DEN HAAG, KOMPAS.com - Pada 20 Juni 2011, sembilan janda korban pembantaian di desa Rawagede, Karawang, Jawa Barat, mengajukan tuntutan ganti rugi kepada pemerintah Belanda. Rabu (14/09), Pengadilan Den Haag menerbitkan vonis atas perkara itu yang memenangkan tuntutan sembilan janda tersebut. Pengadilan memerintahkan Pemerintah Belada membayar sejumlah ganti rugi kepada mereka.
Rushdy Hoesein, sejarawan, pada tahun 1995 ikut membuat liputan televisi tentang kasus Rawagede itu. Kepada Radio Nederland, Rushdy mengemukakan, berbeda dengan situasi di Belanda, sejauh ini perhatian masyarakat, pers dan kalangan akademisi di Indonesia mengenai berbagai kasus kejahatan perang pada masa perang kemerdekaan sangat minimal. Menurut Rushdy, sebagaimana dilaporkan Radio Nederland, Rabu (14/9/2011), sebabnya pertama-tama masyarakat Indonesia tidak begitu menguasai pengetahuan sejarah. Bukan melupakan sejarah, tapi banyak informasi kesejarahan yang tidak akurat.Akibatnya bukan saja mereka tidak tahu, tetapi juga tidak ingin memperdalam pengetahuan di bidang sejarah. Terutama mengenai sejarah kontemporer. Periode mengenai proklamasi sampai dengan perang kemerdekaan dan sebagainya. Hal itu, kata dia, mungkin ada pengaruh dari masa kekuasaan militer pada periode Orde Baru. Generasi muda justru lebih tertarik pada kejadian-kejadian sebelum perang. Terutama yang berkaitan dengan gedung-gedung bersejarah. Seperti Kota Tua itu justru malahan lebih menarik ketimbang upaya memahami peristiwa-peristiwa setelah proklamasi kemerdekaan.Soeharto memang sudah lama meninggal dunia, namun dampak kekuasaan militer tampaknya masih terasa. Walau demikian sekarang sudah ada kemajuan. Cukup banyak orang yang ingin mengetahui lebih jauh mengenai tokoh-tokoh pergerakan. Baik pada masa perintis kemerdekaan, mau pun pada masa mempertahankan proklamasi, periode perang kemerdekaan.Jadi, kata Rusdhy, sudah ada perubahan, tapi belum begitu banyak. Belum begitu sempurna. Pengetahuan masyarakat Indonesia mengenai kasus kejahatan perang, sebagaimana yang terjadi di Rawagede belum banyak. Faktanya demikian, kata Rushdy Hoesein.Memang ada sekelompok orang yang mengusahakan. Terutama yang berkaitan dengan yayasan Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB). Tapi kadang-kadang tidak melekat langsung dengan masalah kepahlawanan. Sebetulnya sebagian besar bangsa Indonesia kurang paham. Kita tahu ada buku yang namanya De Excessennota. Tapi hanya beberapa orang saja yang memiliki buku tersebut. Karena ditulis dalam bahasa Belanda. Dan tidak ada terjemahannya.Dekat JakartaRadio Nederland melaporkan, perhatian terhadap peristiwa Rawagede berkaitan dengan tim wartawan Belanda yang membuat film mengenai kasus kejahatan perang di Indonesia, pada tahun 1995. Film itu dibuat sehubungan dengan rangkaian acara peringatan 50 tahun kemerdekaan Indonesia. Rushdy Hoesein ikut terlibat dalam kegiatan tim wartawan Belanda tersebut. Pilihan untuk meliput Rawagede semata-mata karena letaknya dekat Jakarta.Para wartawan tersebut antara lain diantar oleh sejumlah veteran yang masih hidup. Kalau mereka misalnya pergi ke Pronojiwo di Jawa Timur, akan terlalu jauh. Padahal kejahatan perang yang terjadi di sana sebenarnya jauh lebih besar. Maka jadilah film tersebut, yang kemudian ditayangkan di televisi Belanda.Menurut Rushdy minat di kalangan akademisi Indonesia terhadap berbagai kasus kejahatan perang antara tahun 1945 hingga 1949 juga nyaris tidak ada. Mungkin karena bahannya sangat berat. Karena ini menyangkut operasi militer. Selain itu juga berkaitan dengan serangkaian perundingan antara pihak Indonesia dan Belanda. Peristiwa pembantaian di Rawagede terjadi pada saat Indonesia dan Belanda bersiap-siap menyelenggarakan perundingan Renville.Sejauh ini, pemerintah Indonesia tidak pernah mengangkat masalah kejahatan perang ini pada pemerintah Belanda. Menurut Rushdy Hoesein permasalahannya adalah Indonesia dan Belanda sepakat, tidak akan mempersoalkan berbagai kasus kejahatan perang yang terjadi sebelum saat pengakuan kedaulatan pada tahun 1949.Contohnya, kasus Kapten Raymond Westerling menjadi masalah, bukan karena kejahatan perang yang ia lakukan di Sulawesi Selatan. Tapi karena peristiwa APRA di Bandung. Itu terjadi pada tahun 1950. Jadi, dengan adanya kesepakatan Kesepakatan Meja Bundar (KMB), semua dianggap selesai. Karena, peristiwa pembantaian di Rawagede terjadi pada tahun 1947.Sumber :Radio Nederland
Baca juga : Belanda Harus Bayar Ganti Rugi Korban Rawa Gede
Tuesday, September 20, 2011
Sunday, September 04, 2011
Mahfud : penetapan tersangka terhadap Zainal Arifin aneh
Minggu, 4 September 2011 14:41 WIB | 703 ViewsSleman (ANTARA News) - Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD menilai penetapan status tersangka kepada mantan panitera Mahkamah Konstitusi Zaenal Arifin Hosein dalam kasus surat palsu polisi sangat aneh."Dalam proses penyidikan kasus surat palsu, baik DPR, Polisi maupun MK sendiri sama-sama mendapatkan fakta baru. Yang menjadi tanda tanya, kenapa polisi justru menetapkan Husein yang tanda tangannya dipalsukan itu sebagai tersangka," katanya di sela "open house" di kediaman pribadinya di Sambilegi Baru, Depok, Sleman, Yogyakarta, Minggu.Menurut dia, dalam surat yang tidak benar itu, tanda tangan Husein hanya di "scan saja" dan bukan tanda tangan dengan tinta sehingga itu bukan tanda tangan asli yang dibubuhkan yang bersangkutan."Ada dua surat dimana yang satu palsu dan satunya lagi benar, surat yang palsu ialah tertanggal 14 Agustus 2009 nomor 112/PAN.MK/VIII/2009 tentang penetapan caleg Partai Hanura Dewi Yasin Limpo sebagai pemenang DPR RI Dapil I Sulawesi Selatan. Sedangkan surat yang benar tertanggal 17 Agustus 2009," katanya.Ia mengatakan, ke dua surat tersebut diserahkan ke KPU oleh komisioner MK, padahal Mansuri Hasan sudah memberitahukan ke Andi Nurpati jika surat yang tertanggal 14 itu tidak benar dan yang benar ialah yang tertanggal 17."Namun dalam rekonstruksi, Komisioner MK yang menyerahkan surat ke KPU maupun Andi Nurpati justru membacakan surat tertanggal 14 Agustus 2009 yang palsu. Padahal, yang bersangkutan memiliki surat MK yang benar alias tertanggal 17 Agustus 2009. Ada rekamannya dalam rekonstruksi itu," katanya.atas dasar itu maka dirinya heran dan merasa aneh kenapa Zaenal yang dijadikan tersangka. Padahal orang yang membacakan surat palsu tersebut tidak diapa-apakan."Namun saya menyerahkan penilaian kepada masyarakat. Masyarakat memiliki pemahaman sendiri atas logika yang dibangun Polisi. Dalam kasus ini, MK sama sekali tidak rugi. Justru bangsa dan penegakan hukum yang mengalami kerugian atas logika Polisi," katanya.Ia mengatakan, kasus ini bukan hanya pasal pemalsuan, melainkan juga pasal penggelapan. "Jadi ada dua pasal yang seharusnya didalami," katanya.(*)Editor: AA AriwibowoCOPYRIGHT © 2011
Subscribe to:
Posts (Atom)