Monday, June 29, 2015
Kisah Bung Karno Jual Mobil Demi Bangun Patung Pancoran
Oleh : Siti Ruqoyah, Dody Handoko
Pada 1964, proyek patung itu berbiaya Rp12 juta.
VIVA.co.id - Tak banyak yang tahu tentang pembangunan monumen Patung Dirgantara atau lebih dikenal dengan nama Patung Pancoran. Patung yang letaknya di kawasan Pancoran, Jakarat Selatan, di depan kompleks perkantoran Wisma Aldiron .
Rancangan patung ini berdasarkan atas permintaan Bung Karno untuk menampilkan keperkasaan bangsa Indonesia di bidang dirgantara. Desain patung tersebut maknanya mencapai keperkasaan, bangsa Indonesia mengandalkan sifat-sifat jujur, berani dan bersemangat.
Berat patung yang terbuat dari perunggu ini mencapai 11 Ton. Sementara tinggi patung itu sendiri adalah 11 Meter, dan kaki patung mencapai 27 Meter. Total biaya pembuatan pada tahun 1964 adalah Rp12 juta.
Dalam buku sejarah singkat Patung-patung dan monumen di Jakarta dituliskan, patung ini dirancang oleh Edhi Sunarso sekitar tahun 1964-1965 dengan bantuan dari Keluarga Arca Yogyakarta. Proses pengecorannya dilakukan oleh Pengecoran Patung Perunggu Artistik Dekoratif Yogyakarta pimpinan I Gardono.
Proses pembangunannya dilakukan oleh PN Hutama Karya dengan IR. Sutami sebagai arsitek pelaksana.
Biaya awal ditanggung oleh Edhi Sunarso, sang pemahat. Bung Karno menjual mobil pribadinya seharga Rp1 juta pada waktu itu. Pemerintah hanya membayar Rp 5 juta. Sisanya, sebesar Rp 6 juta, menjadi hutang pemerintah yang sampai saat ini tidak pernah terbayar.
Proyek itu sempat berhenti gara-gara peristiwa 30 September 1965. Bung Karno didemo tiap hari. Puncaknya adalah penolakan MPRS atas pertanggungjawaban Bung Karno, terhadap peristiwa pemberontakan PKI tadi. Lalu Bung Karno dilengserkan, dan Soeharto jadi Presiden.
Meski kondisinya buruk, Bung Karno tetap bertekad meneruskan patung itu. Ia selalu menyempatkan diri memantau pengerjaannya. Tiang penyangga patung sudah selesai, tapi pekerjaan terancam berhenti.
Edhi tak sanggup meneruskan pekerjaan itu, mengingat dirinya banyak hutang untuk pekerjaan itu.
Melihat kondisi tersebut, Bung Karno lantas memanggil Edhi dan memberinya uang Rp1,7 juta. Belakangan Edhi baru tahu, uang itu hasil penjualan mobil pribadi Bung Karno. Sekalipun uang itu belum cukup menutup semua biaya, Edhi meneruskan pengerjaan patung dirgantara itu.
Hari Minggu tanggal 21 Juni 1970, ketika ia sedang berada di puncak Tugu Dirgantara. Tiba-tiba, melintas iring-iringan mobil jenazah. Salah seorang pekerja memberi tahu Edhi, bahwa yang barusan lewat adalah iring-iringan mobil jenazah Bung Karno. Sang Proklamator meninggal.
Ia pun langsung turun dari puncak Tugu Dirgantara, dan menyusul ke Blitar, memberi penghormatan terakhir kepada Putra Sang Fajar. (ren)
Monday, June 15, 2015
Cari 2.000 jasad prajurit Perang Dunia II, AS kerjasama dengan TNI
Reporter : Iqbal Fadil
Merdeka.com - Militer Amerika Serikat dan TNI menyepakati kerjasama antara kedua negara untuk melakukan penelitian bersama untuk menyelidiki dan mengekskavasi peninggalan serta jasad personel tentara AS di Indonesia.
Berdasarkan siaran pers Kedubes AS yang diterima merdeka.com, Senin (15/6), kerjasama itu disepakati setelah melalui serangkaian koordinasi antara United States Defense Prisoners of War/Missing in Action (POW/MIA) Accounting Agency (DPAA), Defense Attache Office (DAO) di Kedutaan Besar Amerika Serikat Jakarta, dengan TNI dan Pusjarah TNI. Kedua pihak sepakat bahwa DPAA akan mencari sisa-sisa lebih dari 2.000 personel AS yang hilang saat Perang Dunia II di Indonesia.
Kesepakatan itu ditandatangani pada Jumat, 12 Juni lalu. Saat upacara penandatanganan, Mayor Jenderal Angkatan Udara AS Kelly McKeague mengatakan, misi kemanusiaan ini tidak mungkin terlaksana tanpa persetujuan dan dukungan pemerintah dan masyarakat Indonesia.
"Penandatanganan kesepakatan ini membangun kemitraan yang memungkinkan kita mencapai misi yang mulia ini dan membantu memberikan kepastian bagi para keluarga yang masih menanti. Atas nama keluarga Amerika yang anggota keluarganya hilang di Indonesia saat Perang Dunia II, saya ucapkan terima kasih kepada Brigjen TNI Zaedun dan tim Pusjarah atas kesediaannya untuk membantu kami. Persetujuan ini merupakan cerminan persahabatan antara Republik Indonesia dan Amerika Serikat," paparnya.
Sementara Duta Besar AS untuk Indonesia Robert Blake mengungkapkan, kesepakatan ini merupakan penghormatan terhadap kenangan warga negara Amerika dan Indonesia yang membela negara mereka.
"Kerja sama AS-Indonesia kini lebih erat dan komprehensif, dan kami bangga menjadi mitra pertahanan utama Indonesia dalam latihan bersama dan kegiatan-kegiatan lainnya. Selain latihan rutin, program pertukaran antar-militer, serta penjualan dan kesepakatan antara kedua negara kita, kesepakatan ini meneguhkan kerja sama antara negara kita, yang berdasarkan prinsip kemanusiaan, kesetaraan, saling menguntungkan, non-interferensi, dan saling menghormati," ujarnya.
"Kami sangat berterima kasih atas kerja sama ini dan atas pertimbangan untuk mengizinkan kami untuk menemukan kembali personel Amerika yang hilang pada masa PD II," imbuh Blake.
Dalam kesepakatan ini, seluruh biaya penelitian dan proses didanai oleh pemerintah Amerika Serikat, dan semua penelitian dan kegiatan di lapangan akan dilaksanakan berdasarkan perjanjian yang telah disepakati oleh DPAA dan Pusjarah TNI.
Sunday, June 07, 2015
Sukmawati: Bung Karno Lahir di Surabaya
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Putri mantan Presiden Pertama RI, Sukmawati Soekarnoputri, mengatakan ayahnya lahir di Surabaya. Menurutnya, penelusuran akurasi tempat kelahiran Bung Karno harus merujuk kepada buku otobiografi beliau.
"Lokasi kelahiran bapak di Surabaya. Selama ini keluarga mengetahui hal itu. Kalau ada dua pendapat soal lokasi kelahiran beliau, kami tegaskan beliau lahir di Surabaya,"kata Sukmawati saat dijumpai ROL di Gedung Proklamasi, Sabtu (6/6).
Kota Blitar, lanjutnya, baru disinggahi keluarga kakeknya, Raden Soekemi Sosrodihardjo, setelah tinggal di Surabaya. "Setelah Surabaya, justru keluarga kakek sempat berpindah-pindah ke beberapa daerah lain di Jawa Timur, " tuturnya.
Dia menambahkan, masyarakar hendaknya merujuk kepada sumber yang akurat jika ingin merunut akurasi tempat kelahiran Bung Karno. "Lihat otobiografi beliau yang ditulis Cindy Adams. Di situ jelas dipaparkan lokasi kelahiran yang benar," pungkasnya.
Diberitakan sebelumnya, akurasi tempat kelahiran Bung Karno menjadi perdebatan usai kesalahan penyebutan oleh Presiden Jokowi, Senin (1/6) lalu. Presiden menyebut Bung Karno lahir di Blitar. Sebagian masyarakat menganggap Bung Karno lahir di Surabaya. Sebagian lain memahami beliau dilahirkan di Blitar.
Baca Juga >>Sukmawati: Koreksi Penulisan Nama Lengkap Bung Karno!
Saturday, June 06, 2015
Bung Karno: Bapak Dipindah ke Surabaya dan di Sanalah Aku Dilahirkan
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejumlah literatur sejarah menyebutkan bahwa Sukarno lahir di Surabaya. Proklamator kemerdekaan RI tersebut pun secara tersirat pernah mengakui lokasi kelahirannya di Kota Pahlawan.
Dalam autobiografi Bung Karno yang ditulis Cindy Adams berjudul 'Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat', Presiden RI pertama itu pun membuat testimoni soal tempat kelahirannya. "Karena merasa tidak disenangi di Bali, bapak kemudian mengajukan permohonan kepada Departemen Pengajaran untuk pindah ke Jawa. Bapak dipindah ke Surabaya dan disanalah aku dilahirkan"
Dalam buku 'Bung Karno Putera Sang Fajar' karya Solichin Salam, penulis dengan gamblang menceritakan peristiwa lahirnya Bung Karno.
Orang tua Bung Karno yakni Raden Soekemi dan Idayu Nyoman Rai menikah di Bali dengan tata cara Islam. Keluarga Idayu yang notabene seorang hindu dari kasta Brahmana tak terima. Mereka pun diasingkan dari khalayak ramai.
Setelah mealhirkan seorang anak perempuan bernama Soekarmini, Soekemi dan Idayu meninggalkan Bali. Soekemi yang seorang guru dipindahtugaskan ke Surabaya, Jawa Timur. Di Surabaya ini, Bung Karno kemudian dilahirkan.
"Di daerah yang subur serta di kota pahlawan yang masyhur itu - Surabaya - pada hari Kamis Pon tanggal 18 Sapar tahun 1831 windu sanjaya, wuku "wayang", bertepatan dengan tanggal 6 Juni 1901 di kala fajar menyingsing di Lawang Seketeng (sumber lain mengatakan Bung Karno lahir di gang Pandean III, Surabaya) lahirlah putra dari kandungan Ibu Idayu Nyoman Rai."
Literatur lainnya, Sukarno Sebuah Biografi Politik karya John D Legge pun mengungkap hal yang sama. Di buku itu tertulis Sukarno dilahirkan usai Sukemi pindah ke Surabaya. "Sukemi mengajukan permohonan dan diizinkan untuk pindah ke Surabaya; dan disanalah Sukarno dilahirkan."
Guruh: Bung Karno Lahir di Blitar
Laporan dari Den Haag
Eddi Santosa - detikNews
Den Haag - Di mana tempat Sang Proklamator, Presiden RI Pertama Soekarno dilahirkan? Jauh sebelumnya, sumber-sumber di Belanda sudah mencatat kontroversi mengenai tempat Soekarno dilahirkan, bahkan ketika Bung Karno masih hidup dan sedang di puncak kekuasaan.
Dari dua tempat kelahiran yang menjadi kontroversi, deskripsi menurut penuturan Soekarno sendiri dalam otobiografinya lebih tepat menunjuk ke Blitar daripada Surabaya.
"Masih ada pertanda lain ketika aku dilahirkan. Gunung Kelud, yang tidak jauh letaknya dari tempat kami, meletus." (Cindy Adams: Bung Karno Penjambung Lidah Rakyat, hal 22, edisi Revisi).
Secara visual, Gunung Kelud memang lebih dekat ke Blitar daripada Surabaya. Masyarakat sekitar akan mengiyakan dan membenarkan sesuai ucapan Bung Karno sendiri.
Data geografi juga membuktikan dan memperkuat ucapan Bung Karno. Jarak antara Gunung Kelud ke kota Blitar dalam satuan metrik cuma 37,4 km. Sebaliknya jarak antara gunung berketinggian 1,731 m itu dengan Surabaya empat kali lipat lebih jauh, yakni 130,5 km.
Pemahaman yang sudah terlanjur diterima dan ditulis oleh sebagian kalangan bahwa masa kecil Soekarno ada di Surabaya juga perlu diberi tanda tanya dan dilihat ulang secara kritis.
Sebab, sumber di Belanda mencatat bahwa masa kecil Soekarno dan pendidikan sekolah dasarnya ditempuh di Mojokerto, bukan di Surabaya
In Modjokerto ging de jonge Soekarno op school, eerst op de inlandse, later (zijn vader wilde zijn zoon vooruit brengen in de wereld) op de Europese lagere school... Di Mojokerto Soekarno kecil pergi ke sekolah, mula-mula ke sekolah pribumi, kemudian (ayahnya ingin membawa anaknya maju di dunia) ke Sekolah Dasar Eropa...(red)," (Het Vrije Volk, Sabtu 4 Desember 1965).
Keterangan tersebut mementahkan pemahaman bahwa masa kecil Soekarno berada di Surabaya dan menggugah kesadaran semua pihak untuk perlu menggali lebih lanjut kehidupan Soekarno usia balita atau SD di Mojokerto.
Mojokerto itu posisinya kira-kira 50 km arah Barat Laut dari Surabaya, suatu jarak yang cukup jauh, apalagi untuk tahun 1901-1912. Jika masa kecil Soekarno ada di Surabaya, maka juga tidak masuk akal pada zaman itu seorang anak kecil usia SD berangkat pulang pergi ke sekolah dari Surabaya ke Mojokerto menempuh jalanan sepi dengan sisi kiri kanan masih hutan.
Apalagi transportasi saat itu tidak seperti sekarang. Teknologi otomotif saat Soekarno usia SD masih baru berkembang, produksinya sangat terbatas dan di Jawa baru Paku Buwono X saja yang punya. Soekarno hanya seorang anak guru desa. Artinya, dikaji dari segala sisi tidak memungkinkan Soekarno melaju pergi-pulang Surabaya-Mojokerto.
Soekarno baru pindah ke Surabaya untuk menempuh pendidikan ke sekolah lanjutan Hogere Burgerschool (HBS), sekolah lanjutan tinggi setingkat SMA. Di Surabaya dia menumpang atau in de kost di rumah pemimpin nasionalistis terkemuka saat itu, Tjokroaminoto.
"...zijn verblijf ten huize van destijds meest vooraanstaande nastionalistische leider van Indonesie, Tjokroaminoto... tinggalnya di rumah pemimpin nasionalistis terkemuka saat itu, Tjokroaminoto (red)," (Paul van 't Veer, Het Vrije Volk, Sabtu 4 Desember 1965).
Dari teks ini dapat dipahami bahwa Soekarno selama di Surabaya untuk menempuh pendidikan sekolah lanjutan HBS tidak tinggal di rumah sendiri bersama orangtuanya, melainkan di rumah H.O.S. Tjokroaminoto. Suatu hal biasa kalau seorang anak harus menempuh pendidikan jauh di luar kota.
Putra kandung Soekarno sendiri, Guruh Soekarnoputra, menyebut dengan eksplisit dan jelas bahwa si Bung dilahirkan di Blitar. Blitar adalah kota kelahiran Bung Karno.
"Bung Karno, kata Guruh, tak pernah minta dimakamkan di Blitar, kota kelahirannya...," (TEMPO, 6 November 2012)
Tapi, sebagaimana dikatakan oleh Paul van 't Veer, seorang penulis biografi Soekarno: Kopstukken uit de Twintigste Eeuw (Soekarno: Tokoh Abad Ke-20), kesimpangsiuran memang ditemukan dalam biografi-biografi resmi Indonesia mengenai Soekarno.
Satu hal absolut adalah Soekarno dilahirkan pada 6 Juni 1901. Di mana dia dilahirkan, Bung Karno sudah mendeskripsikan tempat kelahirannya dekat Gunung Kelud, tapi pada kesempatan lain disebut Surabaya. Guruh Soekarnoputra jelas mengatakan: Blitar.
Monday, June 01, 2015
Ini asal mula 1 Juni jadi hari lahirnya Pancasila
Reporter : Laurencius Simanjuntak, Ramadhian Fadillah
Merdeka.com - Pohon sukun itu berdiri di atas sebuah bukit kecil menghadap ke teluk. Hampir saban hari selama pembuangan di Ende, Flores, Soekarno selalu mengunjungi pohon itu untuk sekadar memandanginya selama berjam-jam.
"Suatu kekuatan gaib memaksaku ke tempat itu hari demi hari," kata Soekarno yang dibuang pemerintah Belanda ke pulau sunyi itu dari 1934 sampai 1938.
Dalam otobiografinya 'Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia', sang proklamator menganggap pohon itu bukan sekadar pohon. Tetapi juga pemberi ilham menggali Pancasila.
Soal ilham pohon bernama latin Artocarpus communis itu pernah diungkapkan Bung Karno di hadapan sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 1 Juni 1945, atau tepat 67 tahun lalu.
"Di Pulau Flores yang sepi, di mana aku tidak memiliki kawan, aku telah menghabiskan waktu berjam-jam lamanya di bawah sebatang pohon di halaman rumahku, merenungkan ilham yang diturunkan oleh Tuhan, yang kemudian dikenal sebagai Pancasila," cetus Bung Karno.
Bung Karno mengatakan, apa yang dia kerjakan hanyalah menggali jauh ke dalam bumi dan tradisi-tradisi nusantara sendiri. "Dan aku menemukan lima butir mutiara yang indah," ujarnya.
Lima mutiara itu adalah berharga itu adalah: Kebangsaan, Internasionalisme atau Perikemanusiaan, Demokrasi, Keadilan Sosial dan Ketuhanan Yang Maha Esa. Rumusan inilah yang kemudian menjadi Pancasila sekarang.
"Jika kuperas yang lima ini menjadi satu, maka dapatlah aku satu perkataan Indonesia tulen, yaitu perkataan gotong-royong," kata Bung Karno.
Pidato Soekarno di BPUPKI itu mendapat tepuk tangan meriah. Pancasila diterima secara aklamasi.
BPUPKI kemudian membentuk Panitia Kecil untuk merumuskan dan menyusun Undang-Undang Dasar dengan berpedoman pada pidato Bung Karno tersebut. Dibentuklah Panitia Sembilan (terdiri dari Ir. Soekarno, Mohammad Hatta, Mr. AA Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakir, Agus Salim, Achmad Soebardjo, Wahid Hasjim, dan Mohammad Yamin). Mereka ditugaskan untuk merumuskan kembali Pancasila sebagai Dasar Negara berdasar pidato yang diucapkan Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945.
Setelah melalui proses persidangan dan lobi-lobi akhirnya rumusan Pancasila hasil penggalian Bung Karno tersebut berhasil dirumuskan untuk dicantumkan dalam Mukadimah Undang-Undang Dasar 1945, yang disahkan dan dinyatakan sah sebagai dasar negara Indonesia merdeka pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh BPUPKI.
Hingga kini setiap 1 Juni diperingati sebagai hari lahir Pancasila.
[ian]
Subscribe to:
Posts (Atom)