Jakarta,28 Februari 2010 Tulisan original ( Tanpa Editing ) yang dikirim dari Mada PPM Jawa Tengah :
Dengan menyerahnya Jepang terhadap Sekutu pada tanggal 15 Agustus 1945, dan disusul dengan diproklamarkan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, maka seharusnya tamatlah kekuasaan Jepang di Indonesia.
Dan ditunjuknya Mr Wongsonegero sebagai Penguasa Republik di Jawa Tengah dan pusat pemerintahannya di Semarang, maka adalah kewajiban Pemerintah di Jawa Tengah mengambilalih kekuasaan yang selama ini dipegang Jepang, termasuk bidang pemerintahan, keamanan dan ketertibannya. Maka terbentuklah Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang kemudian menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR).
Di beberapa tempat di Jawa Tengah telah terjadi pula kegiatan perlucutan senjata Jepang tanpa kekerasan antara lain di Banyumas, tapi terjadi kekerasan justru di ibu kota Semarang. Kido Butai (pusat Ketentaraan Jepang di Jatingaleh) nampak tidak memberikan persetujuannya secara menyeluruh, meskipun dijamin oleh Gubernur Wongsonegoro, bahwa senjata tersebut tidak untuk melawan Jepang. Permintaan yang berulang-ulang cuma menghasilkan senjata yang tak seberapa, dan itu pun senjata-senjata yang sudah agak usang.
Kecurigaan BKR dan Pemuda Semarang semakin bertambah, setelah Sekutu mulai mendaratkan pasukannya di Pulau Jawa. Pihak Indonesia khawatir Jepang akan menyerahkan senjata-senjatanya kepada Sekutu, dan berpendapat kesempatan memperoleh senjata harus dimanfaatkan sebelum Sekutu mendarat di Semarang. Karena sudah pasti pasukan Belanda yang bergabung dengan Sekutu akan ikut dalam pendaratan itu yang tujuannya menjajah Indonesia lagi.
Pertempuran 5 hari di Semarang ini dimulai menjelang minggu malam tanggal 15 Oktober 1945. Keadaan kota Semarang sangat mencekam apalagi di jalan-jalan dan kampung-kampung dimana ada pos BKR dan Pemuda tampak dalam keadaan siap. Pasukan Pemuda terdiri dari beberapa kelompok yaitu BKR, Polisi Istimewa, AMRI, AMKA (Angkatan Muda Kereta Api) dan organisasi para pemuda lainnya.
Dapat pula kita tambahkan di sini, bahwa Markas Jepang dibantu oleh pasukan Jepang sebesar 675 orang, yang mereka dalam perjalanan dari Irian ke Jakarta, tapi karena persoalan logistik, pasukan ini singgah di Semarang. Pasukan ini merupakan pasukan tempur yang mempunyai pengalaman di medan perang Irian.
Keadaan kontras sekali, karena para pemuda pejuang kita harus menghadapi pasukan Jepang yang berpengalaman tempur dan lebih lengkap persenjataannya, sementara kelompok pasukan pemuda belum pernah bertempur, dan hampir-hampir tidak bersenjata. Juga sebagian besar belum pernah mendapat latihan, kecuali diantaranya dari pasukan Polisi Istimewa, anggota BKR, dari ex-PETA dan Heiho yang pernah mendapat pendidikan dan latihan militer, tapi tanpa pengalaman tempur.
Pertempuran lima hari di Semarang ini diawali dengan berontakan 400 tentara Jepang yang bertugas membangun pabrik senjata di Cepiring dekat Semarang. Pertempuran antara pemberontak Jepang melawan Pemuda ini berkobar sejak dari Cepiring (kl 30 Km sebelah barat Semarang) hingga Jatingaleh yang terletak di bagian atas kota. Di Jatingaleh ini pasukan Jepang yang dipukul mundur menggabungkan diri dengan pasukan Kidobutai yang memang berpangkalan di tempat tersebut.
Suasana kota Semarang menjadi panas. Terdengar bahwa pasukan Kidobutai Jatingaleh akan segera mengadakan serangan balasan terhadap para Pemuda Indonesia. Situasi hangat bertambah panas dengan meluasnya desas-desus yang menggelisahkan masyarakat, bahwa cadangan air minum di Candi (Siranda) telah diracuni. Pihak Jepang yang disangka telah melakukan peracunan lebih memperuncing keadaan dengan melucuti 8 orang polisi Indonesia yang menjaga tempat tersebut untuk menghindarkan peracunan cadangan air minum itu.
Dr Karyadi, Kepala Laboratorium Pusat Rumah Sakit Rakyat (Purasara) ketika mendengar berita ini langsung meluncur ke Siranda untuk mengecek kebenarannya. Tetapi beliau tidak pernah sampai tujuan, jenazahnya diketemukan di jalan Pandanaran Semarang, karena dibunuh oleh tentara Jepang (namamya diabadikan menjadi RS di Semarang). Keesokan harinya 15 Oktober 1945 jam 03.00 pasukan Kidobutai benar-benar melancarkan serangannya ke tengah-tengah kota Semarang.
Markas BKR kota Semarang menempati komplek bekas sekolah MULO di Mugas (belakang bekas Pom Bensin Pandanaran). di belakangnya terdapat sebuah bukit rendah dari sinilah di waktu fajar Kidobutai melancarkan serangan mendadak terhadap Markas BKR. Secara tiba-tiba mereka melancarkan serangan dari dua jurusan dengan tembakan tekidanto (pelempar granat) dan senapan mesin yang gencar. Diperkirakan pasukan Jepang yang menyerang berjumlah 400 orang. Setelah memberikan perlawanan selama setengah jam, pimpinan BKR akhirnya menyadari markasnya tak mungkin dapat dipertahankan lagi dan untuk menghindari kepungan tentara Jepang, pasukan BKR mengundurkan diri meninggalkan markasnya.
Kemudian pasukan Jepang bergerak membebaskan markas Kempeitai yang sedang dikepung para Pemuda. Setelah mematahkan para Pemuda pasukan Jepang menuju ke markas Polisi Istimewa di Kalisari dan berhasil menduduki markas tersebut. Di sini terjadi pembunuhan kejam yang dilakukan oleh tentara Jepang terhadap anggota Polisi Istimewa yang tidak berhasil meloloskan diri dari pengepungan.
Juga di depan markas Kempeitai terjadi pertempuran sengit antara pasukan Jepang melawan para Pemuda yang bertahan di bekas Gedung NIS (Lawang Sewu) dan di Gubernuran (Wisma Perdamaian). Pasukan gabungan yang terdiri dari BKR, Polisi Istimewa dan AMKA melawan secara gigih, sehingga banyak jatuh korban di kedua belah pihak.
Meskipun dalam pertempuran tahap pertama pihak Jepang bagian timur dapat berhasil menduduki beberapa tempat penting, mereka tidak dapat bertahan karena selalu mendapat serangan dari BKR dan Pemuda. Terpaksa mereka meninggalkan tempat-tempat tersebut, yang kemudian dikuasai kembali oleh para Pemuda. Demikianlah pasukan silih berganti antara Jepang dan pemuda menempati posisi strategis.
Selain menangkap Mr Wongsonegoro, Jepang juga menangkap pimpinan Rumah Sakit Purusara yaitu Dr Sukaryo, Komandan Kompi BKR ialah ex-Sudanco Mirza Sidharta dan banyak pimpinan-pimpinan lainnya. Untuk menuntut balas, bantuan dari luar kota terus berdatangan yang menggabungkan diri dengan para Pemuda yang ada dalam kota.
Pasukan BKR dan para pemudanya dari Pati bergabung dengan pasukan Mirza Sidharta dan mengadakan serangan balasan terhadap Jepang yang telah menguasai tempat-tempat penting dalam kota, sehingga berlangsung dengan sengitnya. Taktik gerilya-kota dapat dilaksanakan dengan menghindari pertempuran terbuka, dengan tiba-tiba menyerang dan segera menghilang. Sekalipun belum ada komando terpusat, namun datangnnya serangan terhadap Jepang selalu bergantian dan bergelombang. Keberanian mereka benar-benar patut dibanggakan, sehingga menyulitkan Jepang menguasai kota.
Markas Jepang di Jatingaleh pun tak luput dari serangan BKR dan para pemudanya yang menimbulkan korban yang tidak sedikit kepada pihak Jepang. Gerak maju Jepang selanjutnya tidak berjalan lancar, karena tertahan di depan kantor PLN, bahkan sempat dipukul mundur.
Akibat serangan Jepang yang membabi buta, petugas PMI tidak dapat bergerak leluasa, yang menyebabkan korban pertempuran sangat menyedihkan. Mereka yang menderita luka-luka tidak dapat perawatan yang semestinya dan mayat-mayat bergelimpangan di beberapa tempat sampai membusuk, karena tidak segera dikubur.
Petugas lain yang sangat besar jasanya yang bermarkas di Hotel du Pavillion (Dibya Puri) ialah dapur umum dimana para pemuda memperoleh makanannya, tetapi setelah pertempuran meluas, selanjutnya para pemuda mendapat bantuan dari rakyat dengan bergotong royong menyediakan makannya, walaupun mereka sendiri saat itu juga kekurangan. Tapi solidaritas rakyat dalam hal ini patut dibanggakan dan jangan dilupakan.
Diperkirakan 2.000 pasukan Jepang terlibat dalam pertempuran besar-besaran melawan pemuda-pemuda kita. Senjata-senjata modern dan lengkap dilawan semangat joang yang menyala-nyala dari rakyat Semarang. Di tempat yang paling seru pertempuran terjadi di simpang lima (Tugu Muda). Puluhan Pemuda yang terkepung oleh Jepang dibantai dengan kejamnya oleh pasukan Kidobutai itu. Pemuda dan pasukan rakyat dari luar kota sekitar Semarang menunjukkan kesetia-kawanannya. Bala-bantuan mengalir terus ke kota Semarang. Mereka yang baru datang, langsung terjun terus ke kancah pertempuran.
Setelah BKR berhasil mengadakan konsolidasi dan mendapat bantuan dari daerah lain di Jawa Tengah, situasi menjadi berbalik pada saat Jepang berada dalam keadaan kritis. Untuk mengatasi situasi itu serangan makin diperhebat. Banyaknya korban di kalangan penduduk telah meninggikan para pemuda untuk menuntut balas. Diperkirakan 2000 pasukan rakyat kita gugur dalam pertempuran besar-besaran ini, sedangkan dari pihak Jepang tak kurang dari 500 orang kedapatan tewas.
Jepang kembali mendekati MR Wongsonegoro yang didesak untuk segera meghentikan pertempuran. Dari hasil peninjauan dapat diketahui banyak rakyat yang tidak berdosa tewas dalam pertempuran kedua belah pihak. Oleh karena desakan Jepang untuk menghentikan pertempuran, diterima oleh Mr Wongsonegoro. Pertimbangan lain adalah untuk menyusun kembali kekuatan dalam menghadapi musuh yang sebenarnya, ialah tentara Sekutu yang diboncengi tentara Belanda yang segera akan mendarat di Semarang.
Dalam perundingan dengan Jepang, Jepang menghendaki agar senjata-senjata yang dirampas oleh orang Indonesia dikembalikan lagi kepada Jepang. Tapi Mr Wongsonegoro menolak tuntutan itu, karena selain tak menjamin penyerahan senjata itu, pun tak diketahui siapa-siapa yang memegang senjata itu. lagi pula apa si pemegang senjata akan menyerahkan senjata itu kembali kepada Jepang? Akhirnya Jepang menerima pendirian Mr Wongsonegoro itu soal penyerahan senjata, dan demikian tercapailah persetujuan gencatan senjata dengan pihak Jepang.
Pada umumnya para pemuda kecewa atas gencetan senjata itu, karena banyak kawan-kawan yang telah gugur dan mereka menghendaki menuntut balas.
Setelah Sekutu mendarat di Semarang pada tanggal 19 Oktober 1945, maka berakhir pulalah pertempuran dengan pihak Jepang yang selama 5 hari itu.
Kesimpulan pertempuran lima hari di Semarang itu mempunyai nilai tersendiri, khususnya bagi rakyat Jawa Tengah. Peristiwa itu menunjukkan kebulatan tekad rakyat untuk mengambil alih kekuasaan dari Jepang. Tindakan kekerasan harus diambil, karena cara berunding dan diplomasi diabaikan oleh Jepang.
Sunday, February 28, 2010
Sunday, February 21, 2010
Friday, February 12, 2010
Turis Gila' Pemungut Sampah di Senggigi
Luar biasa yang dilakukan Gavin Birch, turis asal Perth Australia. Tanpa pamrih, selama 24 tahun dia berjibaku membersihkan sampah di Pantai Senggigi, Lombok Barat.
Bahkan, lelaki berusia 68 tahun yang kini telah berganti menjadi Khusen Abdullah, dikenal sebagai turis pemulung di Senggigi.
Sejumlah warga Lombok menyebut dirinya dengan 'turis gila' - karena pekerjaannya yang bergumul dengan sampah.
Meski demikian, Khusen tidak peduli dengan penilaian orang. Yang jelas dia yakin dengan perjuangannya - untuk mengajak orang hidup bersih.
"Whatever. Saya hanya ingin mengajak hidup bersih melalui program 'Indonesia Bersih dan Hijau',"kata Birch alias Khusen yang ditemui VIVAnews di Senggigi, Lombok Barat, Kamis 11 Februari 2010.
Bagaimana bisa dia terdampar dan jadi pemungut sampah di Senggigi?
Dikisahkan Khusen, dia menginjakkan kakinya di Pulau Lombok pada tahun 1986 sebagai turis. Niatnya untuk berlibur dan menikmati keindahan alam di Lombok berujung kekecewaan.
Yang dilihatnya bukan pantai biru nan indah, namun tumpukan sampah. Bahkan di Pantai Ampenan, yang menyimpan potensi wisata, penuh dengan kotoran manusia.
Namun, Khusen tak langsung beranjak dan pergi menjauh. Dia mengaku yakin pantai yang disinggahinya saat itu akan berubah menjadi indah jika masyarakat peduli kebersihan.
Sejak itu lah Khusein bergerak sendiri, memungut sampah di sekitar pantai dan mengumpulkannya. Tindakannya menarik perhatian.
Ada yang memandang sebelah mata, ada yang memberi simpati.
Misalnya, Haji Hairi Asmuni, lurah Kampung Melayu Ampenan saat itu. Dia meminta Khusein untuk menetap di Lombok, sebagai bentuk apresiasi perannya membersihkan lingkungan.
"Saya terkejut saat seluruh barang bawaan saya di hotel hilang. Ternyata barang bawaan saya itu dibawa Haji Asmuni, sejak itu saya memutuskan tinggal di Lombok sambil membantu warga membersihkan sampah,"ujar dia, menceritakan kisah hidupnya.
Berpredikat sebagai 'turis gila' atau 'pemulung' tidak membuat Khusen menjadi rendah diri. Meski, di negeri asalnya dia adalah pengusaha rumah makan di Perth dan Dampier Broome, Australia. Saat itu Khusein juga memiliki rumah singgah di Bali yang dibeli atas nama istri pertamanya, yang asli Jakarta.
Khusen tak sekedar memungut sampah. Dia mengolahnya. Khusen memiliki teknik tersendiri untuk mengolah sampah organik menjadi pupuk kompos.
Sedangkan limbah plastik yang dikumpulkan akan dihancurkan dengan mesin penghancur yang dibelinya dengan dana sendiri.
"Sebagian dana kegiatan program 'Indonesia Bersih dan Hijau' ini saya peroleh dari bantuan masyarakat sejumlah lembaga atau perusahaan, sebagian lainnya saya biayai sendiri, "ujar pria beranak dua itu.
Program lingkungan bersih yang diterapkannya di Indonesia merupakan program yang diadopsi dari gerakan bersih di Australia yang dikenal sebagai 'Keep Australia Beautiful'. Tahun 1996 melalui Yayasan Sosial Cinta Lingkungan, Khusein menerapkan programnya di Kecamatan Kediri Kabupaten Lombok Barat.
Program kebersihan yang dijalankan Khusen di Lombok Barat berjalan lancar. Bahkan penumpukan sampah disejumlah pasar berhasil dikurangi dengan cara bekerjasama dengan pemerintah. Memasuki tahun 2000 dia menawarkan kerjasama dengan Pemerintah Kota Mataram untuk menangani sampah disejumlah pasar seperti di Cakaranegara, Pasar Seni dan Ampenan.
Namun, kata Khusen, programnya itu tidak disambut baik oleh pemerintah Kota Mataram saat itu. Alasannya, minim dana. Bahkan Khusen harus merogoh kocek pribadinya untuk membeli aki mobil seharga Rp 355 ribu untuk mobil truk pengangkut sampah milik Dinas Kebersihan Kota Mataram.
"Masalah kebersihan ini sebenarnya bukan saja tanggung jawab pemerintah, tapi semua kita yang setiap harinya memproduksi sampah. Kita minta komitmen semua pihak untuk ikut bertanggung jawab terhadap kebersihan," jelas Khusen.
Kini di usia senjanya Khusein dibantu oleh seorang pemuda bernama Edi Bakin yang mulai bergerak di kampung-kampung - untuk mengangkuti sampah dari perkampungan.
Untuk itu, Khusen harus membayar ongkos angkut pada petugas kebersihan Rp 250 ribu perbulan. Meski demikian, dia tak mengeluh. "Untuk amal," kata dia.
Sementara, untuk membersihkan lingkungan terutama disekitar pantai Senggigi, dia dibantu 18 ibu-ibu nelayan yang dia bayar Rp 1 5 ribu sehari.
Meski lelah dan kerap dicemooh, kerja keras Khusein selama 24 tahun tak sia-sia.
Sepanjang pantai yang berada disekitar tempat tinggal Khusein di Jalan Raya Senggigi Nomor 999 Batulayar Lombok Barat, tampak bersih dari sampah, baik dedaunan apalagi sampah plastik.
"Saya beruntung mendapat kawan untuk bergerak membersihkan lingkungan, biarlah saya habiskan sisa hidup saya demi lingkungan yang bersih dan sehat," ujar Khusein.
Vivanews
Bahkan, lelaki berusia 68 tahun yang kini telah berganti menjadi Khusen Abdullah, dikenal sebagai turis pemulung di Senggigi.
Sejumlah warga Lombok menyebut dirinya dengan 'turis gila' - karena pekerjaannya yang bergumul dengan sampah.
Meski demikian, Khusen tidak peduli dengan penilaian orang. Yang jelas dia yakin dengan perjuangannya - untuk mengajak orang hidup bersih.
"Whatever. Saya hanya ingin mengajak hidup bersih melalui program 'Indonesia Bersih dan Hijau',"kata Birch alias Khusen yang ditemui VIVAnews di Senggigi, Lombok Barat, Kamis 11 Februari 2010.
Bagaimana bisa dia terdampar dan jadi pemungut sampah di Senggigi?
Dikisahkan Khusen, dia menginjakkan kakinya di Pulau Lombok pada tahun 1986 sebagai turis. Niatnya untuk berlibur dan menikmati keindahan alam di Lombok berujung kekecewaan.
Yang dilihatnya bukan pantai biru nan indah, namun tumpukan sampah. Bahkan di Pantai Ampenan, yang menyimpan potensi wisata, penuh dengan kotoran manusia.
Namun, Khusen tak langsung beranjak dan pergi menjauh. Dia mengaku yakin pantai yang disinggahinya saat itu akan berubah menjadi indah jika masyarakat peduli kebersihan.
Sejak itu lah Khusein bergerak sendiri, memungut sampah di sekitar pantai dan mengumpulkannya. Tindakannya menarik perhatian.
Ada yang memandang sebelah mata, ada yang memberi simpati.
Misalnya, Haji Hairi Asmuni, lurah Kampung Melayu Ampenan saat itu. Dia meminta Khusein untuk menetap di Lombok, sebagai bentuk apresiasi perannya membersihkan lingkungan.
"Saya terkejut saat seluruh barang bawaan saya di hotel hilang. Ternyata barang bawaan saya itu dibawa Haji Asmuni, sejak itu saya memutuskan tinggal di Lombok sambil membantu warga membersihkan sampah,"ujar dia, menceritakan kisah hidupnya.
Berpredikat sebagai 'turis gila' atau 'pemulung' tidak membuat Khusen menjadi rendah diri. Meski, di negeri asalnya dia adalah pengusaha rumah makan di Perth dan Dampier Broome, Australia. Saat itu Khusein juga memiliki rumah singgah di Bali yang dibeli atas nama istri pertamanya, yang asli Jakarta.
Khusen tak sekedar memungut sampah. Dia mengolahnya. Khusen memiliki teknik tersendiri untuk mengolah sampah organik menjadi pupuk kompos.
Sedangkan limbah plastik yang dikumpulkan akan dihancurkan dengan mesin penghancur yang dibelinya dengan dana sendiri.
"Sebagian dana kegiatan program 'Indonesia Bersih dan Hijau' ini saya peroleh dari bantuan masyarakat sejumlah lembaga atau perusahaan, sebagian lainnya saya biayai sendiri, "ujar pria beranak dua itu.
Program lingkungan bersih yang diterapkannya di Indonesia merupakan program yang diadopsi dari gerakan bersih di Australia yang dikenal sebagai 'Keep Australia Beautiful'. Tahun 1996 melalui Yayasan Sosial Cinta Lingkungan, Khusein menerapkan programnya di Kecamatan Kediri Kabupaten Lombok Barat.
Program kebersihan yang dijalankan Khusen di Lombok Barat berjalan lancar. Bahkan penumpukan sampah disejumlah pasar berhasil dikurangi dengan cara bekerjasama dengan pemerintah. Memasuki tahun 2000 dia menawarkan kerjasama dengan Pemerintah Kota Mataram untuk menangani sampah disejumlah pasar seperti di Cakaranegara, Pasar Seni dan Ampenan.
Namun, kata Khusen, programnya itu tidak disambut baik oleh pemerintah Kota Mataram saat itu. Alasannya, minim dana. Bahkan Khusen harus merogoh kocek pribadinya untuk membeli aki mobil seharga Rp 355 ribu untuk mobil truk pengangkut sampah milik Dinas Kebersihan Kota Mataram.
"Masalah kebersihan ini sebenarnya bukan saja tanggung jawab pemerintah, tapi semua kita yang setiap harinya memproduksi sampah. Kita minta komitmen semua pihak untuk ikut bertanggung jawab terhadap kebersihan," jelas Khusen.
Kini di usia senjanya Khusein dibantu oleh seorang pemuda bernama Edi Bakin yang mulai bergerak di kampung-kampung - untuk mengangkuti sampah dari perkampungan.
Untuk itu, Khusen harus membayar ongkos angkut pada petugas kebersihan Rp 250 ribu perbulan. Meski demikian, dia tak mengeluh. "Untuk amal," kata dia.
Sementara, untuk membersihkan lingkungan terutama disekitar pantai Senggigi, dia dibantu 18 ibu-ibu nelayan yang dia bayar Rp 1 5 ribu sehari.
Meski lelah dan kerap dicemooh, kerja keras Khusein selama 24 tahun tak sia-sia.
Sepanjang pantai yang berada disekitar tempat tinggal Khusein di Jalan Raya Senggigi Nomor 999 Batulayar Lombok Barat, tampak bersih dari sampah, baik dedaunan apalagi sampah plastik.
"Saya beruntung mendapat kawan untuk bergerak membersihkan lingkungan, biarlah saya habiskan sisa hidup saya demi lingkungan yang bersih dan sehat," ujar Khusein.
Vivanews
Subscribe to:
Posts (Atom)