lebih dari 900 pelaut Belanda dan 250 pelaut Indo-Belanda tewas saat Pertempuran Laut Jawa itu. Angkatan laut pihak Sekutu juga menderita kekalahan parah, mereka dikalahkan oleh Angkatan Laut Kerajaan Jepang.
Baca juga: 3 Bangkai Kapal Perangnya Hilang di Laut Jawa, Belanda Minta Ada Investigasi
Bangkai-bangkai kapal itu juga hilang secara misterius. Diduga, bangkai-bangkai kapal itu diangkut dan dipotong-potong besi berharganya.
"Kabar yang tak terkonfirmasi dari laporan belakangan ini, dalam hal ini soal jasad-jasad manusia... akan diinvestigasi lebih lanjut secara lokal," kata Menteri Pertahanan Belanda Ank Bijleveld.
"Investigasi diperlukan untuk memastikan apakah ada hubungan antara tiga kapal perang Belanda itu," kata Bijleveld dalam sebuah surat kepada parlemen Belanda yang dirilis pada Kamis waktu setempat.
"Pihak Indonesia mengkonfirmasi bahwa mereka sedang melihat lebih dalam terhadap laporan-laporan itu dan membuka kemungkinan tentang informasi terbaru... dan memberi kabar kepada kita bila demikian adanya," kata Bijleveld. "Ini terlalu dini untuk berspekulasi tentang hasil investigasi," kata Bijleveld.
Kepala Dinas Penerangan Angkatan Laut (Kadispenal) Laksamana Pertama TNI Gig Jonias Mozes Sipasulta menolak berkomentar kepada AFP. "Tak ada keterangan dari saya soal hal ini," kata Gig Jonias.
Pekan lalu, Bijleveld mengatakan pemeriksaan awal yang dilakukan ahli Belanda dan Indonesia tentang hilangnya kapal-kapal perang itu belum memunculkan jawaban pasti. Namun beberapa anggota parlemen Belanda yang marah menilai bahwa respons Bijleveld itu memunculkan kesan "pihak yang bersalah tak akan ditemukan". Demikian dikabarkan tabloid De Telegraaf.
Baca juga: Pemerintah Pastikan Usut Hilangnya Bangkai Kapal Belanda di Laut Jawa
Indonesia pada mulanya menolak dipersalahkan soal kapal-kapal yang hilang itu. Mereka mengatakan tak pernah dimintai tolong untuk melindungi kapal-kapal itu, maka tak ada tanggung jawab yang diemban. Namun belakangan Indonesia setuju untuk bekerjasama dengan Belanda.
Penyelam amatir menemukan kapal-kapal Belanda yang telah lama hilang pada 2002, alias 60 tahun setelah kapal-kapal itu tenggelam di bentrokan besar angkatan laut masa silam.
Namun ekspedisi internasional yang berlayar ke situs itu terkejut karena kapal-kapal itu hilang. Para ahli mengatakan ada operasi pengangkutan bangkai-bangkai itu di seluruh Indonesia. Operasi itu bervariasi dari operasi komersial yang besar menggunakan derek ke operasi kecil-kecilan menggunakan kapal kecil.
(dnu/dnu)
Wednesday, January 03, 2018
72 Tahun Lalu, Perintah Rahasia Bung Karno dan Cikal Bakal Paspampres
SABRINA ASRIL.Kompas.comJAKARTA, KOMPAS.com — Pada tanggal 3 Januari 1946, sebuah peristiwa bersejarah tercipta. Saat itu, sekelompok pemuda yang selama ini secara sukarela mengawal dan melindungi Presiden Soekarno menjadi saksi sekaligus pelaku sebuah operasi penyelamatan berlangsung.
Mantan pengawal Bung Karno, Mayjen TNI (Purn) Sukotjo Tjokroatmodjo dalam buku 70 Tahun Paspampres mengisahkan, pada akhir tahun 1945 kondisi di Jakarta kian tak kondusif. Kelompok pro-kemerdekaan dan kelompok pro-Belanda saling serang.
Ketua Komisi Nasional Jakarta Mohammad Roem mendapat serangan fisik. Perdana Menteri Sjahrir dan Menteri Penerangan Amir Sjarifuddin juga nyaris dibunuh simpatisan Belanda.
"Karena itu, pada tanggal 1 Januari 1946, Presiden Soekarno memberikan perintah rahasia kepada Balai Yasa Manggarai untuk segera menyiapkan rangkaian kereta api demi menyelamatkan para petinggi negara," ungkap Sukotjo.
Baca juga: VIDEO: Begini Kerja Paspampres Menjaga Kaesang saat Diserbu Masyarakat Nabire
Pada tanggal 3 Januari 1946, Bung Karno memutuskan untuk memindahkan ibu kota dari Jakarta ke Yogyakarta. Sejumlah pejabat negara mulai dari Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Hatta beserta beberapa menteri/staf dan keluarganya harus segera bertolak ke Yogya. Rombongan meninggalkan Perdana Menteri Sutan Sjahrir dan kelompok yang bernegosiasi dengan Belanda di Jakarta.
Perpindahan dilakukan dengan menggunakan kereta api berjadwal khusus sehingga disebut dengan Kereta Luar Biasa (KLB).
Perjalanan KLB ini mengunakan lokomotif uap nomor C2849 bertipe C28 buatan pabrik Henschel, Jerman, dengan rangkaian kereta inspeksi yang disediakan Djawatan Keretea Api (DKA).
Rangkaian kereta api ini terdiri dari delapan kereta mencakup satu kereta bagasi, dua kereta penumpang kelas 1 dan 2, satu kereta makan, satu kereta tidur kelas 1, satu kereta tidur kelas 2, satu kereta inspeksi untuk Presiden, dan satu kereta inspeksi untuk Wakil Presiden.
Baca juga: Lenggak-lenggok Paspampres Bergaya Layaknya Ade Rai...
Sukotjo mengisahkan, saat itu perjalanan dimulai pada sore hari dengan KLB berangkat dari Stasiun Manggarai menuju Halte Pegangsaan dan kereta api berhenti tepat di belakang rumah Bung Karno di Jalan Pegangsaan Timur 56.
Setelah 15 menit keberangkatan, KLB kembali ke Stasiun Manggarai dan memasuki jalur 6. Kereta api kemudian melanjutkan perjalanan ke Jatinegara dengan kecepatan 25 km per jam.
KLB berhenti di Stasiun Jatinegara menunggu sinyal aman dari Stasiun Klender.
"Menjelang pukul 19.00, KLB melanjutkan perjalanan tanpa lampu dan bergerak lambat agar tidak menarik perhatian para pencegat kereta api yang marak di wilayah itu," tutur Sukotjo.
Tak hanya di dalam kereta, pengamanan juga dilakukan di jalur jalan raya yang bersinggungan dengan jalur kereta. Sebuah gerbong kosong diletakkan sebagai barikade.
Baca juga: Minta Bertemu Jokowi, Seorang Pria Ancam Tusuk Paspampres di Istana Negara
Selepas Stasiun Klender, lampu KLB dinyalakan dan kereta api langsung melaju cepat dengan kecepatan 90 km per jam. Sepanjang perjalanan, KLB hanya berhenti dua kali yakni di Stasiun Cikampek pada pukul 20.00 dan Stasiun Purwokerto pukul 01.00.
Kereta tiba di Yogyakarta pada tanggal 4 Januari 1946 pukul 07.00.
Keberhasilan operasi senyap ini pun dijadikan dasar hari lahirnya Paspampres pada 3 Januari.
Subscribe to:
Posts (Atom)