Kupang (ANTARA News) - Wadah pemersatu orang Timor Timur di perantauan, Uni Timor Aswain (Untas) terus menyamakan persepsi soal penanganan warga eks Timtim di Indonesia, sejak memutuskan untuk tetap menjadi bagian dari NKRI sejak Agustus 1999.

"Penyamaan persepsi ini penting dilakukan, karena bagaimana pun harus diakui bahwa penanganan sekitar 100.000 lebih warga eks Timtim ini sering mengalami pasang surut dari rezim ke rezim," kata Ketua Uni Timor Aswain (Untas) Eurico Guterres di Kupang, Minggu.

Mantan Wakil Panglima Pasukan Pejuang Intergarasi (PPI) Timor Timur ini mengatakan, pasang surutnya penanganan eks pengungsi Timtim di Timor bagian barat NTT sebagai basis utama penampungan, telah berdampak terhadap sikap dan komitmen untuk tetap menyatu dengan Indonesia.

"Banyak warga eks Timtim yang akhirnya memutuskan secara pribadi-pribadi untuk kembali ke kampung halamannya di Timor Leste, setelah merasa tidak memiliki lagi masa depan yang menjanjikan di tanah rantau atau merasa seperti diterlantarkan, meskipun Untas telah berusaha sekuat tenaga untuk membantu mereka mempertahankan hidup di tempat penampungan," katanya.

Eurico yang juga Ketua DPW Partai Amanat Nasional Nusa Tenggara Timur itu menyebut beberapa alasan mengapa warga eks Timtim ingin kembali ke Timor Leste, seperti sering berpindah-pindah tempat tinggal dan ketiadaan lahan pertanian untuk mempertahankan hidup sebagai petani di pengungsian.

"Keinginan untuk pulang ke kampung halamannya umumnya didominasi oleh faktor tidak adanya harapan dan masa depan yang jelas hidup di Indonesia," katanya.

Faktor lain adalah kemiskinan yang terus mendera mereka selama 13 tahun berada di kamp-kamp penampungan Timor Barat.

"Faktor ini merupakan penyebab dari ketiaadaan lahan untuk beraktivitas secara leluasa paling kurang lahan pertanian, sehingga tidak berharap penuh dari bantuan pemerintah Indonesia," katanya.

Dia mengatakan salah satu solusi yang perlu disepakati bersama pemerintah adalah pola pendekatan dalam menangani keberadaan dan kelangsung hidup warga eks Timtim di berbagai lokasi penampungan di Indonesia, terutama di wilayah Timor bagian barat NTT.

"Pola pendektan proyek, harus dihentikan dan lebih dikedepankan pola pemberdayaan yang mengutamakan penguatan yang berkesinambungan, sehingga ketika selasai proyek, mereka tetap melanjutkan dan mengembangkan apa yang telah diberikan sebagai stimulan untuk menopang hidup," katanya.

Pola pendekatan ini juga disarankan Pemerhati masalah Timor Leste dari East Timorese Indonesia Citizen Association (ETICA) Florencio Mario Vieira yang mengatakan bahwa pola pendekatan penyelesaian masalah eks pengungsi Timor Timur di wilayah Timor bagian barat Nusa Tenggara Timur harus diubah.

"Jika pola pendekatan sebelumnya lebih mengedepankan proyek berbasis kaca mata sektoral, maka sudah saatnya diubah ke pola pendekatan terintegrasi (livelyhood) dengan membuka akses seluas-luasnya bagi para calon penghuni (bukan para elite eks Timtim) untuk berbagi ide dan peran," katanya kepada ANTARA di Kupang, Sabtu (19/5).

Ia mengatakan pada 2011 pemerintah mengalokasikan dana sebesar Rp300 miliar dari target APBN sebesar Rp1 triliun, namun hanya terserap Rp150 miliar.

Sementara dalam tahun ini (2012), pemerintah pusat telah mengalokasikan kembali dana sebesar Rp700 miliar untuk pembangunan 29.000 unit rumah bagi WNI asal Timor Timur yang sudah ingin menetap di Indonesia.

"Saya masih tetap pesimistis jika pola pedekatannya masih seperti dulu (proyek). Siapapun presidennya, persoalan ini tidak akan pernah tuntas, jika tetap menggunakan pola pendekatan proyek dalam menyelesaikan masalah eks pengungsi Timtim di NTT," katanya.

Menurut dia, pola pendekatannya harus berubah menjadi pendekatan terintegrasi (livelyhood) dengan membuka akses seluasnya-luasnya bagi semua calon penghuni (bukan para elite eks Timtim) untuk berbagi ide dan berbagi peran.(ANT084/L003)