Tuesday, June 28, 2016
Friday, June 24, 2016
Taufiequrachman Ruki Buka Suara soal Penyelidikan RS Sumber Waras di KPK
JAKARTA, KOMPAS.com - Mantan Pelaksana Tugas (Plt) Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Taufiequrachman Ruki mengungkapkan kasus dugaan korupsi pembelian lahan RS Sumber Waras.
Ruki menceritakan, audit investigatif Badan Pemeriksa Keuangan berawal saat laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan Pemda DKI tahun 2014 terbit.
"Ada temuan nomor 30 saya ingat karena saya teliti betul kesimpulan temuan itu antara lain mengatakan bahwa pembelian Rumah Sakit Sumber Waras telah mengakibatkan Pemda DKI sebesar Rp 191miliar," kata Ruki di Masjid Baiturahman, Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (23/6/2016) malam.
Ruki mempelajari laporan hasil pemeriksaan tersebut dari perspektif auditor. Ia pun melihat adanya indikasi perbuatan melawan hukum dalam kasus tersebut.
"Sudah pasti perbuatan melawan hukum dan kemudian saya perintahkan kepada penyelidik saya untuk melakukan penyelidikan," ucap Ruki.
"Saya meminta kepada BPK untuk melakukan audit investigasi artinya mendalami kembali ke pemeriksaan itu," kata dia.
Audit investigasi tersebut diminta Ruki untuk menjelaskan adanya fraud atau kecurangan yang menimbulkan kerugian negara.
"Maka masuklah laporan itu ke KPK," katanya.
Sayangnya, audit investigatif tersebut diterima KPK saat masa jabatan Ruki selesai. Akhirnya, laporan tersebut diserahkan Ruki kepada Komisioner KPK yang baru. Apalagi, perkara tersebut masih berstatus penyelidikan.
Ruki mengakui dirinya tidak mendalami hasil audit investigasi tersebut.
"Tetapi yang saya baca audit investigasi karena dipaparkan oleh Profesor Edi (BPK) kepada pimpinan KPK lengkap. Cuma saya datang terlambat karena waktu itu saya sakit, diyakini telah terjadi kerugian negara sebesar Rp 191 miliar dengan prosedur yang dilanggar Pemda DKI disebutkan. Kalau tidak salah enam poin indikasi itu yang menjelaskan pertanyaan kami," ucap Ruki.
Ruki pun tidak memahami alasan pimpinan KPK saat ini yang menyebutkan tidak ditemukan indikasi perbuatan melawan hukum. Namun, ia enggan berdebat mengenai hal tersebut.
"Kalau berdebat, saya orang luar, apa bedanya saya dengan pengamat," ujarnya.
Ia menyebutkan, pihak yang berwenang menentukan ada atau tidaknya perbuatan melawan hukum adalah penyelidik.
"Betul-betul dibedah adalah kenapa penyelidik menyebutkan tidak ditemukan indikasi perbuatan melawan hukum di KPK," kata Ketua Mahkamah Partai PPP itu.
Ia menilai telah terdapat clue perbuatan pelanggaran atas prosedur. Sehingga penyelidik dapat mendalami hal itu.
Ditambah, perencanaan sebuah anggaran sudah terdapat tata cara yang mengatur hal itu.
Ruki mengingatkan pembelian sebuah tanah dengan menggunakan anggaran negara menggunakan cash and carry, saat tanah itu otomatis milik Pemda DKI saat terjadi pembayaran.
"Sekarang perjanjiannya dua tahun kemudian baru bisa jadi milik Pemda DKI. Logikanya sudah menyalahi UU Keuangan Negara. Itu yang saya bilang clue tadi. Pembayaran cek kontan. Menimbulkan banyak question mark," ujarnya.
Sebelumnya, KPK tidak menemukan adanya tindak pidana dalam kasus pembelian lahan milik Rumah Sakit Sumber Waras, Jakarta Barat, oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Dari hasil penyelidikan tersebut, KPK tidak meningkatkan proses hukum ke tahap penyidikan. (Baca: KPK Tidak Temukan Korupsi Pembelian Lahan Sumber Waras)
"Penyidik kami tidak menemukan perbuatan melawan hukum," kata Ketua KPK Agus Rahardjo di sela-sela rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (14/6/2016).
Padahal, sebelumnya BPK telah menyebut adanya perbedaan harga lahan yang mengindikasikan kerugian negara Rp 191 miliar. (Baca: Indikasi Kerugian Negara Rp 191 Miliar oleh BPK, Ini Hitungannya)
(Ferdinand Waskita)
Friday, June 17, 2016
Tito Karnavian Saat Kuliah di Akpol Cuma Dibekali Rp12 Ribu
Cuma sekali itu saja saya beri dia uang, kata ayah Tito.
Oleh : Rochimawati, Aji YK Putra (Palembang)
VIVA.co.id – Calon tunggal Kepala Kepolisian RI, Komjen Tito Karnavian, kini jadi sorotan publik. Siapa sangka, jenderal polisi bintang tiga ini bisa ‘melangkahi’ para seniornya untuk menjadi calon Kapolri.
Banyak yang mengira, Tito selalu menjalani hidupnya dengan mulus dengan berbagai pencapaian yang gemilang sebagai polisi. Namun, siapa sangka dia pernah hidup pas-pasan.
Jenderal asal Palembang tersebut, saat menjalani pendidikan di Akademi Kepolisian (Akpol) pertengahan dekade 1980-an tidak punya uang banyak. Ketika itu, anak kedua dari enam bersaudara putra Muhammad Saleh (77) tersebut hanya diberi bekal uang Rp12 ribu.
“Kondisi ekonomi keluarga lagi morat-marit. Adik-adik Tito juga masih sekolah. Sehingga waktu itu hanya bermodal Rp12 ribu untuk biaya hidupnya selama pendidikan,” kata Muhammad Saleh, ayah kandung Tito di Palembang, Jumat 17 Juni 2016.
Saleh, yang merupakan mantan Jurnalis Radio Republik Indonesia (RRI) selama 1963-1965, tak menyangka Tito ingin menjadi seorang polisi. Sebab, sebelum mendaftar di Akpol, Tito baru saja lulus di Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Sriwijaya (Unsri) dan Sekolah Tinggi Akuntansi Nasional (STAN) Jakarta.
“Awalnya tak menyangka mau jadi Polisi. Alasan Tito cuma tak ingin merepotkan orang tua. Sebab, kalau memilih menjadi polisi biaya pendidikannya gratis dan ditanggung pemerintah, sehingga tidak menyusahkan orang tuanya. Alasannya cuma itu,” ujar Saleh
Akhirnya Tito lulus Akpol dengan menerima bintang Adhi Makayasa sebagai lulusan terbaik tahun 1987. Tak satu kali pun dia merepotkan orang tua. “Tidak pernah dikasih uang lagi, cuma satu kali itu saja. Tito pun tak mau lagi merepotkan,” kata Saleh.
Menurut Salleh, sejak kecil jiwa kepemimpinan Tito telah terlihat dengan mengajarkan adik-adiknya yang lain. “Dari kecil memang sudah terlihat, sering mengajarkan adik-adiknya. Kalau adiknya ada PR pasti dia bantu. Begitu juga dengan Tito, dia baru main setelah pekerjaan rumah selesai,” tutur Saleh.
(ren)
Subscribe to:
Posts (Atom)