Tuesday, April 21, 2015
Inilah Lima Tokoh Penggagas KAA 1955
TEMPO.CO, Jakarta - Ide membuat Konferensi Asia-Afrika datang ketika Ali Sastroamidjojo menerima surat dari Perdana Menteri Sri Lanka John Kotelawala pada awal 1954. Kotelawala mengajak Perdana Menteri Ali, PM India Jawaharlal Nehru, PM Birma (kini Myanmar) U Nu, dan PM Pakistan Muhammad Ali bertemu untuk menurunkan ketegangan di Indocina (sekarang Vietnam).
Ali Sastroamidjojo menyebut lima perdana menteri ini sebagai "Panca Lima", yang nantinya menjadi penggagas Konferensi Asia-Afrika 1955. Namun jalan ke sana tidaklah mudah.
Waktu itu dunia tegang. Amerika Serikat berkonflik dengan Uni Soviet, yang populer disebut dengan "Perang Dingin". Semua negara terpecah antara mendukung Amerika atau Soviet, yang dikenal sebagai Blok Barat dan Timur.
Kotelawala mengusulkan lima perdana menteri itu bertemu di Kolombo, Sri Lanka. Ali Sastroamidjojo menyanggupi datang dengan tujuan menggagas kemungkinan pertemuan para kepala negara yang lebih besar.
Ali dan rombongan berangkat ke Kolombo pada 26 April 1954. Presiden Sukarno berpesan secara khusus kepada Ali agar memperjuangkan ide membuat konferensi yang lebih besar daripada pertemuan Kolombo. Sukarno punya rencana lebih besar, menyingkirkan setiap bentuk penjajahan. "Kalau mereka tak mau, biar kita sendiri yang menyelenggarakannya," kata Sukarno, seperti dikutip Sekretaris Jenderal Departemen Luar Negeri Roeslan Abdulgani dalam bukunya, The Bandung Connection.
Di Kolombo, meski empat perdana menteri lain berfokus pada penyelesaian konflik Cina dan Amerika Serikat yang berebut Vietnam, Ali menekankan pentingnya sebuah pertemuan besar semua negara Asia-Afrika jika ingin konflik itu berakhir. "Sebab, saya yakin bahwa soal-soal dunia tidak dihadapi oleh bangsa-bangsa Asia saja, melainkan bangsa-bangsa Afrika juga," kata Ali dalam bukunya, Tonggak-tonggak di Perjalananku.
Menurut Ali, ide itu disetujui para perdana menteri. Namun mereka menganggap ide itu sulit terealisasi. Alasannya, peserta yang banyak dengan beragam kepentingan akan sulit menentukan topik konferensi. Akan susah pula memilih peserta yang diundang karena sebagian negara Asia-Afrika terbelah akibat Perang Dingin.
Ali pantang mundur. Ia meyakinkan mereka bahwa pemerintah Indonesia sanggup mengerjakannya. "Atas saran Nehru, konferensi menyetujui untuk memberikan dukungan moril sepenuhnya kepada Indonesia," ujar Ali.
Seusai sidang Kolombo, Ali gencar melobi negara-negara Asia-Afrika sembari terus meyakinkan Nehru dan U Nu. Nehru bulat mendukung Ali dan bahkan mengatakan konferensi itu perlu dipercepat.
Di Jakarta Ali bergerak cepat. Ia mengirim undangan kepada para perdana menteri tadi untuk berkunjung ke Jakarta menyiapkan konferensi itu. Panca Lima bertemu di Bogor pada 28-29 September 1954.
Sidang Panca Lima menyepakati pemerintah Indonesia sebagai pengundang KAA dan panitia penyelenggara. Mereka membentuk pula sekretariat bersama beranggotakan duta besar keempat negara di Indonesia dengan ketua Roeslan Abdulgani.
Para peserta menyerahkan waktu pertemuan kepada pemerintah Indonesia. Setelah lobi kanan-kiri, Ali mendapat kepastian ada 25 kepala negara yang bersedia hadir. "Lalu saya memutuskan Bandung sebagai tempat konferensi," katanya.
Nama resmi pertemuan itu adalah Konferensi Tingkat Tinggi Asia-Afrika. Para peserta, dalam percakapan di rapat-rapat cukup menyebutnya "Konferensi Bandung".
Konferensi itu digelar di Gedung Merdeka. Jumlah resmi peserta pertemuan itu 29 negara. Kelak, pada 1961, konferensi ini mengilhami Gerakan Non-Blok karena ketegangan Blok Barat dan Timur tak juga mereda.
TIM TEMPO
Monday, April 13, 2015
Cerita Abah Landoeng Sewaktu Mengumpulkan Mobil untuk Delegasi KAA 1955
60 Tahun KAA Oleh : Baban Gandapurnama - detikNews
Jakarta - Landoeng masih mengingat rinci memori tak terlupakan saat sibuk mencari dan mengumpulkan 14 mobil untuk para delegasi peserta Konferensi Asia Afrika (KAA) di Kota Bandung pada 1955. Abah Landoeng, sapaan akrabnya, salah satu relawan yang menjadi saksi sejarah di balik kegiatan internasional tersebut.
Lelaki berusia 83 tahun ini merasa bangga turut andil menyukseskan perhelatan KAA yang berlangsung 60 tahun silam. Waktu itu Landoeng memasuki umur 28 tahun. Selepas bekerja menjadi guru dan membuka les mata pelajaran, Landoeng meraih sepeda kayuh kesayangannya.
"Setelah Magrib, saya pakai sepeda ontel ke beberapa tempat di Kota Bandung untuk cari mobil," kata Landoeng sewaktu berbincang bersama detikcom, di Museum KAA, Jalan Braga, Kota Bandung, Jumat (10/4/2015) pekan lalu.
Sepanjang perjalanan, dia bermandikan keringat. Landoeng tak patah semangat. Segala penjuru Bandung telah Landoeng lewati guna menemui kolega yang punya mobil.
"Selama dua minggu saya bisa kumpulkan 14 mobil antara lain merek Mercy, Dodge dan Impala. Waktu itu waktunya sudah mepet," ujarnya.
Dia mendapatkan ragam dari beberapa relasinya antara lain Muhammad Safak, Udin, Endang, dan Tubagus Drajat Marta. Satu orang itu ada yang meminjamkan dua hingga tiga mobil.
"Pemilik mobil tahunya kan saya guru. Saya sampaikan kalau mobil dipinjam untuk para delegasi. Karena kepercayaan mereka kepada saya, mobil-mobil itu bisa dibawa tanpa perlu disewa," ucap Landoeng.
Sebanyak 14 mobil itu lalu dikumpulkan bersama ratusan mobil yang disiapkan bagi para delegasi KAA.
"Sopir-sopirnya ialah polisi berpangkat perwira. Sebagian delegasi dan pimpinan negata diantar untuk rapat ke Gedung Dwiwarna di Jalan Diponegoro. Setelah itu kembali ke Hotel Homann. Saat hari terakhir, mobil digunakan untuk mengantar delegasi ke Bandara Husein Sastranegara," tuturnya.
Thursday, April 02, 2015
Kowani Kumpulkan Cap Telapak Tangan Para Pejuang
JAKARTA (Pos Kota)- Untuk mengingatkan perjuangan para pahlawan kepada generasi muda, Kongres Wanita Indonesia (Kowani) menginisiasi cap telapak tangan kanan dari para generasi penerus (keturunan) dari keluarga pahlawan nasional. Tahapan mengumpulkan cap telapak tangan kanan tersebut dikatakan Ketua Umum Kowani Dr Ir Giwo Rubianto Wiyogo kini sudah memasuki tahapan ke-3 dan berhasil mengumpulkan hampir 200 cap telapak tangan kanan.
“Targetnya kita bisa mengumpulkan 1.000 cap telapak tangan dari keturunan pahlawan nasional,” papar Giwo disela seminar nasional pengusulan alm Prof KH Anwar Musaddad sebagai pahlawan nasional, Kamis (2/4).
Dari sekian banyak cap telapak tangan, yang sudah membubuhkan antara lain Mantan Menteri Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta yang menjadi generasi penerus dari keluarga Pahlawan Nasional Mohammad Hatta dan Mantan Menteri PP dan PA Linda Amaliasari.
Sedang keturunan dari Presiden Soekarno, Presiden Soeharto dan keluarga Ibu Fatmawati hingga kini belum berpartisipasi dalam aksi tersebut.
Giwo mengaku sudah mengirimkan surat permohonan kepada keluarga para pahlawan nasional, keluarga mantan presiden maupun wakil presiden untuk ikut berpartisipasi dalam aksi tersebut. Mengingat membubuhkan cap telapak tangan bukan sekedar seremoni atau catatan sejarah. Ini adalah bagian dari upaya membangkitkan nilai-nilai patriotisme, nasionalisme dan kepahlawanan ditengah era globalisasi.
“Kita sadar bahwa nilai kepahlawanan semakin jauh dari generasi muda. Karena itu harus kita pupuk terus,” katanya.
Disatu sisi mereka yang menjadi sosok pahlawan bangsa terus berguguran. Termasuk generasi keturunannya. Hasil pengumpulan cap telapak tangan tersebut nantinya akan dipajang di Museum (gedung) Joang Menteng, Jakpus.
Terkait usulan alm KH Anwar Musaddad sebagai pahlawan nasional, Giwo menyatakan dukungannya. Sosok alm KH Anwar menurutnya adalah sosok teladan yang baik. Ia bukan saja berjasa bagi umat Islam tetapi juga masyarakat Indonesia secara keseluruhan.
“Tentu jika tim peneliti dan pengkaji gelar daerah (TP2GD) propinsi jabar menemukan fakta-fakta pendukungnya. Kita setuju,” pungkas Giwo. (inung/yo)
Subscribe to:
Posts (Atom)