Yogyakarta (ANTARA) - Pancasila harus dikembalikan kepada "fitrahnya" sebagai pandangan dan jalan hidup, kepribadian dan jiwa bangsa, dan dasar negara, kata pengamat sosial budaya dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Daud Aris Tanudirjo.
"Betapa pun sulitnya, berbagai upaya harus dilakukan untuk menyelamatkan bangsa ini agar tidak menjadi bangsa lain. Cara yang paling utama adalah dengan mengembalikan Pancasila kepada `fitrahnya`," katanya di Yogyakarta, Kamis.
Ia mengatakan, gejala peminggiran Pancasila yang terjadi dalam satu dasa warsa terakhir memberikan tekanan yang sangat kuat terhadap eksistensi dasar negara itu di tengah kehidupan bangsa Indonesia.
Berbagai keterpurukan yang terjadi di negeri ini, menurut dia, membuktikan bangsa Indonesia sedang kehilangan pegangan dan terombang-ambing dalam arus gelombang budaya dunia.
"Dampak peminggiran tersebut sangat terasa, bangsa Indonesia kini menjadi bangsa yang cenderung materialistis, konsumtif, tidak kreatif, dan berkiblat pada budaya lain," katanya.
Menurut dia, setelah mengalami masa-masa suram, refleksi nasional tentang Pancasila perlu dilakukan untuk merumuskannya kembali sebagai kepribadian bangsa.
"Pancasila sebagai kepribadian bangsa adalah sumber rasa dan harga diri bangsa Indonesia, sekaligus merupakan sumber vitalitas dan kreativitas bangsa," katanya.
Ia mengatakan, kepribadian bangsa tidak hanya dibentuk dari fakta-fakta sejarah masa lampau dan masa kini, tetapi juga harus menjadi visi ke depan.
Pancasila, menurut dia, secara konseptual merupakan salah satu karya budaya yang dihasilkan oleh para pendiri negara Indonesia saat menjelang kemerdekaan.
"Namun, secara substansial sesungguhnya Pancasila telah ada dalam unsur-unsur kebudayaan komunitas dan suku-suku bangsa yang ada di nusantara," katanya.
Thursday, September 30, 2010
Tuesday, September 28, 2010
PELANTIKAN PANGLIMA TNI
Presiden SBY melantik Laksamana Agus Suhartono sebagai Panglima TNI yang baru menggantikan Jenderal Djoko Santoso yang telah habis masa baktinya, di Istana Merdeka, Selasa (28/9) sore. Pelantikan ini berdasarkan Keppres No.51 TNI 2010. Posisi Agus Suhartono sebagai Kepala Staf TNI Angkatan Laut (KSAL) digantikan Laksamana Madya Soeparno.
Sejak era reformasi, jabatan Panglima TNI digilir di antara ketiga angkatan, yakni Angkatan Darat (AD), Angkatan Laut (AL), dan Angkatan Udara (AU). Kali ini, Panglima TNI dari AL, menggantikan jenderal AD, dan sebelumnya dari AU.
Laksamana Agus Suhartono SE sendiri lahir di Blitar, Jawa Timur, pada 25 Agustus 1955. Sebelum menjadi Panglima TNI, lulusan Akademi Angkatan Laut (AAL) tahun 1978 ini adalah Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) sejak 9 September 2009. Suami Tetty Sugiarti dan ayah dua orang anak ini pernah menduduki berbagai jabatan di lingkungan TNI-AL, antara lain Komandan Gugus Tempur Laut Komando Armada Timur (Koarmatim), Komandan Kodikal, Asrena KSAL, Asisten Operasi KSAL, dan Panglima Komando Aramada RI Kawasan Barat (Koarmabar). Sebelum menjadi KSAL, Agus menjabat Irjen Departemen Pertahanan.
Sejak era reformasi, jabatan Panglima TNI digilir di antara ketiga angkatan, yakni Angkatan Darat (AD), Angkatan Laut (AL), dan Angkatan Udara (AU). Kali ini, Panglima TNI dari AL, menggantikan jenderal AD, dan sebelumnya dari AU.
Laksamana Agus Suhartono SE sendiri lahir di Blitar, Jawa Timur, pada 25 Agustus 1955. Sebelum menjadi Panglima TNI, lulusan Akademi Angkatan Laut (AAL) tahun 1978 ini adalah Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) sejak 9 September 2009. Suami Tetty Sugiarti dan ayah dua orang anak ini pernah menduduki berbagai jabatan di lingkungan TNI-AL, antara lain Komandan Gugus Tempur Laut Komando Armada Timur (Koarmatim), Komandan Kodikal, Asrena KSAL, Asisten Operasi KSAL, dan Panglima Komando Aramada RI Kawasan Barat (Koarmabar). Sebelum menjadi KSAL, Agus menjabat Irjen Departemen Pertahanan.
Saturday, September 25, 2010
Belanja Senjata ke Phuket
Jum'at, 24 September 2010, 22:49 WIB Nezar Patria
Transaksi perdagangan senjata di Selat Malaka. Koneksi mafia Thailand ke Aceh.
VIVAnews--Lelaki itu bertubuh gempal, dan bermata tajam. Kulitnya legam. Air mukanya keras, seakan merekam jejak konflik yang panjang. Dia berasal dari satu kecamatan di Aceh Timur. Di tubuhnya, pada bagian dada dan bahu, ada bekas luka tembak. “Masih ada sejumlah peluru berdiam di tubuh saya,” ujarnya kepada VIVAnews, di Bireuen, Aceh Utara, beberapa pekan lalu.
Dia adalah bekas prajurit Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Setelah perjanjian damai Helsinki diteken Agustus 2005, konflik bersenjata pemerintah dan GAM berakhir. Dia lalu bergabung dengan Komite Peralihan Aceh (KPA), wadah bekas kombatan seperti disyaratkan oleh perjanjian damai itu. Untuk keterangan berikut, lelaki itu minta namanya disamarkan, dan dipanggil sebagai Banta.
Pertemuan dengan Banta adalah penting untuk menguak kisah senjata di Tanah Rencong. Di tempat terpisah, masih di kawasan Bireuen, VIVAnews juga mewawancarai bekas kombatan GAM yang lain. Untuk informasi berikut ini, dua lelaki itu minta disebut dengan nama Salim, dan Agam.
Seperti ramai diberitakan di media, polisi menduga senjata dipakai para perampok Bank CIMB Medan pada Agustus lalu, antara lain berasal dari Aceh. Begitu juga senjata para penyerang Mapolsek Hamparan Perak, Deli Serdang. “Senjata itu bisa diperoleh dari daerah bekas konflik seperti Aceh,” ujar Kapolda Sumatera Utara, Inspektur Jenderal Polisi Oegroseno di Medan, pekan lalu.
Tak ada yang tahu berapa sebetulnya jumlah senjata api di Aceh pada masa konflik. Pada saat MoU Helsinki itu diteken, GAM sepakat menghancurkan 840 pucuk senjata. Makna penghancuran senjata itu adalah bahwa dia tak absah lagi digunakan sebagai alasan politik. Maka, meskipun diduga di Aceh masih banyak beredar senjata bekas konflik, penggunanya akan dianggap kriminal.
Lalu, dari mana senjata pada masa konflik di Aceh itu berasal?
Banta mengisahkan GAM dulu kesulitan mendapatkan senjata. Pada 1980an, sejumlah kombatan memakai senjata tua peninggalan pemberontakan Darul Islam. Awal gerakan itu berdiri pada 1976, mereka memang tak terlalu mengandalkan senjata. Soal ini, Gubernur Aceh Irwandi Yusuf punya cerita. “Pada awalnya Hasan Tiro mendirikan GAM, dia lebih banyak mengutamakan propaganda,” ujar Irwandi, beberapa pekan lalu.
Menurut Irwandi Yusuf, yang juga bekas juru bicara pengatur strategi gerakan pemberontakan bersenjata itu, kebutuhan senjata di Aceh meningkat sejak akhir 1999. Terutama, setelah banyak anak muda bergabung dengan gerakan itu. Senjata pun mulai dipasok sekitar 1999. “Itu tampak dari berbagai macam acara “peusijeuk” (tepung tawar) senjata di berbagai wilayah Aceh,” Irwandi menambahkan.
Baru pada tahun 2001, kata Irwandi, ketika saluran pembelian di luar negeri, dan dalam negeri sudah diperoleh, senjata mulai banyak beredar.
Mafia
Banta lalu berkisah tentang dua jalur itu. Dari dalam negeri, dia mengaku GAM di wilayahnya pernah membeli senjata dengan cara memesan dari Jakarta. “Barang itu dibeli dari anggota TNI,” ujarnya. Persisnya, kata dia, mereka tak langsung kontak dengan apa yang mereka sebut aparat TNI “nakal” itu. Tapi lewat jalur “mafia”, yang bisa mengakses jalur senjata ilegal. Tak ada penjelasan lebih lanjut tentang mafia ini. Salim dan Agam hanya menyebut grup itu bekerja “demi bisnis, dan bukan ideologis”.
Terbukanya akses pembelian senjata, baik dari dalam maupun luar negeri seperti dari Thailand, membuat harga senjata turun di Aceh. Sebelumnya, kata Banta, sepucuk AK-47 harganya Rp 30-40 juta. Setelah pasokan dari berbagai akses itu membanjiri “pasar” di Aceh, harga senjata dan peluru pun turun. Tapi semua terjadi pada masa 2000-2003, sebelum Darurat Militer diberlakukan di Aceh. “Sepucuk AK-47 harganya turun jadi antara Rp16-17 juta,” ujar Banta.
Harga peluru juga melorot. Tapi, peluru buatan Pindad tetap lebih mahal ketimbang yang diselundupkan dari Thailand. Peluru asal Thailand kerapkali stok lama eks perang Kamboja. Sedangkan Pindad lebih baru.
Kedua, peluru eks Pindad lebih sulit didapatkan. “Peluru Pindad, harganya Rp5.000 per butir untuk AK-47. Itu sebelum Darurat Militer,” ujar Banta, dan dibenarkan Salim serta Agam. Dari Thailand, mereka juga bisa membeli peluru eks Kamboja. Harganya Rp3.500 per butir.
Dari dalam negeri, ada pembelian yang diingat Salim dan Agam berupa 15.000 butir peluru AK 47, dihargai Rp12.000 per butir, dan 103 peluru GLM seharga Rp500.000 per butir. “Kami membeli 100 peluru GLM, dan 3 butir peluru GLM adalah bonus dari pembelian itu”, ujar Salim. Dia menegaskan pembelian dilakukan lewat jalur ‘mafia’.
Lalu bagaimana barang itu dibawa ke Aceh? Banta bercerita, peluru itu dibawa dengan mobil Colt, sedan, atau juga Kijang. Caranya, jok mobil dikupas. Kadangkala peluru disembunyikan di langit- langit mobil. Juga pada pintu, dan bagian lain. Pada bagian dikupas itu, lalu diselipkan kotak-kotak kecil peluru. Pekerjaan dilakukan rapi, nyaris tak berbekas. “Kita bisa menyelipkan peluru sampai 7.000 butir di badan mobil,” ujar Salim.
Setelah Darurat Militer berlaku, harga peluru eks Pindad melonjak menjadi Rp12.000 per butir.
Asal usul peluru ini juga menarik. Anggota GAM itu mengaku mendapatkan peluru dari para tempat latihan militer dan polisi. Caranya, ada pengumpul yang bekerja membeli sisa peluru latihan atau operasi. “Kalau prajurit batalyon punya ribuan peluru sisa, maka yang dikumpulkan akan banyak,” ujar Salim.
Tapi, pengakuan GAM itu diragukan Kepala Dinas Penerangan Umum TNI Kolonel TNI Prakoso. “Tak segampang itu. Semua peluru kan dicatat. Juga senjata yang ada di gudang, atau yang sedang digunakan operasi. Di jajaran TNI, pengawasan senjata itu ketat,” ujar Prakoso kepada VIVAnews di Mabes TNI Cilangkap, Kamis 23 September 2010.
Juru bicara Kementerian Pertahanan Brigjen TNI I Wayan Midhio mengatakan tak ada data soal kasus penjualan senjata atau peluru dari anggota TNI ke kombatan GAM pada masa konflik dulu itu. “Anggota TNI punya disiplin, dan tak akan menjual peluru atau senjata kepada GAM,” ujar Wayan, kepada VIVAnews Rabu 22 September 2010. Dia mengatakan tak gampang membawa senjata dari gudang TNI. “Semua tercatat dan diawasi ketat”.
Selain sumber ‘mafia’ senjata ilegal di Jakarta, para pemberontak dari ujung pulau Sumatera itu punya jalur lain yang lebih basah.
“The Phuket Connection”
Pembelian paling spektakuler adalah lewat Thailand. GAM, kata Banta, membentuk tim khusus untuk pembelian melintasi Selat Malaka ini. Menurut Banta, dalam soal senjata GAM tak berhubungan dengan PULO, atau jaringan pemberontak di Thailand Selatan. “Kami berurusan langsung dengan sumbernya,” ujarnya. Sumber dimaksud adalah para mafia senjata di negeri gajah itu.
Selama 2000-2003, penyelundupan senjata ke Aceh memang kencang (lihat Jalur Tikus Senjata Ilegal). Pada masa itu, ujar Banta, sulit dihitung berapa banyak senjata berhasil dimasukkan ke Aceh lewat pantai Timur. Yang jelas, kata Banta, GAM pernah memesan 5000 pucuk pada awal 2000. Tapi, pembelian itu tak selalu mulus. Persaingan antar mafia Thailand membuat pembelian tak selalu lancar.
Para pemimpin GAM di Aceh Timur, kata Banta, lalu membuka jalur khusus, dikenal “jalur Phuket”, merujuk salah satu propinsi di Thailand. Setelah “Phuket Connection” terbuka, maka pengiriman senjata berlangsung mulus. Sekali pengapalan, bisa masuk sekitar 100-200 pucuk senjata, tergantung besarnya perahu. “Kami memakai boat dengan mesin 40 PK,” ujar Banta.
Memang dari segi geografis, dari Aceh sangat mudah menembus Thailand lewat laut. Banta bercerita, dia naik perahu dari Kuala Idi, dan hanya dalam tempo 8 jam bisa tiba di Phuket, maupun Songkhla di Thailand Selatan. Di atas peta, dari perairan Aceh Timur, Phuket dan Songkhla sama jaraknya kalau ditarik dari Kuala Idi. Dari Kuala Idi jarak itu sekitar 200 mil, atau kurang lebih 300 kilometer menyeberangi Selat Malaka.
Informasi dari Banta itu dicek silang ke salah seorang bekas petinggi GAM di Banda Aceh, Zakaria Saman. Zakaria, 60 tahun, dikenal sebagai “menteri pertahanan” gerakan itu. Dia lama berdiam di Bangkok, dengan nama alias Karim Bangkok. Di Thailand, kata Zakaria, pada waktu itu memang ada jalur membeli senjata. “Asal ada uang, ada barang,” ujarnya. Tapi dia menolak menyebut detil pembelian. Zakaria pernah tinggal di Thailand hampir sepuluh tahun. Sejumlah sumber mengatakan dia punya akses luas jalur senjata di sana.
Cerita lebih lengkap diberikan oleh Banta. Menurut dia, senjata yang dijual di Phuket itu berasal dari produksi berbagai negara. Ada AK-56 eks China, lalu ada juga AK-47 eks Kamboja, dan sejumlah jenis AK produksi Korea Utara. “Yang eks-Kamboja lebih murah,” ujarnya. Harga di sana sekitar Rp8 juta per pucuk untuk AK-47 yang baru.
Hubungan dengan mafia Phuket, dan juga Songkhla, berjalan kerap. Banta tak bercerita banyak tentang Songkhla. Tapi, menurut dia, di Phuket, para mafia itu menjual senjata dengan cara unik. Misalnya, mereka sempat melawat ke sebuah kedai. Dari luar, kedai itu menjual barang dagangan biasa. Kadangkala menyaru kedai penjual ayam.
Di bagian dalam, setelah melewati beberapa pintu, baru disuguhkan senjata yang hendak dijual. Banta mengaku beberapa kali mendapat tugas membeli senjata ke Phuket. Dia bahkan sempat menunggu beberapa waktu, dan tinggal di ruko yang disiapkan GAM di Phuket. Sesekali Banta memamerkan kepada VIVAnews percakapan sehari-hari dalam bahasa Thai.
Banta dan kelompoknya mengaku berhasil membangun jaringan pembelian di Phuket. Mereka disambut baik, dan dijamu oleh mafia di sana. Tetapi, ada kesulitan lain bagi orang-orang Aceh yang dikenal muslim itu. Di Phuket, makanan halal sulit dicari. Itu sebabnya mereka membuka semacam pos di satu ruko di Phuket. “Sejak ada ruko itu, problem makanan teratasi. Kami memasak sendiri, dan berkoordinasi di tempat itu,” ujar Banta. Mereka juga tidur di sana.
Ditukar trenggiling
Tak selalu berbelanja di Phuket memakai duit. Pernah satu kali, ketika GAM kesulitan uang, sementara kebutuhan senjata mendesak, mereka menangkap trenggiling (Manis javanica). Mamalia berkulit sisik keras itu ternyata sangat berharga bagi para mafia Thai. “Seekor trenggiling dihargai 5 pucuk senjata AK 47 eks Kamboja,” ujar Banta.
Karena itu, GAM pernah meminta warga Peureulak mencari trenggiling (Bahasa Aceh disebut “tayiling”). Setiap kampung diminta berburu hewan ini untuk diserahkan kepada Panglima Wilayah GAM setempat.
Tapi trenggiling adalah binatang langka, dan masuk hewan dilindungi. Populasinya makin menipis, dan sulit mencarinya. “Setelah menunggu beberapa hari, kami hanya mendapat 5 ekor trenggiling,” ujar Banta tertawa. Dia pun membawa trenggiling itu ke Phuket, ditukarkan dengan senjata. Tapi karena sulit mencarinya, mereka jarang bisa membawa “oleh-oleh” itu ke Phuket.
Tak begitu jelas mengapa trenggiling begitu disukai oleh mafia Thai. Menurut Banta, orang-orang Thai itu suka meminum darah segar trenggiling. Darah dan daging hewan itu dipercaya membawa khasiat tertentu bagi kesehatan. Bagi mereka, trenggiling adalah hidangan sangat mahal, serta punya makna ritual.
Sudah musnah
Berapa banyak senjata yang dibeli oleh GAM? Irwandi Yusuf mengatakan ada dua jalur pengadaan senjata di GAM. Pertama di tingkat “nasional”, lalu ada di wilayah. “Nasional” merujuk pada pusat komando GAM. Awalnya, pusat inilah membeli semua senjata. Tapi karena kerap terlambat, maka wilayah juga melakukan pembelian sendiri. “Kalau yang beli pusat, tak sulit dikontrol. Kita tahu jumlahnya”, ujar dia.
Yang sulit, kata Irwandi, adalah pembelian jalur pribadi. Kadangkala GAM melakukan pengecekan. “Pembelian yang tak pernah dilaporkan ke GAM akan disita,” ujarnya. Ada juga membeli dengan uang pribadi, tapi kemudian menyerahkan kepada pusat. Senjata yang dibeli di Thailand, kata Irwandi, umumnya adalah sisa konflik pada era Pol Pot di Kamboja. “Senjata itu ditanam, lalu mereka jual lagi, dan ditampung di Thailand”.
Setelah damai, soal senjata sisa konflik ini tentu menjadi soal. Meskipun secara resmi sudah dihancurkan, sejumlah warga masih ada yang menyimpannya. “Itu sebabnya saya minta mereka serahkan baik-baik. Jika himbauan ini tak didengar, maka polisi akan menangkap siapa pun yang menyimpannya,” ujar Irwandi.
Dia mengaku telah berkoordinasi dengan Polda Aceh dalam soal menyisir senjata ini. “Kami pernah mengumpulkan hampir 400 pucuk senjata, termasuk yang rakitan,” ujar Irwandi.
Sampai akhir Agustus 2010, kata Juru bicara Polda Aceh, Kombes Polisi Farid Ahmad, senjata yang diserahkan masyarakat satu tahun terakhir adalah 39 pucuk. Rata-rata senjata standar TNI atau Polri. Antara lain, 4 pucuk M 16, 5 AK-47, 19 pucuk AK-56, dan 2 pucuk SS1. Sementara laras pendek, ada 4 pucuk revolver, 5 pistol otomatis, dan 4 granat. Senjata api rakitan rakitan ada 271 pucuk. “Semua sudah kami musnahkan,” ujar Farid.
Tak jelas apakah ada sejumlah senjata bekas konflik itu jatuh ke tangan mereka yang berlatih terorisme di hutan Jalin, Jantho, Aceh Besar, Maret 2010 lalu, dan mengaku sebagai "Al Qaidah Aceh". Yang pasti, kata Irwandi Yusuf, bekas anggota GAM tak ada yang terlibat dalam gerakan teror itu. "Teroris tak bisa hidup di Aceh," ujarnya beberapa waktu lalu.
Laporan Muhammad Riza | Banda Aceh
• VIVAnews
Transaksi perdagangan senjata di Selat Malaka. Koneksi mafia Thailand ke Aceh.
VIVAnews--Lelaki itu bertubuh gempal, dan bermata tajam. Kulitnya legam. Air mukanya keras, seakan merekam jejak konflik yang panjang. Dia berasal dari satu kecamatan di Aceh Timur. Di tubuhnya, pada bagian dada dan bahu, ada bekas luka tembak. “Masih ada sejumlah peluru berdiam di tubuh saya,” ujarnya kepada VIVAnews, di Bireuen, Aceh Utara, beberapa pekan lalu.
Dia adalah bekas prajurit Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Setelah perjanjian damai Helsinki diteken Agustus 2005, konflik bersenjata pemerintah dan GAM berakhir. Dia lalu bergabung dengan Komite Peralihan Aceh (KPA), wadah bekas kombatan seperti disyaratkan oleh perjanjian damai itu. Untuk keterangan berikut, lelaki itu minta namanya disamarkan, dan dipanggil sebagai Banta.
Pertemuan dengan Banta adalah penting untuk menguak kisah senjata di Tanah Rencong. Di tempat terpisah, masih di kawasan Bireuen, VIVAnews juga mewawancarai bekas kombatan GAM yang lain. Untuk informasi berikut ini, dua lelaki itu minta disebut dengan nama Salim, dan Agam.
Seperti ramai diberitakan di media, polisi menduga senjata dipakai para perampok Bank CIMB Medan pada Agustus lalu, antara lain berasal dari Aceh. Begitu juga senjata para penyerang Mapolsek Hamparan Perak, Deli Serdang. “Senjata itu bisa diperoleh dari daerah bekas konflik seperti Aceh,” ujar Kapolda Sumatera Utara, Inspektur Jenderal Polisi Oegroseno di Medan, pekan lalu.
Tak ada yang tahu berapa sebetulnya jumlah senjata api di Aceh pada masa konflik. Pada saat MoU Helsinki itu diteken, GAM sepakat menghancurkan 840 pucuk senjata. Makna penghancuran senjata itu adalah bahwa dia tak absah lagi digunakan sebagai alasan politik. Maka, meskipun diduga di Aceh masih banyak beredar senjata bekas konflik, penggunanya akan dianggap kriminal.
Lalu, dari mana senjata pada masa konflik di Aceh itu berasal?
Banta mengisahkan GAM dulu kesulitan mendapatkan senjata. Pada 1980an, sejumlah kombatan memakai senjata tua peninggalan pemberontakan Darul Islam. Awal gerakan itu berdiri pada 1976, mereka memang tak terlalu mengandalkan senjata. Soal ini, Gubernur Aceh Irwandi Yusuf punya cerita. “Pada awalnya Hasan Tiro mendirikan GAM, dia lebih banyak mengutamakan propaganda,” ujar Irwandi, beberapa pekan lalu.
Menurut Irwandi Yusuf, yang juga bekas juru bicara pengatur strategi gerakan pemberontakan bersenjata itu, kebutuhan senjata di Aceh meningkat sejak akhir 1999. Terutama, setelah banyak anak muda bergabung dengan gerakan itu. Senjata pun mulai dipasok sekitar 1999. “Itu tampak dari berbagai macam acara “peusijeuk” (tepung tawar) senjata di berbagai wilayah Aceh,” Irwandi menambahkan.
Baru pada tahun 2001, kata Irwandi, ketika saluran pembelian di luar negeri, dan dalam negeri sudah diperoleh, senjata mulai banyak beredar.
Mafia
Banta lalu berkisah tentang dua jalur itu. Dari dalam negeri, dia mengaku GAM di wilayahnya pernah membeli senjata dengan cara memesan dari Jakarta. “Barang itu dibeli dari anggota TNI,” ujarnya. Persisnya, kata dia, mereka tak langsung kontak dengan apa yang mereka sebut aparat TNI “nakal” itu. Tapi lewat jalur “mafia”, yang bisa mengakses jalur senjata ilegal. Tak ada penjelasan lebih lanjut tentang mafia ini. Salim dan Agam hanya menyebut grup itu bekerja “demi bisnis, dan bukan ideologis”.
Terbukanya akses pembelian senjata, baik dari dalam maupun luar negeri seperti dari Thailand, membuat harga senjata turun di Aceh. Sebelumnya, kata Banta, sepucuk AK-47 harganya Rp 30-40 juta. Setelah pasokan dari berbagai akses itu membanjiri “pasar” di Aceh, harga senjata dan peluru pun turun. Tapi semua terjadi pada masa 2000-2003, sebelum Darurat Militer diberlakukan di Aceh. “Sepucuk AK-47 harganya turun jadi antara Rp16-17 juta,” ujar Banta.
Harga peluru juga melorot. Tapi, peluru buatan Pindad tetap lebih mahal ketimbang yang diselundupkan dari Thailand. Peluru asal Thailand kerapkali stok lama eks perang Kamboja. Sedangkan Pindad lebih baru.
Kedua, peluru eks Pindad lebih sulit didapatkan. “Peluru Pindad, harganya Rp5.000 per butir untuk AK-47. Itu sebelum Darurat Militer,” ujar Banta, dan dibenarkan Salim serta Agam. Dari Thailand, mereka juga bisa membeli peluru eks Kamboja. Harganya Rp3.500 per butir.
Dari dalam negeri, ada pembelian yang diingat Salim dan Agam berupa 15.000 butir peluru AK 47, dihargai Rp12.000 per butir, dan 103 peluru GLM seharga Rp500.000 per butir. “Kami membeli 100 peluru GLM, dan 3 butir peluru GLM adalah bonus dari pembelian itu”, ujar Salim. Dia menegaskan pembelian dilakukan lewat jalur ‘mafia’.
Lalu bagaimana barang itu dibawa ke Aceh? Banta bercerita, peluru itu dibawa dengan mobil Colt, sedan, atau juga Kijang. Caranya, jok mobil dikupas. Kadangkala peluru disembunyikan di langit- langit mobil. Juga pada pintu, dan bagian lain. Pada bagian dikupas itu, lalu diselipkan kotak-kotak kecil peluru. Pekerjaan dilakukan rapi, nyaris tak berbekas. “Kita bisa menyelipkan peluru sampai 7.000 butir di badan mobil,” ujar Salim.
Setelah Darurat Militer berlaku, harga peluru eks Pindad melonjak menjadi Rp12.000 per butir.
Asal usul peluru ini juga menarik. Anggota GAM itu mengaku mendapatkan peluru dari para tempat latihan militer dan polisi. Caranya, ada pengumpul yang bekerja membeli sisa peluru latihan atau operasi. “Kalau prajurit batalyon punya ribuan peluru sisa, maka yang dikumpulkan akan banyak,” ujar Salim.
Tapi, pengakuan GAM itu diragukan Kepala Dinas Penerangan Umum TNI Kolonel TNI Prakoso. “Tak segampang itu. Semua peluru kan dicatat. Juga senjata yang ada di gudang, atau yang sedang digunakan operasi. Di jajaran TNI, pengawasan senjata itu ketat,” ujar Prakoso kepada VIVAnews di Mabes TNI Cilangkap, Kamis 23 September 2010.
Juru bicara Kementerian Pertahanan Brigjen TNI I Wayan Midhio mengatakan tak ada data soal kasus penjualan senjata atau peluru dari anggota TNI ke kombatan GAM pada masa konflik dulu itu. “Anggota TNI punya disiplin, dan tak akan menjual peluru atau senjata kepada GAM,” ujar Wayan, kepada VIVAnews Rabu 22 September 2010. Dia mengatakan tak gampang membawa senjata dari gudang TNI. “Semua tercatat dan diawasi ketat”.
Selain sumber ‘mafia’ senjata ilegal di Jakarta, para pemberontak dari ujung pulau Sumatera itu punya jalur lain yang lebih basah.
“The Phuket Connection”
Pembelian paling spektakuler adalah lewat Thailand. GAM, kata Banta, membentuk tim khusus untuk pembelian melintasi Selat Malaka ini. Menurut Banta, dalam soal senjata GAM tak berhubungan dengan PULO, atau jaringan pemberontak di Thailand Selatan. “Kami berurusan langsung dengan sumbernya,” ujarnya. Sumber dimaksud adalah para mafia senjata di negeri gajah itu.
Selama 2000-2003, penyelundupan senjata ke Aceh memang kencang (lihat Jalur Tikus Senjata Ilegal). Pada masa itu, ujar Banta, sulit dihitung berapa banyak senjata berhasil dimasukkan ke Aceh lewat pantai Timur. Yang jelas, kata Banta, GAM pernah memesan 5000 pucuk pada awal 2000. Tapi, pembelian itu tak selalu mulus. Persaingan antar mafia Thailand membuat pembelian tak selalu lancar.
Para pemimpin GAM di Aceh Timur, kata Banta, lalu membuka jalur khusus, dikenal “jalur Phuket”, merujuk salah satu propinsi di Thailand. Setelah “Phuket Connection” terbuka, maka pengiriman senjata berlangsung mulus. Sekali pengapalan, bisa masuk sekitar 100-200 pucuk senjata, tergantung besarnya perahu. “Kami memakai boat dengan mesin 40 PK,” ujar Banta.
Memang dari segi geografis, dari Aceh sangat mudah menembus Thailand lewat laut. Banta bercerita, dia naik perahu dari Kuala Idi, dan hanya dalam tempo 8 jam bisa tiba di Phuket, maupun Songkhla di Thailand Selatan. Di atas peta, dari perairan Aceh Timur, Phuket dan Songkhla sama jaraknya kalau ditarik dari Kuala Idi. Dari Kuala Idi jarak itu sekitar 200 mil, atau kurang lebih 300 kilometer menyeberangi Selat Malaka.
Informasi dari Banta itu dicek silang ke salah seorang bekas petinggi GAM di Banda Aceh, Zakaria Saman. Zakaria, 60 tahun, dikenal sebagai “menteri pertahanan” gerakan itu. Dia lama berdiam di Bangkok, dengan nama alias Karim Bangkok. Di Thailand, kata Zakaria, pada waktu itu memang ada jalur membeli senjata. “Asal ada uang, ada barang,” ujarnya. Tapi dia menolak menyebut detil pembelian. Zakaria pernah tinggal di Thailand hampir sepuluh tahun. Sejumlah sumber mengatakan dia punya akses luas jalur senjata di sana.
Cerita lebih lengkap diberikan oleh Banta. Menurut dia, senjata yang dijual di Phuket itu berasal dari produksi berbagai negara. Ada AK-56 eks China, lalu ada juga AK-47 eks Kamboja, dan sejumlah jenis AK produksi Korea Utara. “Yang eks-Kamboja lebih murah,” ujarnya. Harga di sana sekitar Rp8 juta per pucuk untuk AK-47 yang baru.
Hubungan dengan mafia Phuket, dan juga Songkhla, berjalan kerap. Banta tak bercerita banyak tentang Songkhla. Tapi, menurut dia, di Phuket, para mafia itu menjual senjata dengan cara unik. Misalnya, mereka sempat melawat ke sebuah kedai. Dari luar, kedai itu menjual barang dagangan biasa. Kadangkala menyaru kedai penjual ayam.
Di bagian dalam, setelah melewati beberapa pintu, baru disuguhkan senjata yang hendak dijual. Banta mengaku beberapa kali mendapat tugas membeli senjata ke Phuket. Dia bahkan sempat menunggu beberapa waktu, dan tinggal di ruko yang disiapkan GAM di Phuket. Sesekali Banta memamerkan kepada VIVAnews percakapan sehari-hari dalam bahasa Thai.
Banta dan kelompoknya mengaku berhasil membangun jaringan pembelian di Phuket. Mereka disambut baik, dan dijamu oleh mafia di sana. Tetapi, ada kesulitan lain bagi orang-orang Aceh yang dikenal muslim itu. Di Phuket, makanan halal sulit dicari. Itu sebabnya mereka membuka semacam pos di satu ruko di Phuket. “Sejak ada ruko itu, problem makanan teratasi. Kami memasak sendiri, dan berkoordinasi di tempat itu,” ujar Banta. Mereka juga tidur di sana.
Ditukar trenggiling
Tak selalu berbelanja di Phuket memakai duit. Pernah satu kali, ketika GAM kesulitan uang, sementara kebutuhan senjata mendesak, mereka menangkap trenggiling (Manis javanica). Mamalia berkulit sisik keras itu ternyata sangat berharga bagi para mafia Thai. “Seekor trenggiling dihargai 5 pucuk senjata AK 47 eks Kamboja,” ujar Banta.
Karena itu, GAM pernah meminta warga Peureulak mencari trenggiling (Bahasa Aceh disebut “tayiling”). Setiap kampung diminta berburu hewan ini untuk diserahkan kepada Panglima Wilayah GAM setempat.
Tapi trenggiling adalah binatang langka, dan masuk hewan dilindungi. Populasinya makin menipis, dan sulit mencarinya. “Setelah menunggu beberapa hari, kami hanya mendapat 5 ekor trenggiling,” ujar Banta tertawa. Dia pun membawa trenggiling itu ke Phuket, ditukarkan dengan senjata. Tapi karena sulit mencarinya, mereka jarang bisa membawa “oleh-oleh” itu ke Phuket.
Tak begitu jelas mengapa trenggiling begitu disukai oleh mafia Thai. Menurut Banta, orang-orang Thai itu suka meminum darah segar trenggiling. Darah dan daging hewan itu dipercaya membawa khasiat tertentu bagi kesehatan. Bagi mereka, trenggiling adalah hidangan sangat mahal, serta punya makna ritual.
Sudah musnah
Berapa banyak senjata yang dibeli oleh GAM? Irwandi Yusuf mengatakan ada dua jalur pengadaan senjata di GAM. Pertama di tingkat “nasional”, lalu ada di wilayah. “Nasional” merujuk pada pusat komando GAM. Awalnya, pusat inilah membeli semua senjata. Tapi karena kerap terlambat, maka wilayah juga melakukan pembelian sendiri. “Kalau yang beli pusat, tak sulit dikontrol. Kita tahu jumlahnya”, ujar dia.
Yang sulit, kata Irwandi, adalah pembelian jalur pribadi. Kadangkala GAM melakukan pengecekan. “Pembelian yang tak pernah dilaporkan ke GAM akan disita,” ujarnya. Ada juga membeli dengan uang pribadi, tapi kemudian menyerahkan kepada pusat. Senjata yang dibeli di Thailand, kata Irwandi, umumnya adalah sisa konflik pada era Pol Pot di Kamboja. “Senjata itu ditanam, lalu mereka jual lagi, dan ditampung di Thailand”.
Setelah damai, soal senjata sisa konflik ini tentu menjadi soal. Meskipun secara resmi sudah dihancurkan, sejumlah warga masih ada yang menyimpannya. “Itu sebabnya saya minta mereka serahkan baik-baik. Jika himbauan ini tak didengar, maka polisi akan menangkap siapa pun yang menyimpannya,” ujar Irwandi.
Dia mengaku telah berkoordinasi dengan Polda Aceh dalam soal menyisir senjata ini. “Kami pernah mengumpulkan hampir 400 pucuk senjata, termasuk yang rakitan,” ujar Irwandi.
Sampai akhir Agustus 2010, kata Juru bicara Polda Aceh, Kombes Polisi Farid Ahmad, senjata yang diserahkan masyarakat satu tahun terakhir adalah 39 pucuk. Rata-rata senjata standar TNI atau Polri. Antara lain, 4 pucuk M 16, 5 AK-47, 19 pucuk AK-56, dan 2 pucuk SS1. Sementara laras pendek, ada 4 pucuk revolver, 5 pistol otomatis, dan 4 granat. Senjata api rakitan rakitan ada 271 pucuk. “Semua sudah kami musnahkan,” ujar Farid.
Tak jelas apakah ada sejumlah senjata bekas konflik itu jatuh ke tangan mereka yang berlatih terorisme di hutan Jalin, Jantho, Aceh Besar, Maret 2010 lalu, dan mengaku sebagai "Al Qaidah Aceh". Yang pasti, kata Irwandi Yusuf, bekas anggota GAM tak ada yang terlibat dalam gerakan teror itu. "Teroris tak bisa hidup di Aceh," ujarnya beberapa waktu lalu.
Laporan Muhammad Riza | Banda Aceh
• VIVAnews
Friday, September 24, 2010
Senjata Teroris dari Mabes Polri
24 Sep 2010
* Nasional
* Warta Kota
Latihan Nembak di Mako Brimob Kelapadua
Depok, Warta Kota
SENJATA api yang dimiliki para teroris Aceh ternyata diperoleh dari gudang senjata Mabes Polri dengan cara membeli seharga Rp 325 juta.
Hal itu terungkap dalam persidangan perkara teroris dengan terdakwa Muhammad Sofyan Tsauri alias Abu Ayas di Pengadilan Negeri Kota Depok. Kamis (23/9).
Dalam dakwaannnya, Jaksa penuntut umum (JPU) Totok Bambang mengungkapkan. Sofyan membeli senjata apl sebanyak 24 buah daii Ahmad Sutrisno anggota polisi berpangkat Bripka. Jenis senjata api yang dibeli adalah AR 15 sembilan pucuk. AK 47 (empat). AK 58 (dua), dan revolver (enam). Kemudian senjata Jenis SN. chal-langger. dan remington, masing-masing satu pucuk.
Tidak hanya senjata apl, Sofyan Juga membeli 19.999 butir peluru dan 93 buah magazin dari Ahmad Sutrisno. Pembelian senjata dengan total harga Rp 325 juta itu dilakukan dalam rentang waktu Mel 2008-Maret 2010 dengan Jumlah transaksi sebanyak 17 kali. Dana tersebut diperoleh dari Dulmatin alias Joko Pitono yang tewas tertembak oleh Um Densus 88 Antiteror Polri.
"Senjata yang diperoleh para teroris
Aceh dari Sofyan, yang merupakan anggota Polrestro Depok yang dipecat, telah membunuh anggota Brimob Kelapadua bernama Boas di Aceh. Sofyan Juga menggunakan dananya sendiri untuk membeli senjata. Dia Juga sempat makan di Rumah Makan Pondok Laras. Kelapadua. Cimanggis." tutur Totok.
Ia mengungkapkan Sofyan Juga memberikan pelatihan militer kepada para teroris di Aceh dan memberikan ceramah tentang Jihad.
Latihan di Brimob
Totok menyebutkan, pada tahun 2008 Sofyan bersama 10 anggotanya melakukan latihan menembak di Mako Brimob Kelapadua. Depok, sebelum diberangkatkan ke Aceh. Peserta latihan di antaranya Asmawi, Muklis.Cepl. dan Eko Ibrahim. Mereka latihan menembak dengan 10 butir peluru. Untuk latihan menembak Itu Sofyan membayar Rp 3 Juta.
Atas tindakan Sofyan tersebut, ayah Uga anak itu diancam hukuman mati atau kurungan seumur hidup. Dia dijerat empat pasal berlapis, yakni Pasal 19. Pasal 15 Junto Pasal 7. dan Pasal 13 UU Terorisme No 15 Tahun 2003 serta UU Darurat No 12 tahun 1951.
Ketua majelis hakim Dwlarso Budi menyatakan, sidang akan dilanjutkan Oktober 2010 dengan pembacaan eksepsi terdakwa Sofyan.
Secara terpisah Kuasa Hukum Sofyan. Nurlani HN menjelaskan. Ahmad Sutrisno merupakan anggota polisi yang bertugas dibagian gudang senjata Mabes Polri.
Sementara itu. istri Sofyan. Astri Rahayu berharap suaminya dapat diberikan hukuman yang ringan. Pasalnya Sofyan masih punya tanggung jawab untuk membesarkan ketiga anaknya yang masih kecil.
"Anak kami masih kecil. Mereka masih mempunyai masa depan. Ini yang menjadiperhatian saya sebagai orangtua." imbuhnya.
Menurut Astri, selama ini kebutuhan hidup anak-anaknya dipenuhi dari hasil usaha Jual bell senjata mainan yang kini dikelola pegawainya. Ia berharap usaha yang dijalankan pegawainya Itu tidak diganggu dan dapat terus berlangsung hingga ketiga anaknya tumbuh dewasa, (dod)
Saturday, September 18, 2010
Jenderal TNI Djoko Santoso Pamitan
Liputan 6 - Minggu, 19 September
Liputan6.com, Jakarta: Jenderal TNI Djoko Santoso menyampaikan salam perpisahan berkenaan berakhirnya masa jabatannya sebagai Panglima TNI. Djoko mengaku selama menjabat sebagai orang nomor satu di TNI, dirinya tak terlepas dari segala kekurangan dan kekhilafan.
"Masih banyak hal yang harus disempurnakan, meski selama ini seluruh tugas-tugas operasional TNI telah terlaksana dengan baik berkat kerja keras para prajurit, di tengah keterbatasan yang ada," kata Jenderal lulusan Akademi Militer Angkatan 75 itu di Jakarta, Sabtu (18/9).
Sebelumnya, Djoko memimpin langsung upacara 17-an di Mabes TNI Cilangkap, untuk bertatap muka dengan seluruh prajurit dan PNS di lingkungan TNI guna menyampaikan kata perpisahan. Ia mengatakan banyak hal yang masih harus dibenahi dalam pelaksanaan tugas pokok TNI.
Terkait pengembangan TNI menuju organisasi moderen, ia mengatakan TNI berhasil membentuk Pusat Misi Pemelihara Perdamaian (PMPP) TNI untuk menjawab tantangan tugas di luar negeri. Pusat Pengkajian Strategis (Pusjianstra) TNI untuk menghasilkan kebijakan TNI yang bernilai strategis.
Parlemen menjadwalkan uji kepatutan dan kelayakan calon Panglima TNI akan dilakukan pekan depan. Sebelumnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah mengajukan satu nama calon Panglima TNI yakni Laksamana TNI Agus Suhartono yang kini menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Laut.(ANT/JUM)
Thursday, September 09, 2010
SELAMAT MERAYAKAN KEMENANGAN
MEMAKNAI USIA
"Belum hilang jejak telapak kaki orang-orang yang mengantarnya ke kubur , seorang hamba (yang telah habis usianya) akan ditanya mengenai empat hal, yaitu hal usianya kemana dihabiskannya, hal tubuhnya untuk apa digunakannya, serta hal hartanya darimana diperolehnya dan untuk apa dibelanjakannya" (HR : Tarmidzi )SAATNYA MEMBERSIHKAN HARTA KITA DI HARI KEMENANGAN.
PIMPINAN PUSAT PEMUDA PANCA MARGA MENGUCAPKAN SELAMAT MERAYAKAN HARI RAYA IEDHUL FITRI 1431 H, SEMOGA IBADAH KITA SELAMA BULAN ROMADHON DAN DITERIMA DAN KITA MENJADI FITRI, MOHON MAAF LAHIR DAN BATHIN
Subscribe to:
Posts (Atom)