Monday, August 25, 2014
Arsip Pembrontakan G30S/PKI Belum Boleh Dibuka untuk Umum
JAKARTA (Pos Kota) – Arsip tentang gerakan Partai Komunis Indonesia (PKI) tahun 1965 belum boleh dipublikan kepada publik. Dengan berbagai pertimbangan, arsip gerakan menggulingkan Negara kesatuan RI tersebut masih tersimpan sebagai arsip statis.
Usianya memang sudah lebih dari 25 tahun. Tetapi Negara memiliki pertimbangan khusus untuk tidak membuka arsip tentang pembrontakan PKI kepada public,” jelas Kepala Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) Mustari Irawan usai menyerahkan penghargaan kepada Wantimpres (Dewan Pertimbangan Presiden) dan menerima arsip tentang nasehat dan pertimbangan Wantimpres, Senin (25/8).
Diakui sebuah arsip statis sebenarnya bisa dibuka untuk public jika usianya sudah 25 tahun. Arsip tersebut bisa diakses oleh public sesuai fakta yang sebenarnya.
Tetapi khusus untuk arsip pembrontakan G30S/PKI, dikatakan Mustari, Negara memiliki pertimbangan khusus. Diantaranya adalah adanya larangan organisasi PKI tumbuh dan hidup di Indonesia.
“Selain itu kita juga mempertimbangkan bahwa keluarga pelaku maupun korban gerakan G30 S PKI masih hidup. Jadi kita masih mempertimbangkan keberadaan mereka,” lanjut Mustari.
Sesuai TAP MPR nomor 25 tahun l966, ajaran dan paham komunisme tidak boleh hidup di Indonesia. Larangan tersebut masih berlaku hingga kini.
Mustari mengatakan belum tahu persis kapan arsip tentang gerakan G30S/PKI akan dibuka untuk umum. Tetapi pihaknya sudah berulangkali melakukan uji public terkait kemungkinan dibukanya arsip gerakan PKI di Indonesia.
“Satu-satunya gerakan PKI yang sudah boleh dibuka arsipnya adalah pembrontakan di Madiun pada 1948. Itu sudah boleh dikonsumsi publik,” tukas Mustari.
Terkait penyerahan arsip tentang nasehat dan pertimbangan Wantimpres, menurut Mustari ini merupakan salah satu wujud pelaksanaan amanat UU No 43 tahun 2009 tenang kearsipan.
Arsip yang diserahkan kepada ANRI ini nantinya menjadi identitas dan jati diri bangsa serta sebagai memori, acuan dan bahan pertanggungjawaban dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Arsip statis tentang nasehat dan pertimbangan Watimpres merupakan rekaman kegiatan dan peristiwa yang akan menjadi bukti sejarah perjalanan bangda dan merupakan asset nasional yang menggambarkan identitas serta jati diri bangsa. (inung/d)
Monday, August 18, 2014
Kisah Arsilan, Tukang Kebun Presiden Soekarno yang Kini Tinggal di Gubuk
Laporan Nurmulia Rekso Purnomo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Arsilan mengaku ingatannya masih kuat. Ia bahkan masih bisa menyanyikan lagu berbahasa Jepang berjudul "Miyoto" sembari jalan ditempat, yang ia pelajari dari tentara Jepang saat ia bergabung di satuan Heiho pada tahun 1943 lalu. Namun ia bersikeras umurnya 92 tahun, walau pun ia mengakui ia kelahiran tahun 1925.
Arsilan tinggal di sebuah bangunan kayu yang berdiri di atas trotoar jalan Bonang. Kediamannya itu berada di sisi luar tembok sebelah Timur Taman Proklamasi di Jalan Proklamasi, Menteng, Jakarta Pusat. Di sisi jalan tersebut selain kediamannya, juga terdapat belasan bangunan kayu lain yang dipergunakan para pedagang makanan.
Gubuk Arsilan berukuran sekitar 4 X 3,5 meter yang ia akui ia bangun sendiri. Gubuknya agak tersamar karena berada di bagian belakang kios rokok, yang terlihat dari sisi jalan hanyalah pintu masuknya saja. Sementara di dalam gubuk tersebut terdapat beberapa buah kasur bekas yang ditumpuk sembarangan, berikut sejumlah bantal yang sudah usang. Kamar tersebut lembab, penuh debu dan minim penerangan, dan baunya pun khas.
Beberapa kali kediamannya itu digusur oleh pemerintah daerah. Kata dia terakhir kali bangunan itu digusur adalah karena ada pejabat yang hendak melakukan inspeksi, setelahnya ia pun kembali mendirikan kembali kediamannya itu.
Namun siapa yang sangka, ia sudah tinggal di wilayah itu sejak tahun 1945 lalu. Bahkan saat Presiden Sukarno membacakan naskah proklamasi yang menjadi tonggak kemerdekaan Indonesia, Arsilan ikut menghadiri.
Ditemui di kediamannya, Arsilan mengaku keluarganya memang bekerja sebagai pegawai di kediaman sang Proklamator yang akrab dipanggil Bung Karno itu di Jalan Pegangsaan Timur nomor 56, Jakarta Pusat. Pada tahun 1945 ia bekerja sebagai tukang kebun, yang tugasnya mengurusi rerumputan di pekarangan depan dan belakang rumah Bung Karno yang luas tersebut.
"Gaji saya dulu cuma dua picis dua sen, waktu itu bisa buat beli beras dua gantang," jelasnya.
Ia masih ingat betul, pada 17 Agustus 69 tahun lalu jatuh pada hari Jumat. Pada pagi hari saat ia hendak bekerja membersihkan rumput, ia dapati kediaman Bung Karno banyak didatangi tokoh-tokoh perjuangan, termasuk sejumlah pemimpin laskar. Keramaian tersebut kata dia memicu warga sekitar kediaman Bung Karno untuk ikut berkumpul di depan kediaman proklamator kemerdekaan RI tersebut.
Kata dia bung Karno menjelang pukul 10.00 WIB keluar dari kediamannya menuju bagian depan rumah, di mana sejumlah tokoh kemerdekaan sudah menunggu. Di antara orang-orang yang datang kata dia ada sebagiannya adalah tentara asing, dan tentara Jepang yang tengah mengalami kekalahan hebat.
Bapak empat anak itu mengatakan bahwa acara tersebut dimulai dengan pengerekan Sang Saka Merah Putih dengan diiringi lagu Indonesia Raya. Bendera tersebut ia ingat adalah bendera yang dijahit oleh istri Bung Karno, Fatmawati di teras rumah tersebut. Sementara tiang yang digunakan adalah bambu yang sehari sebelumnya di beli oleh salah seorang pegawai rumah di kawasan Manggarai.
"Yang masang tiang saya juga ikut. Itu sehari sebelumnya. Kita disuruh pasang, tapi tidak tahu untuk apa. Waktu itu sih belum ada tiang bendera besi, sudah habis sama Jepang," terangnya.
Setelah pengibaran bendera, Bung Karno pun membacakan naskah proklamasi, menegaskan bahwa Indonesia telah merdeka sebagai sebuah negara. Namun saat pembacaan berlangsung, warga umumnya tidak berani meluapkan kegembiraannya, melainkan hanya diam mendengarkan secara seksama. Di ujung pembacaan teks Proklamasi, seluruh yang hadir pun serentak berteriak "Merdeka"
Di Bawah Ketakutan dan Dicurigai
Menurutnya saat itu rakyat Indonesia hidup dibawah ketakutan, dan masing-masing dicurigai sebagai mata-mata pejuang mau pun mata-mata penjajah. Oleh karena itu tidak banyak yang berani mengungkapkan dukungannya terhadap perjuangan kemerdekaan, namun Bung Karno pascapembacaan teks Proklamasi mampu membuat rakyat melupakan ketakutan tersebut.
Di antara orang yang datang saat itu menurutnya banyak juga yang menitikan air mata, terutama para laskar-laskar yang ikut berperang melawan penjajah. Ia menduga mereka yang menitikan air mata adalah mereka yang terkenang betapa sulitnya meraih kemerdekaan, dan hari itu Bung Karno pun membacakan naskah proklamasi yang dipercayai banyak orang saat itu sebagai penanda berakhirnya penderitaan.
"Walau pun sebetulnya masih belum. Waktu itu kan Inggris datang, kita masih perang juga," kata Arsilan.
Usai pembacaan naskah teks proklamasi ia tidak begitu ingat apakah Bung Karno sempat menyampaikan pidatonya, yang ia ingat Sang Saka Merah Putih kemudian diturunkan dengan diiringi lagu Indonesia Raya. Setelahnya Bung Karno pun kembali ke kediamannya, dan warga satu persatu membubarkan diri.
Menurut dokumen yang ada diketahui pengibaran Sang Saka Merah Putih dilakukan setelah pembacaan teks Proklamasi. Ia berkilah yang ia ingat pengibaran dilakukan sebelum pembacaan, dan pengetahuan tersebut ia ketahui dari pengalamannya dan bukan dari membaca buku. Ia mengaku sebagai seseorang yang buta huruf.
Kediaman Bung Karno itu kini sudah digusur, dan di atasnya didirikan Tugu Proklamasi. Jalan Pegangsaan Timur pun diubah namanya menjadi Jalan Proklamasi, untuk memperingati tonggak awalnya berdiri Republik Indonesia.
Namun menurutnya pembacaan teks Proklamasi tersebut lokasinya bukan berada di lokasi yang kini berdiri patung dua Proklamator, yakni Bung Karno dan Muhamad Hatta atau Bung Hatta. Tempat berdirinya monumen itu kata Arsilan sebelumnya adalah kediaman Bung Karno, sedangkan lokasi pembacaan teks Proklamasi adalah di bagian depan rumah, yakni di lokasi yang sekarang berdiri tiang tinggi dengan logo yang menyerupai logo petir di bagian atasnya.
"Dulu Bung Karno baca proklamasi di tiang petir, bukan di patung Bung Karno," tuturnya.
Hingga tahun 2003, Arsilan bekerja di kediaman keluarga Bung Karno di kawasan Menteng. Pekerjaannya terakhir adalah sebagai petugas keamanan, dengan gaji Rp 400 ribu perbulan. Setelahnya ia dan istrinya pun mencoba berdagang Surabi di Jalan Bonang. Setelah istrinya meninggal dan empat orang anaknya sudah mapan di perantauan, usaha Surabi itu pun berhenti.
Laki-laki berdarah Banten itu kini hidup dari tunjangan pemerintah sebesar Rp 1 juta perbulan, karena ia pernah berperang melawan penjajah di Serpong, Banten pada tahun 1940an, dan kini berstatus anggota satuan Perintis Kemerdekaan Republik Indonesia (PKRI). Selain itu untuk menambah penghasilannya ia sehari-hari bekerja mengumpulkan gelas plastik air mineral.
Sunday, August 17, 2014
Kenapa Jokowi Beri Perhatian Veteran di Hari Kemerdekaan RI?
TEMPO.CO, Jakarta - Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo memberikan penghargaan setinggi-tingginya bagi para veteran dalam peringatan Hari Kemerdekaan RI ke-69 di Monumen Nasional, Ahad, 17 Agustus 2014. "Selamat dan terima kasih kepada para veteran," kata Jokowi dalam pidato saat upacara Peringatan Kemerdekaan.
Menurut Jokowi, perhatian kepada para mantan pejuang itu tak cukup sekadar dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1967 tentang Veteran. "Undang-undangnya sudah ada semua, tinggal implementasinya saja," kata Jokowi seusai upacara.
Perhatian Jokowi terhadap para veteran tampaknya tak lepas dari apa yang para veteran dapatkan setelah berjuang meraih kemerdekaan. Di Malang, seorang bekas Ketua Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) Sersan Mayor Purnawirawan Muhammad Rojim mengaku hanya mendapat dana kehormatan sebesar Rp 250 ribu per bulan. "Selama 16 tahun, dana kehormatan tak pernah naik," katanya.
Pernyataan ini disampaikan Rojim seusai upacara kemerdekaan di depan Balai Kota Malang. Sebanyak 600 anggota legiun veteran Kota Malang terbagi menjadi tiga bagian, yakni veteran pejuang, veteran pembina, dan veteran perdamaian. Jika dibagi dalam zaman, yakni veteran trikora, dwikora, dan perdamaian.
Juru bicara Pemerintah Kota Malang, Alie Mulyanto, menyatakan bakal merespons saran para veteran. Tujuannya, agar veteran lebih sejahtera dan mengisi masa tua secara produktif. Masukan tersebut akan disampaikan kepada Wali Kota Malang. "Sebelumnya ada program bedah rumah. Salah satu sasarannya veteran," katanya.
DEWI SUCI RAHAYU | EKO WIDIANTO
Thursday, August 14, 2014
SELAMAT ULANG TAHUN YANG KE 88 TERUNTUK AYAHDA RAIS ABIN
Jakarta 15 Agustus 2014
SELURUH PENGURUS DAN ANGGOTA PEMUDA PANCA MARGA MENGUCAPKAN SELAMAT ULANG TAHUN SEMOGA DIBERIKAN KESEHATAN DAN KEBAHAGIAN BERSAMA KELUARGA
Di matamu masih tersimpan
selaksa peristiwa
Benturan dan hempasan terpahat
di keningmu
Kau nampak tua dan lelah,
keringat mengucur deras
namun kau tetap tabah hmm ...
Namun semangat tak pernah pudar
meski langkahmu kadang gemetar
kau tetap setia
Di matamu masih tersimpan
selaksa peristiwa
Benturan dan hempasan terpahat
di keningmu
Kau nampak tua dan lelah,
keringat mengucur deras
nnamun kau tetap tabah hmm ...
Meski nafasmu kadang tersengal
memikul beban yang makin sarat
kau tetap bertahan
Engkau telah mengerti hitam
dan merah jalan ini
Keriput tulang pipimu
gambaran perjuangan
Bahumu yang dulu kekar,
legam terbakar matahari
kini kurus dan terbungkuk hmm ...
Namun semangat tak pernah pudar
meski langkahmu kadang gemetar
kau tetap setia
Ayah, dalam hening sepi kurindu
untuk menuai padi milik kita
Tapi kerinduan tinggal hanya kerinduan
Anakmu sekarang banyak menanggung beban
Engkau telah mengerti hitam
dan merah jalan ini
Keriput tulang pipimu
gambaran perjuangan
Bahumu yang dulu kekar,
legam terbakar matahari
kini kurus dan terbungkuk hm...
Namun semangat tak pernah pudar
meski langkahmu kadang gemetar
kau tetap setia
Ditemui Paspampres, veteran yang dibentak malah minta maaf
MERDEKA.COM. Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres) berkunjung ke rumah Letkol (purn) TNI Sara (87), veteran yang dibentak saat terlambat menghadiri HUT LVRI di Balai Sarbini, Senin (11/8). Oleh anggota Paspampres, Sara dan keluarganya diminta menunggu hingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono selesai berpidato.
Dalam pertemuan antara Paspampres dan Sara, Paspampres ingin mengetahui kronologi yang diberitakan tersebut. Istri Sara mengatakan, tidak ada pembentakan, Paspampres hanya meminta keluarganya untuk menunggu hingga SBY selesai berpidato.
"Dibentak, enggak ya pak, ya. Cuma disuruh nunggu," ujar istri Sara, seperti yang terdengar dalam rekaman, Rabu (13/8).
Saat diklarifikasi, Sara mengaku hanya diminta menunggu saat Presiden SBY tengah berpidato.
"Ditahan dulu, karena bapak (SBY) nanti pidato. bapak di sini dulu menunggu bapak lagi pidato dulu," tambah Sara menirukan ucapan Paspampres yang memintanya menunggu.
Sara pun meminta maaf jika memiliki dia dan keluarganya melakukan selama Paspampres menjalani tugas-tugasnya.
"Saya tadi sudah katakan ya, kalau ada sesuatu kesalahan keluarga saya, ya mohon maaf," ucapnya singkat.
Menanggapi itu, dua orang Paspampres yang menemui langsung di rumahnya mengaku hanya berupaya mengklarifikasi.
"Kami juga butuh klarifikasi, menjaga silaturahmi lah," sahut salah seorang Paspampres.
Sebelumnya diberitakan, Letkol (Purn) Sara (87), seorang veteran perang dan keluarganya harus menerima perlakukan yang tak mengenakkan dari Pasukan Pengawal Presiden (Paspampres) saat menghadiri Hari Ulang Tahun Veteran tahun ini. Salah satu Paspampres membentak istri Sara, Setyaningsih saat telat datang ke lokasi acara di Gedung Veteran, Balai Sarbini.
"Jangan berisik Bu!," tegas salah seorang Paspampres yang menjaga pintu tersebut, Senin (11/8).
Setyaningsih dibentak saat menjelaskan alasan dirinya dan suaminya telat hadir dalam acara yang dihadiri Presiden terpilih, Joko Widodo tersebut.
"Rumah saya di Kramat tadi macet. Bapak juga sudah tidak bisa naik tangga jadi kita muter dulu naik lift," jelas Setyaningsih.
Monday, August 11, 2014
Galaknya Paspampres yang larang veteran masuk saat SBY pidato
Merdeka.com - Letkol (Purn) Sara (87), seorang veteran perang dan keluarganya harus menerima perlakukan yang tak mengenakkan dari Pasukan Pengawal Presiden (Paspampres) saat menghadiri Hari Ulang Tahun Veteran tahun ini. Salah satu Paspampres membentak istri Sara, Setyaningsih saat telat datang ke lokasi acara di Gedung Veteran, Balai Sarbini.
"Jangan berisik Bu!," tegas salah seorang Paspampres yang menjaga pintu tersebut, Senin (11/8).
Setyaningsih dibentak saat menjelaskan alasan dirinya dan suaminya telat hadir dalam acara yang dihadiri Presiden terpilih, Joko Widodo tersebut.
"Rumah saya di Kramat tadi macet. Bapak juga sudah tidak bisa naik tangga jadi kita muter dulu naik lift," jelas Setyaningsih.
Saat menunggu diperbolehkan masuk, Sara menceritakan perjuangannya membela Indonesia. Hanya bermodal bambu runcing, Sara dan pejuang lainnya mencoba melawan penjajah.
"Dulu saya masuk Hizbulloh, saya melawan Belanda. Mereka bom desa, rakyat kocar kacir. Saya ditelanjangi, mereka pakai senjata, saya cuma bambu runcing, kami lari ke sawah-sawah dikejar," cerita Sara yang juga melawan pasukan Kartosuwiryo ini dengan suara bergetar.
Setelah SBY selesai berpidato, barulah pejuang tua ini diizinkan masuk ke ruang pertemuan.
[ded]
SBY depan veteran: Perang tidak masalah demi kedaulatan NKRI
Merdeka.com - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menganjurkan para pimpinan partai politik sering datang ke tempat Makam Pahlawan. Ini penting dilakukan untuk mengingat jasa mereka bagi negara.
"Saya anjurkan para pemimpin politik datang ke Taman Makam Pahlawan, sekali-kali datanglah ke Cilangkap," ujar SBY di Peringatan Hari Veteran Nasional, Balai Sarbini, Jakarta, Senin (11/8).
Saran SBY itu guna mengingatkan kembali para pejuang yang gugur dalam medan perang. Saran ini untuk para pemimpin partai politik yang nanti akan duduk di pemerintahan, jika ingin menjaga wilayah NKRI dari ancaman luar.
"Dengan datang ke tempat itu akan sadar keputusan politik dapat dipikirkan bahwa ada 35 ribu yang gugur yang ada di monumen itu," ujar SBY.
Menurut SBY, keputusan perang adalah cara terakhir jika cara politik dan diplomasi tidak bisa dilakukan. Untuk itu, SBY ingin para pemimpin partai politik harus berhati-hati mengambil keputusan itu.
"Keputusan politik untuk perang akan berisiko kehilangan putra putri bangsa. Perang adalah cara terakhir, kalau jalur diplomasi dan politik tidak bisa dilakukan perang tidak masalah demi kedaulatan NKRI," katanya.
[did]
Saturday, August 09, 2014
Perjuangan Rakyat 1926-1927 dalam Karya Sastra
Hasan Kurniawan-SINDONEWS.COM
KARYA sastra memiliki peran penting dalam penulisan sejarah Indonesia modern. Sebut saja karya pengarang besar Multatuli yang memotret sistem tanam paksa di abad ke-19, dan karya-karya Pulau Buru, hasil renungan mendalam pengarang kenamaan Indonesia, Pramoedya Ananta Toer yang lahir di abad ke-20.
Kendati berbeda zaman, kedua karya para pengarang besar itu memiliki karakter yang sama, yakni antikolonialisme. Terutama di dalam melakukan kritik terhadap sistem kolonial yang menindas, dan memotret peristiwa faktual yang terjadi pada masanya. Di luar hal itu, karya sastra tersebut memiliki daya dorong terhadap perubahan sistem masyarakat.
Sejarawan asal Belanda, Prof Drs G Termorshuizen dalam Pendahuluan buku Max Havelaar atau Lelang Kopi Persekutuan Dagang Belanda, terjemahan HB Jassin, terbitan Djambatan tahun 1972, pernah mengatakan, suatu karya sastra yang baik bisa menjadi tenaga sosial masyarakat.
Di situ, dia merujuk pada karya Multatuli atau Eduard Douwes Dekker dalam Max Havelaar. Sejak pertama kali diterbitkan dalam bahasa Belanda, di abad ke-19, karya itu langsung menguncang sistem Pemerintah Hindia Belanda, dan mendorong perbaikan tatanan masyarakat di bawah sistem kolonial tanam paksa.
Senada dengan Max Havelaar, Tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer juga menggemparkan. Karya ini memiliki tenaga pendorong yang sangat kuat, di abad ke-20, terhadap kolonialisme. Terlebih, karya itu ditulis oleh pengarang yang berada di luar sistem itu dan sekaligus menjadi korbannya. Ini lah yang membedakannya dengan Max Havelaar.
Seperti diketahui, abad ke-20 merupakan zaman pencerahan bagi rakyat Indonesia. Di mana kesadaran masyarakat bumiputra sudah terbangun, dan mencapai titik klimaksnya dalam satu perjuangan rakyat bersenjata yang dilakukan secara nasional, dengan cita-cita Indonesia merdeka dari penjajahan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda.
Cerita pagi kali ini akan mengulas dengan singkat perjuangan itu, dengan merujuk pada sejumlah karya para sastrawan yang masih memiliki napas antikolonialisme, di tahun 1926-1927. Pemilihan topik ini untuk melihat secara faktual peristiwa yang terjadi saat itu.
Perjuangan rakyat tahun 1926-1927 menjadi sangat penting untuk diulas, karena memiliki ciri modern. Peristiwa ini dikenal juga dengan Pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) atau Revolusi November. Ini lah tonggak perlawanan rakyat secara teroganisir di bawah sistem kolonial Belanda.
Pada tahun-tahun sebelumnya, sejak tahun 1800, rakyat juga sudah melawan. Tetapi cakupan perjuangannya sangat sempit atau lokal, tidak teroganisir, dan sifatnya tradisional. Tulang punggung gerakan ini adalah para petani.
Sejarawan terkemuka Indonesia, Sartono Kartodirdjo menyebutkan, ada beberapa perjuangan petani yang terlihat menonjol sejak abad ke-19 dan awal abad ke-20. Di antaranya adalah Pemberontakan Cilegon tahun 1880, Gerakan Sidoarjo tahun 1904, Dermojoyo tahun 1907, Peristiwa Cimareme tahun 1919, dan Peristiwa Tangerang tahun 1924.
Perbedaan mencolok antara perjuangan secara tradisional dengan modern adalah corak perlawanannya. Para pelaku perlawanan rakyat yang bersifat tradisional, mengusung semangat perang suci atau sabil. Sedang pemberontakan modern, memiliki jiwa pembebasan nasional dan dimotori oleh organisasi modern.
Karena sifatnya itu, Perjuangan Rakyat 1926-1927 melibatkan semua elemen masyarakat, mulai dari petani, buruh, kiai, ulama, santri, jawara, dan kaum intelektual. Mereka juga bergerak melalui garis organisasi yang jelas dengan PKI sebagai ujung tombaknya.
Untuk mengetahui seberapa luas perjuangan itu, dan peran organisasi modern dalam peristiwa ini, baiknya dicantumkan petikan puisi berjudul Balada Api 26 Tak Pernah Mati karya Alifdal (salah satu nama pena dari Anwar Dharma), Redaktur Luar Negeri Harian Rakyat, organ resmi PKI.
Utusanutusan komite pemberontakan
Menyebar ke seluruh Nusantara
Membawa pesan
Ke Jakarta, Banten, dan Periangan
Ke Sumatera, Sulawesi, dan Kalimantan
Di manamana semangat menyala
Ke senjata, ke senjata
Partai di depan.
Untuk mengetahui bagaimana perlawanan itu meletus, dan daerah mana saja yang terjadi pergolakan, juga diungkapkan oleh Alifdal dalam puisinya. Bahkan, kenapa perlawanan itu bisa gagal tertuang dalam puisi ini.
Nyala api dicetuskan sudah
Berkobar-kobar menjilat merah
Jakarta-Kota, Jatinegara, dan Tangerang
Menes, Caringin, dan Labuan
Ciamis, Tasikmalaya, dan Padelarang
Solo, Boyolali, dan Banyumas
Kediri dan Pekalongan
Sawahlunto, Padang-Sibusuk, dan Silungkang
Dan rakyat di Kalimantan Barat
Bangkit perkasa bertekad bulat
Untuk merdeka, untuk bebas.
Meski pemberontakan dicetuskan
Komunis tak pernah surut di tengah jalan
Harus teruskan
Meski perang tidak seimbang
Tak pernah bimbang
Memang mereka kurang teori
Tapi mereka orang berani
Mereka pantang berkapitulasi
Bukan tukang likwidasi
Seperti Trotskis-trotskis dalam Pari.
Tentang adanya perpecahan dalam partai saat akan melangsungkan perlawanan, cerpen karya S Anantaguna, pimpinan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang diberi judul Sel D, memperkuat keterangan puisi Alifdal. Melalui percakapan para tokohnya, cerpen ini menggambarkan kebingungan para anggota partai. Seperti dipetik dalam pesan Pak Abdul Mutalib berikut ini:
"Yah. Meskipun semula kita belum menyetujui pemberontakan, tetapi Keputusan Perambanan, kata Pak Abdul Mutalib, bahwa rakyat sudah marah, karena Pemerintah Belanda makin menggila. Penderitaan, tekanan, kekangan sudah tidak tertahankan lagi, sehingga meletus juga pemberontakan."
Dalam percakapan itu, sang tokoh melanjutkan:
"Dalam keadaan seperti ini, jika Partai Komunis benar-benar mengabdi kepada rakyat, harus tampil ke depan. Partai kita adalah partainya kaum buruh dan tani. Jika massa menghendaki merah, tetapi kita menginginkan kuning, akan berarti partai kita mengkhianati massa. Partai kita berdiri karena dikehendaki massa, oleh kaum proletar dan kaum tani. Partai kita hidup dan matinya pun tergantung mereka."
Berikut pesan dari Pak Abdul Mutalib akhirnya ditutup:
"Apapun kesulitannya, risikonya, yang berontak harus dipimpin. Kita harus bersama-sama mereka, mati atau hidup."
Demikian percakapan dalam cerpen Sel D karya S Anantaguna dengan tepat menggambarkan kebingungan akibat perbedaan pandangan para pemimpin partai, dan peran partai dalam perjuangan. Hingga akhirnya, perlawanan meletus dan terjadi malapetaka. Tentang dampak perlawanan ini dikemukakan oleh Alifdal dalam puisinya sebagai berikut:
Ribuan diangkut ke pengasingan
Tanah Tinggi, Gudang Arang, dan Tanah Merah
Jauh, di hutan belantara Digul hulu
Namun mereka berlawan tak pernah menyerah
Karena mereka punya keyakinan:
"Suluh dinyalakan dalam malam-mu
Kami yang meneruskan kepada pelanjut angkatan."
Puisi lain yang juga menarik untuk dipetik dalam cerita pagi kali ini adalah karya Chalik Hamid, yang berjudul Kepada Aliarcham. Puisi ini penting, karena menggambarkan apa yang dirasakan tokoh Perjuangan Rakyat 1926-1927 selama di pembuangan, seperti ini:
Dalam pergaulan hidup dan derita
Ia tunjukkan keteguhan jiwa
"Suatu pemberontakan yang kalah
Adalah tetap benar dan sah.
Kita terima pembuangan ini
Sebagai risiko perjuangan yang kalah.
Tidak ada di antara kita yang salah
Karena kita berjuang melawan penjajah."
Kata-kata langsung dari Aliarcham sebelum meninggal di pembuangan, yang dimasukkan dalam puisi Kepada Aliarcham menjadi sangat. Kata-kata itu seolah menjawab perpecahan yang terjadi di tubuh partai sejak meletusnya perlawanan rakyat. Demikian ulasan singkat cerita pagi ini diakhiri, semoga memberikan manfaat.
(san)
Subscribe to:
Posts (Atom)